Assalamu'alaikum!

Perkenalkan, nama saya Aprilely Ajeng Fitriana. Kalian bisa panggil saya Lelly. Saya lahir di Malang pada tanggal 22 April 1991. Saat ini, saya tinggal di Bogor bersama suami dan anak saya. Blog ini adalah tempat saya mencurahkan segala pemikiran saya dari berbagai peristiwa. Bagaimana saya menghadapinya dan apa saja hikmah yang saya peroleh.

May 22, 2018

Belajar dari Kesabaran Asiyah Binti Muzahim

Wanita-wanita yang tidak baik untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita yang tidak baik pula. Wanita yang .baik untuk lelaki yang baik dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik. (QS. An Nur:26)

Tak ada perempuan baik yang tak mengharapkan laki-laki sholih untuk menjadi pasangan hidupnya. Ayat ini yang kemudian biasa dijadikan pemicu untuk terus menerus memantaskan diri dan berusaha menjadi baik di mata Allah. Memohon pada Allah agar Allah berkenan memasangkannya dengan laki-laki baik sesuai janji-Nya. Usaha kita untuk menjadi baik dan mencari pasangan yang baik adalah ikhtiar yang mampu kita usahakan. Tapi tetap saja hasil itu adalah hak preogatif Allah.

Sumber : pinterest

Kisah Asiyah binti Muzahim adalah kisah tentang wanita sholihah yang Allah pasangkan dengan laki-laki yang namanya diabadikan dalam Al Quran sebagai manusia yang sungguh keji lagi sombong, Firaun. Siapa yang menyangka di samping Firaun yang penuh dengan kedurhakaan kepada Allah, ada seorang istri yang amat mulia di mata Allah. Di tengah kekejian dan kesesatan suaminya, dia  selalu memohon pertolongan Allah agar diselamatkan dari suaminya.

Asiyah tak hanya mendapati kedurhakaan suaminya pada Allah, pun dia mengalami kedzaliman dari suaminya. Siksaan demi siksaan dia lalui dengan sabar. Siksaan itu kian meningkat ketika Firaun mengetahui bahwa Asiyah mengikuti ajaran yang dibawa oleh Musa as. Firaun marah bukan main ketika Asiyah menyembah Tuhan selain dirinya. 

Awalnya Asiyah disiksa Firaun dengan panasnya matahari. Namun ketika sinar matahari menyengat, malaikat-malaikat melindunginya dari panas. Kemudian, dibuatkannya tiang untuk mengikat tangan dan kaki Asiyah. Tiang itu diletakkan di bawah sinar matahari. Tak hanya itu, punggung Asiyah direkatkan dengan rantai yang melingkar. Dalam kondisi seperti ini, tak sedikit pun keimanan Asiyah berkurang. Dia terus menerus memohon pertolongan Allah atas perlakuan suaminya. Do'a Asiyah ketika menghadapi siksaan ini kemudian diabadikan dalam Al Quran.

Ya Tuhanku, bangunkanlah aku rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya, dan selamatkan aku dari kaumnya yang dzalim. (QS. At Tahrim:11)
Kemudian Allah singkap hijab yang menutup pandangan Asiyah. Saat itu juga, ketika Firaun datang, Asiyah telah menyaksikan surga yang telah Allah bangunkan untuknya. Asiyah tersenyum. Kemudian Allah mengangkat ruh Asiyah dari jasadnya.

Sikap Asiyah binti Muzahim adalah suri tauladan bagi kita semua ketika menghadapi ujian dalam bahtera rumah tangga. Tentu tak mudah untuk tetap bersabar dalam kondisi yang demikian beratnya. Dalam menjalani kehidupan ini, adakalanya kita akan dihadapkan pada ujian di mana orang yang begitu kita cintai justru enggan untuk sepenuhnya taat pada perintah Allah. Kisah ini menjadi contoh bagi kita, agar kita tetap sabar dalam menghadapi mereka. Tetaplah berpegang teguh pada agama Allah, sekali pun mereka menentang. Tetap lakukan apa yang Allah perintahkan meskipun itu sulit. Yakinilah bahwa sabar itu tidak ada batasnya. Sesungguhnya orang-orang yang sabar itu dicintai oleh Allah. Dengan cara yang Allah perintahkan, dengan izin Allah pula kita akan mendapatkan kemuliaan atas kesabaran kita.

Kisah ini pun menjadi contoh bagi kita semua bahwa ketataan pada Allah harus menjadi pilihan kita dalam kondisi apapun itu. Jangan jadikan kelalaian dari pasangan atau orang tua kita menjadi alasan kita untuk tidak taat pada Allah. Teruslah berpegang teguh pada syariat sembari berdakwah di tengah-tengah mereka. Tetap semangat dan sabar dalam menghadapi segala bentuk ujian itu. Semoga Allah terus memberikan kita kekuatan dalam menghadapi ujian-Nya. Aamiin.

May 18, 2018

Menyempurnakan Cinta

Seseorang pernah bercerita kepada saya tentang kisah perpisahan orang tuanya.

"Aku tumbuh besar dalam keadaan membenci Bapak. Ibu cerita bahwa Bapak tak menafkahi kami. Alasan itu yang menjadikan Ibu meninggalkan Bapak. Bertahun-tahun kemudian, setelah aku mampu mulai menerima Bapak, dan setelah Bapak dipanggil Allah, barulah aku tahu alasan Bapak tidak menafkahi kami. Saat itu Bapak terkena stroke. Bagaimana mungkin Bapak menafkahi kami, jika untuk berjalan saja tak mampu? Rasa bersalah menggelayuti diriku. Ingatan bahwa kemana pun aku pergi, Bapak ada di sana. Mengamatiku dari jauh. Sedangkan aku, berlari menjauhinya."

Saya tidak sedang ingin bercerita tentang kondisi si anak dengan bapaknya. Tapi ada hal menarik tentang hubungan suami istri yang kemudian bisa dijadikan sebuah pelajaran bagi kita semua.



Kisah ini entah mengapa justru mengingatkan saya pada pengabdian dan pengorbanan yang dilakukan oleh istri Nabi Ayyub a.s. Berbanding terbalik memang, tapi semoga dengan banyak kisah ini kita bisa sama-sama mengambil hikmah darinya. 

Tak ada yang mampu menandingi pengorbanan dan kesetiaan istri Nabi Ayyub dalam mendampingi suaminya. Bayangkan saja, suami yang tadinya sehat bugar, kemudian jatuh sakit. Bukan sakit stroke seperti kisah di atas, tapi sakit yang menular dan berbau. Siapa saja pasti akan menghindarinya. Tapi tidak dengan sang istri. Istri Nabi Ayyub justru tetap bersabar merawat suaminya yang sakit tersebut. 

Ujian bagi mereka tidak hanya sakit yang dialami oleh suami. Karena sakit yang tak kunjung sembuh, Nabi Ayyub yang semula memiliki harta yang banyak dengan berbagai jenis hewan ternak, budak, dan tanah kemudian jatuh miskin. Hartanya habis, ternak-ternaknya binasa, dan anak-anaknya meninggal dunia.

Saya sendiri tak sanggup membayangkan kondisi itu. Betapa besar ujian yang Allah berikan kepada mereka. Betapa sabar istrinya menghadapi ujian yang begitu berat. Bukan hanya kondisi suami saja yang tak baik, pun kondisi ekonominya pun tak baik. Anak-anaknya pun diambil kembali ke sisi Allah. Bahkan dalam kondisi tersebut, sang istri rela menggantikan tugas suami untuk mencari nafkah sambil merawatnya. Delapan tahun lamanya ujian itu harus mereka hadapi bersama. Hingga Allah mengangkat penyakit Nabi Ayyub dan melipat gandakan rizki karena kesabarannya.

Kisah ini adalah contoh betapa besar kecintaan istri kepada suaminya. Betapa taat dan setianya dia. Istri Nabi Ayyub kemudian menjadi sejarah dalam Islam sebagai wanita yang senantiasa qona'ah dalam kelapanga dan kesempitan. Penyakit dan kebangkrutan Nabi Ayyub tak membuatnya meninggalkan suaminya. 

Kisah lain datang dari sahabat ibu saya. Tentang pilihannya untuk tetap mendampingi sang suami. Setelah menikah, suaminya jatuh sakit, hingga harus berulang kali keluar masuk rumah sakit. Beruntung seluruh biaya rumah sakit ditanggung oleh negara. Penyakitnya bukannya semakin membaik, justru semakin memburuk. Suaminya bukan hanya terbaring di atas tempat tidur, tapi terus menerus muntah darah. Dalam kondisi itu, suaminya tahu bahwa dia tak akan bisa memberikan hak istrinya.

"Dek, tinggalkan saja aku. Carilah suami yang jauh lebih baik, yang mampu membahagiakan kamu dan memenuhi hak-hakmu sebagai seorang istri. Menikahlah lagi."

Istrinya menangis. Tak sedikitpun terbersit dalam benaknya untuk meninggalkan sang suami. Dia tak sanggup membalas kata-kata suaminya. Tapi dia tahu pilihan yang akan dia buat setelah itu.

"Mas pasti sembuh. Mas semangat ya. Aku akan terus di samping Mas."

Kondisi suaminya memang semakin membaik seiring berjalannya waktu. Tapi kondisi yang lemah itu tak cukup sanggup mendatangkan keturunan bagi keduanya. 20 tahun lamanya mereka harus menunggu. Hidup berumah tangga tanpa kehadiran anak dan kondisi suami yang amat lemah tentu tidak mudah bagi seorang istri. Kerinduan pada hadirnya buah hati tentu sering hadir dalam kehidupan mereka. Tapi mereka sadar dan cukup tahu diri bahwa sulit sekali memperoleh anak dengan kondisi yang mereka alami. Sabar akhirnya lagi-lagi menjadi pilihan mereka.

Kesabaran keduanya akhirnya dibalas oleh Allah. Dalam usia yang tak muda lagi, seorang buah hati hadir dalam hidup mereka. Tak hanya mampu memberikan warna baru bagi keduanya, pun kekuatan baru bagi sang suami. Kini, kondisi suami jauh lebih baik dari saat dulu saya mengenal Beliau.

***

Islam telah mengatur dengan jelas hubungan suami dan istri dalam rumah tangga. Keutamaan seorang istri atas suami adalah senantiasa bersikap sabar atas apapun yang didapat suaminya. Baik itu dalam hal nafkah, maupun dalam hal akhlaq. Ketawadu'an seorang istri hendaknya senantiasa menyertainya, hingga terbentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rokhmah. 

Syariat pada dasarnya memang telah memberikan opsi bagi istri untuk meninggalkan suami jika kondisi semacam kisah-kisah di atas terjadi. Tapi tentu saja sabar dalam kondisi ini adalah yang terbaik. Allah SWT akan memberikan surga-Nya kepada istri yang tak hanya sabar menghadapi ujian itu pun tetap taat kepada suami dalam kondisi apapun.

"Wanita mana saja yang meninggal dunia lantas suaminya ridha padanya, maka ia akan masuk surga." (HR. Tarmidzi dan Ibnu Majah)

Artinya, jika seorang wanit beriman meninggal dunia, sedangkan selama hidupnya ia benar-benar memperhatikan kewajiban terhadap suami sampai suami ridha dengannya, maka ia dijamin masuk surga. Karena setelah menikah, ridho suami adalah hal yang utama bagi seorang wanita.

"Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lim waktu, juga berpuasa di bulan Ramadhan, serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan ada wanita yang memiliki sifat mulia ini, "Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka." (HR. Ahmad)

Salah satu kunci keharmonisan dalam rumah tangga adalah ketaatan istri kepada suami. Hal ini yang akan menjadikan suami dan istri memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, jika di antara kita sedang mendapati ujian serupa dengan kisah-kisah di atas, bersabarlah dan terus mendo'akan atas kesembuhannya. Jangan pernah keluar dari mulut kita sepatah katapun yang akan menyakitinya. Berikan pula dukungan dan harapan bagi kesembuhan suami. Bila semua itu mampu kita lakukan, maka sempurnalah cinta kita kepada suami dengan ketaatan yang tak hilang ditelan zaman dan tak lenyap karna ujian di dunia.

Allahu'alam bishowab.

©lellyfitriana

May 16, 2018

Terorisme dan Respon Kita


Hari ini adalah hari ketiga pasca terorisme. Tidak bisa dibilang benar-benar aman dari segala bentuk teror. Semalam dikabarkan ada baku tembak antara polisi dan teroris di Surabaya. Sedangkan di Sidoarjo, kejadian serupa terjadi pagi tadi. Ternyata hal ini tak hanya terjadi di Sidoarjo dan Surabaya saja, tapi di kota lain pun iya.

Saya tak paham apa motif dibalik segala aksi teror yang mereka lakukan. Jika itu atas nama Islam, apa iya yang mereka lakukan sudah sesuai dengan syariat-Nya? Faktanya tidak.

Para pelaku teror melakukan segala macam bentuk perbuatan yang justru dilarang dalam Islam. Bunuh diri, melukai bahkan membunuh warga sipil yang tak bersalah, menghancurkan fasilitas umum dan rumah ibadah, menghalalkan darah kafir dzimmi. Tak ada aturan demikian dalam Islam. Bunuh diri jelas adalah dosa besar dalam Islam.

Dalam perang Rasulullah memerintahkan untuk tetap melindungi perempuan, anak-anak dan orang tua. Sedangkan dalam aksi teror ini, pelaku membunuh siapa saja yang ada di dekatnya. Tak peduli lagi apakah itu warga sipil atau bukan.

Rasulullah juga melarang untuk menghancurkan fasilitas umum dan rumah ibadah. Sedangkan ini? Saya rasa saya tak perlu mempertegas lagi.

Warga Surabaya dan Sidoarjo sejak aksi teror pertama yang muncul sudah sepakat bahwa kami tidak takut melawan terorisme. Tapi faktanya, segala aksi beruntun yang terjadi, membuat kami dag dig dug ser juga.

Iya, tak ada yang menjamin apakah kami akan tetap aman jika hanya berada di rumah saja. Tapi setidaknya berada di tempat aman dengan pengamanan yang sudah berlapis-lapis bisa menjadi ikhtiar kita untuk melindungi diri dari teror ini.

Hari ketiga pasca pengeboman 3 gereja di Suabaya. Jalanan masih sangat lengang. Kendaraan melaju amat kencang. Seakan takut berada terlalu lama di jalanan. 

Perumahan-perumahan ditutup aksesnya. Hanya penduduk sana saja yang boleh masuk. Di depan kampus, ada setidaknya 3 satpam yang berjaga di pintu masuk. Membawa HT dan siap melaporkan kejadian terkini saat itu. Termasuk gerbang ITS. Ada banyak gerbang yang sebetulnya bisa dilalui, tapi hanya ada 2 gerbang saja yang dibuka. Itu pun sudah dilengkapi dengan banyak SKK (Satuan Keamanan Kampus) di tiap gerbang.

Lepas dari segala bentuk proses pengamanan yang ada. Mereka yang menggunakan atribut Islami mulai dicurigai. Pakai gamis dicurigai, apalagi yang bercadar. Memanjangkan jenggot juga dicurigai.

"Jangan-jangan ini komplotan," mungkin begitu yang ada di benak mereka.
Saya sendiri sempat mengalami hal itu saat akan masuk ke dalam gedung Pasca Sarjana. Untuk masuk ke dalam gedung, kami harus membukanya dengan menggunakan smart card. Saya biasanya enggan mengeluarkan smart card untuk membuka pintu karna posisi kartu yang tenggelam di tumpukan barang dalam tas saya. Alih-alih mengambil smart card, biasanya saya melambaikan tangan ke Mbak Kiki, petugas keamanan kampus. Setelah itu Mbak Kiki akan menghampiri saya dan membukakan pintu.

Tapi siang itu Mbak Kiki tidak sedang di tempat biasa dia bertugas. Saya pun merogoh isi tas untuk mencari smart card, sembari menoleh kanan kiri, siapa tahu ada mahasiswa yang mau masuk. Saya bisa ikut masuk tanpa harus mengeluarkan smart card.

Rupanya perilaku saya tadi dianggap mencurigakan bagi mahasiswa yang tak mengenal saya. Ada yang mengamati saya dari ujung kepala hingga kaki. Khawatir seakan-akan saya akan meledakkan diri seketika itu juga.

Rekan saya bahkan mendapat perilaku yang lebih wow lagi dari saya. Bukan hanya karna pakaian yang dia gunakan. Tapi juga karna mobile robot yang terbawa di dalam mobilnya. Pemeriksaan ketat harus dia jalani, sampai semua telah dipastikan aman.

Tak hanya itu. Pemberian Surat Peringatan kepada mereka-mereka yang kerap memberikan kajian juga dilakukan. Bayangkan saja, mereka yang biasa berdakwah, kini dituduh menyebarkan terorisme. Di kampus sebelah, bahkan ada yang diturunkan dari jabatan strukturalnya.

Fitnah-fitnah dilayangkan. Seakan-akan lembaga dakwah kampus adalah sarang teroris. Mereka yang tergabung sebagai anggota atau hanya simpatisan organisasi Islam dicurigai.

Parah.

Beginilah kondisi kami hari ini. Hidup tidak hanya dalam kekhawatiran teror yang bisa saja muncul kapan saja dan di mana saya. Pun sikap aparat hukum yang mulai lelah dengan semua ini.

Dalam kondisi keos semacam ini. Ketika masyarakat sekali lagi mulai phobi dengan Islam, penting bagi kita untuk tetap waras. Bersikap tenang agar mampu berpikir jernih dalam menghadapi tekanan berbagai pihak yang mulai ketakutan ini. Dakwah Islam juga tetap harus disampaikan. Sampaikan bagaimana Rasulullah mengajarkan kita agar Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam. Sampaikan kebenaran, sekali pun banyak yang menghujatmu karenanya. Tak apa. Rasulullah, Sang Manusia sempurna saja masih dicemooh oleh Abu Jahal. Apalagi kita yang cuma remah-rah rengginang di kaleng khong guan?

©lellyfitriana

May 5, 2018

Perjalanan Menuju Ketaatan



Ada doa yang selalu kita ucapkan dalam sholat-sholat kita, yang kita ulang minimal 17 kali dalam sehari.
Tunjukkanlah kami jalan yang lurus. - Q.S. Al Fatihah : 6
Jalan yang lurus itu apa sih? Ya jalan yang benar. Benar sesuai dengan yang Allah perintahkan. Artinya, sadar atau tidak. Setiap hari kita sudah meminta pada Allah untuk terus menerus dibimbing dalam ketaatan. Jika hari ini kita mendapati diri kita telah menemukan hidayah, maka itu semua karna Allah lah yang telah membimbing kita menemukan jalan yang benar.

Sayangnya, perjalanan menuju taat ini gak bisa dibilang mudah. Untuk memulai saja sudah penuh dengan gejolak di dalam jiwa dan raga. Apalagi untuk istiqomah.

Ada salah satu mahasiswi kampus sebelah yang pernah bercerita kepada saya mengenai pengalaman yang telah dia lalui pasca mengenal Islam. Setelah mengaji dia mulai mendudukan benar dan salah dalam sudut pandang Islam. Perubahan cara berpakaian, berperilaku, hingga bergaul pun nampak pada dirinya. Dia paham jika perubahan yang ada pada dirinya tak jarang menimbulkan pertanyaan pada teman-teman di sekitarnya.

"Dia yang sekarang udah nggak seperti dulu lagi."

Begitulah kira-kira persepsi mereka. Bagi mahasiswi itu, persepsi yang terbentuk di lingkungan sekitarnya jstru menjadi penjaga dirinya. Teman-temannya kini menjadi tahu harus bersikap bagaimana terhadapnya. Masalah tidak timbul dari teman-temannya. Tapi bagaimana orang tuanya menyikapi perubahan dirinya.

Papa saya awalnya nggak suka saya menggunakan jilbab seperti sekarang, Bu. Tapi 'kan nggak mungkin juga saya turuti apa kata Papa kalau yg diperintahkan justru berlawanan dari perintah Allah. Ya saya jelaskan terus ke Papa. Coba pendekatan lewat Mama juga. Alhamdulillah, sekarang Papa sudah nggak pernah larang saya lagi. Sekarang ujianya justru naik level. Papa melarang saya untuk pergi mengaji. Sekarang ini dalam proses memahamkan Papa bahwa mengaji Islam itu adalah kewajiban yang tetep harus diusahakan. Urgensinya apa, pengaruhnya ke saya apa. Lepas dari semua itu, saya juga harus menunjukkan ke Papa perubahan sikap saya setelah mengaji tadi. Intnya birul walidainnya digenjot lagi lah, Bu.

Bukan hanya satu dua saja yang mengalami hal semacam ini. Ketika anak ingin berhijrah, apa daya orang tua justru melarang.

Kita tidak bisa menyalahkan orang tua anak-anak ini sepenuhnya. Ketika isu islamphobia disebarkan secara masiv, maka wajar bila orang tua khawatir anak-anak mereka menjadi orang-orang yang dikabarkan oleh berita.

Pertanyaanya, haruskah kita berbalik arah dan kembali ke masa jahiliyah kita?

Tidak. Segala bentuk penolakan yang terjadi entah itu dari teman atau keluarga justru akan menjadi lahan dakwah bagi kita untuk menyebarkan Islam. Bukan hanya lewat teori, tapi perubahan perilaku dan dampak pada aktivitas sehari-hari kita. Selanjutnya, semoga kebaikan-kebaikan yang kita usahakan dapat ditiru dan disebarkan oleh orang lain.

©lellyfitriana

May 4, 2018

Nasehat Pernikahan dari Ibu


Dulu waktu SMA saya pernah ikut pecinta alam. Jadi aktivitas outdoor macam rafting, rapling, wall climbing, dan banyak hal lain itu semacam aktivitas yang biasa untuk saya. Dari semuanya, mostly seru. Nasehat ibu semalam tentang bagaimana nanti saya harus menjalani kehidupan pernikahan megingatkan saya dengan salah satu aktivitas ini.

Rafting.

Iya, la wong ibu sendiri yang mention ini. Kata ibu, menjalani pernikahan itu semacam lagi rafting. Perahu yang akan dinaiki sama-sama itu akan berjalan di atas aliran sungai yang biasa. Goncangan-goncangaan yang terjadi di dalamnya itu sudah jadi hal biasa. Orang yang liat akan bilang itu seru, menyenangkan. Tapi yang menjalani akan kerasa beda. Tangan bisa njarem-njarem karna harus ngayuh perahu. Dan kudu kompak, kalo gak akan mempengaruhi jalannya perahu. Trus pemegang kendali juga kudu more skillfull. Selanjutnya adalah kemampuan untuk mau mendengar dan menundukkan ego, biar perahu bisa jalan dengan baik, menghindari semua rintangan yang ada, serta bertaha untuk gak numplek.

Pernikahan pun demikian. Jangan dikira naanti  akan seindah feed instagram orang lain. Saat menjalaninya, mungkin kita akan ngalami yang gak enak-enak macem tangan njarem tadi, perahunnya kena ranting trus bochor, nyangkut di antara bebatuan, tangan lecet kesenggol tanaman-tanaman yang ada di tepi sungai, dan semacamnya. Maka menjalani pernikahan tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan salah satu pihak saja. Pun tidak bisa mengandalkan pikiran salah satunya saja. Semua orang harus mau bahu membahu agar perahu pernikahan ini teetap berjalan in the track.

Ego harus ditekan. Mau dengar satu sama lain. Mau terbuka satu sama lain. Saling mengingatkan satu sama lain. Saking menguatkan satu sama lain. Dan yang gak kalah pentinb adalah memohln kekuatan sama Allah untuk tetap bisa bertahan dalam bahtera rumah tangga tadi.

Dari semua hal tadi, tidak mungkin menjalani semuanya tanpa bekal ilmu yang cukup. Rafting kalo gatau ilmunya ya perahu gak bakal jalan. Kalopun jalan kemungkinan nyungsep atau numplek juga akan besar. Menjalani pernikahan pun demikian. Upgrade ilmu terus terus dan terus itu jadi kewajiban yang harus dipunya oleh semua pihak. Susah kalo yang satu ngerti, lalu yang lain enggak. Ya bakal ngoyo di salah satu pihak.

Terakhir dari ibu, "tetap libatkan Allah, Mbak. Cuma Allah yang mampu menuntun, menyelamatkan, dan memberi kekuatan ke kita dalam setiap perjalanan yang akan dilalui dalam pernikahan nanti.