Assalamu'alaikum!

Perkenalkan, nama saya Aprilely Ajeng Fitriana. Kalian bisa panggil saya Lelly. Saya lahir di Malang pada tanggal 22 April 1991. Saat ini, saya tinggal di Bogor bersama suami dan anak saya. Blog ini adalah tempat saya mencurahkan segala pemikiran saya dari berbagai peristiwa. Bagaimana saya menghadapinya dan apa saja hikmah yang saya peroleh.

Resign or Not?

Oct 14, 2018


"Lel, aku mau resign."
"Sudah siap"
"In syaa Allah..."

***

Sebenarnya saya ini juga tidak terlalu mau kepo dengan urusan orang lain. Tapi entah kenapa kok banyak sekali DM yang masuk lewat instagram yang bercerita tentang masalah yang sedang dihadapinya. Salah satunya adalah curhatan ibu tentang anaknya. Ibu bekerja yang merasa kehilangan perhatian dari anaknya. 

Fyi, umur anaknya belum ada satu tahun tapi perhatiannya ke ibunya tak sebaik ketika dia memperhatikan orang yang biasa mengasuhnya. Ibunya cemburu. Marah. Kesal. Sedih. Dan segala perasaan lain yang berkecamuk dalam hatinya. Lalu, siapa yang salah? Anaknya? Ataukah pengasuh anaknya?

Jelas bukan salah si anak atau orang yang mengasuh bayinya. Ini adalah satu konsekuensi yang harus dia ambil ketika mensubkontrakkan pengasuhan kepada orang lain. Kita masih bicara tentang pengasuhan ya, belum pendidikan. Apakah tidak ada drama lain? Oh jelas ada. Ibu dan pengasuh bayi punya keinginan sendiri-sendiri tentang bagaiamana membiasakan si bayi ini. Ibunya mau A, pengasuh bayi maunya B. Siapa yang menang? Oh jelas pengasuhnya. Kenapa? 


Oya, saya belum cerita kondisi ibunya, ya? Berangkat pukul 6 pagi dari rumah. Mengantarkan anaknya untuk dititipkan ke rumah saudara yang dekat dari rumah. Lalu berangkat ke kantor. Pulang kantor di atas pukul 5. Kira-kira sampai rumah menjelang maghrib. Bersih-bersih diri, lalu jemput bayinya. Hitung berapa waktu yang bisa dihabiskan oleh ibu bayi tadi dengan bayinya?

Sekarang, kita sama-sama bisa menjawab pertanyaan kenapa yang menang pengasuhnya, bukan?

Mana yang lebih banyak waktu bersama si bayi? Ibunya atau pengasuhnya? Mana informasi yang lebih banyak masuk? Dari ibunya atau pengasuhnya?

Lalu, kalau si anak lebih seperti apa yang pengasuhnya mau, siapa yang salah? Anaknya? Pengasuhnya? Atau ibunya? 

Saya seriiing sekali mendengar para ibu bekerja yang berdalih memberikan quality time not quantity. Tapi pernah tidak kita melihat dari sisi anak. Belum tentu lho waktu on kita sama dengan waktu on anak. Kalau sudah begini, apa bisa kita memberikan quality time kita ke anak?

It's okay, ketika seorang ibu memilih bekerja. It's okay ketika seorang ibu memilih untuk aktif di ranah publik. Tapi ibu juga harus ingat ada kewajiban yang tak boleh dia alihkan, titipkan, atau subkontrakkan kepada orang lain, yaitu mendidik dan mengasuh anak. 

Mengutip dari beberapa materi yang pernah saya dapatkan dalam kelas Matrikulasi Institut Ibu Profesional, "perempuan boleh aktif di ranah publik. Perempuan bisa bebas berkarya mengembangkan dirinya menjadi apapun yang dia mau. Tapi kalau apa yang dia lakukan membuat suami komplain, ini sudah masuk lampu kuning. Artinya, dia harus waspada. Ada tanggung jawab yang mulai colaps, atau bahkan terabaikan. Kalau anak sudah mulai protes dengan caranya, ini sudah masuk lampu merah. Hentikan dan mulai lagi tata bagaimana peran dan fungsi kita yang utama sebagai ibu dan isteri."

Dulu, sebelum menikah, ada banyak perempuan di luar sana yang berharap untuk segera dipertemukan dengan jodohnya. Lalu, setelah menikah, mereka berharap untuk segera diberikan momongan. Namun, setelah anak hadir dalam keluarga kecil mereka, justru dititipkan pada orang lain. Maunya apa?



Saya tahu betul bahwa resign atau keluar dari pekerjaan bukan sesuatu yang mudah. Ada ego dari diri yang ingin terus berkarya dan mengejar mimpi. Ada pihak yang tak rela ketika kita berhenti bekerja. Dan sekian banyak alasan lain. 

Maka, ketika kamu punya keinginan untuk keluar dari pekerjaanmu yang sekarang. Persiapkan segalanya dengan baik. Bukan hanya mental, tapi sederet aktifitas yang nanti akan kamu jalani. 


Banyak sekali ibu-ibu di luar sana yang akhirnya kembali bekerja lagi setelah resign karena alasan keluarga hanya karena tidak siap dengan segala perubahan yang terjadi dalam dirinya. Ada juga ibu-ibu di luar sana yang memilih untuk bekerja karena stress menghadapi anaknya terus menerus. Ada. 

Prepare your self as well as you can.
Kamu mau nikah? Persiapkan dengan baik semuanya. Bukan hanya ribut kenapa masih jomblo, tapi siapkan ilmunya. Belajar agama agar kamu tahu mana area yang bisa kamu usahakan dan mana area yang kamu hanya cukup bertawakkal pada Allah.

Kamu ingin punya anak? Persiapkan juga dengan baik. Bukan hanya galau kenapa tak kunjung hamil, tapi gali ilmumnya. Persipakan diri untuk menjadi ibu. Mau dididik macam apa, mau dikondisikan bagaimana anak itu nanti ketika lahir, dan seterusnya.

Kamu mau resign? Persiapkan juga dengan baik. Jangan sampai kamu kembali meninggalkan keluarga lagi hanya karena tidak tahan dengan semuannya.

Bekerja atau tidak itu pilihanmu. Terserah kamu mau memilih yang mana. Tapi mengasuh dan mendidik anak bukanlah hal yang bisa kamu pilih-pilih. Ini kewajiban yang melekat pada diri seorang ibu. Jalani sebaik mungkin. Kalau kamu masih ingin berkerja, kondisikan semuanya agar kewajibanmu tak terbengkalai. Kamu tidak mau kehilangan masa-masa berhargamu dengan si kecil, bukan?



Postingan ini diikutsertakan dalam One Day One Post bersama Estrilook Community.

Comments

  1. Memang dilemma...
    Semoga tetap bisa menemukan solusi terbaiknya..

    ReplyDelete
  2. Mbaaa, di atas-atas agak gimana gitu bacanya, kalau dibaca oleh ibu bekerja mereka pasti sedih.
    Kalau menurut saya, 90% ibu bekerja itu karena uang. Masalah pride, ego, dan segalanya itu bonus aja.

    Saya adalah seorang ibu yang resign 2 kali.
    Pertama resign shock gegara harus mengatur ulang keuangan, bahkan sampai pernah mengalami, bayar asuransi seiprit saja gak bisa.

    tapi di sisi lain, Allah gantikan dengan kesehatan bagi kami sekeluarga, yang mana kalau saya kerja anak kayak langganan DSA mulu hiks.

    Sampai akhirnya saya balik bekerja karena banyak pertimbangan, meskipun saya ngantor sambil bersimbah air mata karena ingat anak di daycare.
    Semua saya lakukan karena memang lagi butuh uang banget.

    Makanya setelah keuangan membaik, saya resign lagi.

    Di akhir postingan saya setuju banget.
    Kadang orang hanya fokus terhadap apa yang mereka belum punya.

    belum punya anak heboh ke sana kemari ikhtiar punya anak, lupa kalau anak itu manusia, bukan boneka yang bisa disimpan di lemari hahaha.

    Makasih sharingnya ya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. saya yakin bahwa nggak ada ibu yang sebenarnya tega ninggal anaknya. tapi karena berbagai alasan, jadi ditega2in gitu. saya sebetulnya kasihan dengan yang semacam itu.

      sama2 mbak :)

      Delete