Assalamu'alaikum!

Perkenalkan, nama saya Aprilely Ajeng Fitriana. Kalian bisa panggil saya Lelly. Saya lahir di Malang pada tanggal 22 April 1991. Saat ini, saya tinggal di Bogor bersama suami dan anak saya. Blog ini adalah tempat saya mencurahkan segala pemikiran saya dari berbagai peristiwa. Bagaimana saya menghadapinya dan apa saja hikmah yang saya peroleh.

Jan 27, 2020

Pengalaman Melahirkan Baby G: Hingga Batas Ikhtiar


Pengalaman melahirkan

Awal tahun 2019 kemarin, saya tulis "punya anak" sebagai salah satu harapan di tahun itu. Alhamdulillah, hal yang kami nanti-nantikan diijabah oleh Allah. Ketika garis dua itu muncul, masya Allah nyess banget. Kalau inget moment itu, mata ini mendadak jadi lebih becek aja. Even akhirnya buyar dengan respon suami yang malah minta dijelasin gimana garis dua itu muncul.

9 bulan nggembol jabang bayi bisa dibilang bukan hal yang mudah. Morning sickness, diare parah sampai lemes, jantung tiba-tiba juga jadi aneh. Meski begitu, tetep aja hamil itu ngangenin. Setuju?

Well, sama halnya dengan buibu yang lain, saya juga ingin melahirkan Baby G dengan normal. Segala hal mengenai melahirkan yang nyaman dan menyenangkan saya pelajari. Birth plan saya buat. Tenaga kesehatan yang nantinya akan mendampingi, saya pilih. Rumah sakit yang pro ini itu juga sudah. Persiapan fisik dan nutrisi untuk janin juga sudah. Apa yang bisa saya dan suami upayakan, kami upayakan.

Hingga akhirnya segala kisah itu bermula...


Senin, 4 November 2019


Hari itu saya kontrol ke dr. Astry lagi. Maunya menjelang due date begini kontrolnya ke dr. Farah aja, dokter yang kami percaya untuk membantu persalinan nanti. Tapi apalah daya, kemarinnya lupa kalau harus daftar dulu pagi-pagi. Begitu ingat langsung telpon RSIA Bunda Suryatni. Karna sudah agak siang, saya kehabisan slot untuk kontrol.

Karna sudah masuk 39 minggu, selain USG, dr. Astry juga melakukan VT ke saya. Hasil kontrol hari itu yang agak tidak menyenangkan.

"Kondisi plasentanya sudah mulai mengalami pengapuran Grade III, air ketuban juga sudah mulai berkurang. Berat janin ibu juga tidak mengalami kenaikan berat badan yang signifikan. Ini naiknya bahkan cuma 20 gram saja. Posisi janin juga masih belum masuk panggul. Kalau saya sih lebih baik segera dilahirkan saja. Saya buatkan surat rekomendasi untuk induksi ya, Bu. Kalau ibu dan bapak setuju, besok pagi jam 7 bisa datang ke IGD untuk menjalankan proses ini," begitu kata beliau.

Surat rekomendasi dibuat. Rasanya masih selow sih. Induksi ya wes. Tapi nggak mau lahiran di RSUD.

Keluar dari poli, saya dan suami diskusi. Gimana enaknya, jadi lahiran di RSIA Bunda Suryatni atau RSUD aja. Kalau jadi, kami gimana. Kalau nggak, juga gimana. Akhirnya, keputusan kami tetap jatuh ke RSIA Bunda Suryatni.

Pulang dari RSUD kami beranjak ke RSIA Bunda Suryatni. Pingin konsultasi hasil ngobrol dengan dr. Astry tadi ke dr. Farah. Saya bawa surat rekomendasi itu supaya tetap dapat slot. Alhamdulillah bisa. Bahkan, karena kondisi saya begitu, antrian pun didahulukan. Tidak cuma itu, disuruh naik kursi roda pula. Suami sampai bingung.

Kursi roda
Mulai disuruh naik kursi roda. Khawatir ketuban makin abis.


"Ngapain naik kursi roda?"
"Nggak tahu."

Ekspresi dr. Farah begitu saya masuk ruangan tidak seceria biasanya. Kali in serius sekali.

"Kita periksa dulu, yuk."

Dokter mulai cek lagi kondisi janin saya melalui USG dan VT. Yup, itu VT kedua hari itu. Tidak hanya itu, dokter juga minta saya untuk melakukan tes cardiotocograpghy (CTG).

Saya naik ke lantai 2. Perut saya dipasangi belt yang sudah tersambung dengan alat yang mengukur detak jantung janin dan kontraksi yang saya alami. Sesekali rangsangan diberikan karena janin saya tidak bergerak.

Tes CTG
Tes CTG pertama


Tes ini memakan waktu 30 menit. Lumayan lama dan bikin ngantuk. Tapi saya tetep harus sadar untuk bisa pencet push button kalau-kalau janin mulai bergerak. Setelah tes berakhir, hasilnya langsung dibawa ke dr. Farah untuk memutuskan tindakan selanjutnya.

"Kondisi ketuban memang sudah mulai berkurang, tapi masih bagus. Placenta memang sudah mengalami pengapuran. Tapi ini wajar untuk kehamilan tua seperti ini. Posisi janin ini yang masih jauh. Seandainya kita lakukan induksi sekalipun kemungkinan gagalnya tinggi. Ini hasil CTG bagus. Jadi, kita tunggu dedeknya turun sendiri aja ya. Tapi tetap harus sering absen ke rumah sakit nih. Hari Rabu ke sini lagi ya untuk tes CTG ulang."

Alhamdulillah. Lebih plong mendengar penjelasan dr. Farah.


Selasa, 5 November 2019


Gara-gara dibilang mau induksi itu saya jadi penasaran. Mulai cari tahu induksi itu apa. Worst case kalau induksi gagal, apa yang akan dilakukan dokter. Gimana rasanya, semuanya saya cari tahu untuk persiapan mental yang lebih baik. Of course, diskusi sama suami juga dilakukan.

"Kalau induksinya gagal, aku dicaesar lho, Mas."

Abis ngobrol banyak tentang induksi, suami coba ngobrol sama janin.

"Kak, cepet turun ya kak."


Rabu, 6 November 2019


Berangkat sepagi mungkin untuk tes CTG. Kali kedua tes CTG sudah lebih selow dari sebelumnya. Kali ini bukan hanya CTG saja, tapi VT lagi dan tes darah lagi.

Hasilnya, mulai ada angin baik. Kontraksi mulai semakin teratur. Kalau kemarin janin masih jauh dari panggul, hari itu akhirnya pembukaan 1!

Semua hasil dikirim ke dr. Farah untuk dikonsultasikan langkah selanjutnya. Kata dokter, saya harus CTG lagi pukul 14.00. Ada kemungkinan juga saya harus stay di rumah sakit untuk persiapan persalinan.

Wow, rasanya excited sekali. Alih-alih nunggu, kami pulang ke rumah membawa segala macam yang perlu dibawa. Bahkan sempat ke Depo Bangunan juga untuk beli obat untuk pipa dapur yang tersumbat.

Kisaran pukul 12 siang kami kembali. Untuk saya, rumah sakit sudah menyediakan makan siang. Mumpung lapar nih, datang langsung makan.

Pukul 14.00 saya menjalani tes CTG dan VT yang kedua. Berbeda dengan hasil CTG pagi, kali ini kontraksi makin jarang lagi. Pembukaan yang awalnya dibilang 1 tadi juga ternyata belum full 1. Hmmmm...

Kali ini jawaban dr. Farah adalah induksi. Sebetulnya, kami tidak masalah kalau memang harus begitu. Tapi nggak ada salahnya dong tahu kenapa kok harus banget induksi.

Sekitar jam 8 malam dr. Farah visit. USG dadakan dilakukan di ruang VK. Kondisi ketuban masih baik. Nggak jauh beda dengan hari Senin kemarin. Kalau saya mau nunggu sih, it's okay.

Malam itu, kami pulang. Mengizinkan janin kami berupaya untuk keluar dengan caranya sendiri.


Jumat, 8 November


Absen lagi. CTG lagi. Hasilnya, kontraksi makin bagus. Tapi pembukaan masih 1.

"Mari kita berusaha lagi ya, Nak."

Sepulang dari RS, seperti biasa, coba yoga, main gymball, dan upayain pakai gerakan Maryam yang populer itu. Intinya, apa aja yang bisa diupayakan, upayakan.

Tiba-tiba aja dikasih tahu suami kalau ibu mau ke Bogor. Ini di luar rencana sih. Awalnya, ibu bilang nggak bisa dampingi. Ternyata kepikiran sampai nangis-nangis.


Sabtu, 9 November 2019


Seperti biasa, tiap Sabtu pagi yoga di RS. kali ini langsung bawa peralatan perang dan hospital bag. Siap-siap kalau seandainya abis yoga terus kontraksi makin hebat.

Pukul 10.30 WIB, kelas yoga selesai. Entah kenapa waktu diminta komunikasi sama janin, air mata ini mendadak meleleh.

"Dear Baby G, kamu kuat. Semangat, Nak. Terima kasih sudah mau bertahan selama ini di perut Ummi."

Kami pulang masih dengan harapan kalau hari ini bisa lahir. Sesampai rumah, saya urus pekerjaan rumah yang belum selesai.

Sorenya, kontraksi semakin intens dan makin sakit. Rencana masak makan malam untuk ayah ibu jadi dibatalkan. Beli makan di luar saja.

Ba'da isya, kontraksi sudah semakin sering dan semakin sakit. Ibu melarang saya untuk pergi ke RS dulu.

"Tunggu sampai betul-betul sakit."

"Ini udah sakit, Bu."

Ibu diam. Iyalah, kan yang merasakan saya.

Sampai RS, saya langsung dibawa ke Ruang VK untuk tes CTG dan VT dulu. Hasilnya, pembukaan sudah mulai bertambah meski kontraksi menghilang saat sampai di sana.

Gemes? Sudah pasti. Malam itu, kami bermalam di sana.


Minggu, 10 November 2019


Bangun pagi sekali dan mulai jalan-jalan di sekitar Ruang VK. Setelah itu, masuk kamar untuk coba gerakan-gerakan yoga yang bisa bantu janin makin turun ke panggul. Main gymball pun tidak lupa.

Sayangnya, kontraksi masih datang dan pergi.

Tes CTG malam, detak jantung janin sering sekali lebih tinggi dari batas normal. Biasanya sih itu terjadi kalau dia lagi gerak. Kali ini beda. Janin saya tidak bergerak.

Rasa cemas mulai menghampiri. Coba tanya ke bidan tentang hasil CTG malam itu. Katanya sih baik-baik saja. Normal-normal saja. Entah, itu untuk menenangkan saya saja atau bagaimana.

Hasil CTG dikirim ke dr. Farah. Kata beliau, besok janin saya harus lahir. Bisa dengan induksi atau caesar.

"Ya Allah, terima kasih sudah menitipkan janin ini di perut hamba. Jika memang Engkau berkenan hamba memeluk dan merawatnya, berikan kami kekuatan. Hamba sudah berusaha untuk bisa melahirkan normal, bila memang bukan ini jalan yang terbaik, hamba ikhlas."

Pasrah dengan sepenuhnya pasrah dengan hasil yang nanti akan Allah berikan. Kalau memang harus induksi, ya sudah. Kalau memang harus caesar, ya sudah. Satu yang pasti, saya ingin mendengar tangis bayi saya. Ingin memeluk serta mendekapnya. Tapi, bila memang Allah berkehendak lain, saya siap.


Senin, 11 November 2019


"Kata dr. Farah, hari ini dia harus lahir. Pilihannya ada 2, mau induksi atau caesar."

"Saya pilih induksi."

Agak galau sebetulnya. Khawatir induksi gagal. Tapi sebetulnya tanda-tanda persalinan sudah semakin baik. Jadi, apa salahnya dicoba.

Pukul 07.00 obat diinjeksikan melalui cairan infus. Tetesannya diatur oleh bidan sesuai perintah dr. Farah.

Pukul 10.00, belum juga merasakan kontraksi. Akhirnya, dosis obat ditambah. Setelah itu, tes CTG kembali dilakukan. Entah ini tes yang ke berapa kalinya.

CTG kali ini semakin bikin melow. Tiap kali kontraksi detak jantung janin melemah. Ditambah lagi, dia jarang sekali bergerak. Berkali-kali dirangsang oleh bel, hasilnya hampir sama. Rasanya ingin USG saja untuk lihat ada apa di dalam sana.

"Gimana hasilnya, Mbak?"
"Hasil ctg-nya bagus kok, Bu. Tapi karena tadi sempat melemah, ibu pakai selang oksigen ya. Ini untuk tambahan oksigen ke janin juga."

Bidan-bidan masih sama. Melakukan tindakan sembari menenangkan hati saya.

Selang oksigen dipasangkan ke saya untuk membantu tambahan oksigen ke janin. Lihat tes CTG yang seperti itu, saya putuskan untuk tidak banyak bergerak.

"Dear Baby G, kuat ya, Nak."

Menjelang pukul 12 siang, kami mempersiapkan diri untuk check kandungan dengan dr. Farah di poli. Kursi roda sudah disiapkan. Setelah siap, kami turun ke bawah.

Dokter sudah menyambut kami. Beliau minta saya untuk berbaring di ranjang untuk persiapan USG.

"Kondisi janin masih OK, tapi air ketubannya sudah mulai kering nih. Hari ini juga mesti lahir. Jadi, kalau April masih mau lahiran normal, banyakin jalan ya. Dosis induksinya nggak akan saya tambah kok. Segitu aja cukup biar nggak terlalu sakit juga," gitu kata dr. Farah.

Selesai ketemu dokter, ikhtiar terakhir kami upayakan. Banyak jalan. Betul-betul banyak jalan. Saya keliling lobi ruang tunggu VK macem orang gila. Nggak lupa dzikir terus dirapal untuk mengalihkan rasa sakit waktu kontraksi itu datang.

Powerwalk
Masih bisa jalan-jalan


Pukul 14.00 saya mulai kembali ke ruang VK lagi. Istirahat. Bagimana pun juga saya butuh tenaga untuk persiapan persalinan.

Kontraksi datang makin lama makin hebat. Suami saya minta untuk terus ada di samping saya. Tangannya saya genggang kuat-kuat ketik kontraksi itu datang. Seiring bertambahnya rasa sakit, saya mulai kesulitan bernapas.

"Mas, tolong pasangin oksigen ke hidungku lagi dong."

Oksigen sudah terpasang. Kontraksi juga datang makin intens.

Pukul 15.00. Saya makin kesulitan bernapas.

"Mas, aku nggak bisa napas."

"Jangan bilang nggak bisa," kata ibu.

"Ini emang nggak bisa. Panggil bidan. Panggil bidan."

Bidan datang. Dalam kondisi semacam ini justru masih bertanya saya maunya nerusin induksi apa nggak. Jujur, detik itu juga udah nggak bisa mikir. Terserah deh mau diapain juga.

Rasa sakit datang makin kuat. Napas sebetulnya jadi kunci untuk mengalihkan sakit itu. Tapi sayang, saat itu saya betul-betul kesulitan. Rasanya seperti mau mati saja.

Pukul 16.00

Saya sudah nggak kuat lagi. Saya minta suami untuk memanggil bidan. Saat itu, ibu saya sudah turun ke bawah untuk menemui dr. Farah. Intinya sih minta untuk segera dilakukan tindakan pertolongan.

"Ibu masih ngobrol sama dokter, Bun."

"Saya mau caesar aja."

"Kamu yakin? Ikhlas? Nggak apa-apa?" tanya suami saya meyakinkan keputusan saya itu.

"Iya, nggak apa-apa."

Saya cuma mau menyelamatkan anak saya. Kalau saja saat itu adalah waktu terakhir saya, setidaknya anak saya masih bisa hidup.

Setelah keputusan itu, saya ditinggal sendiri. Suami diminta untuk tanda tangan surat persetujuan tindakan. Para bidan juga mulai mempersiapkan semua hal yang saya butuhkan.

Pukul 16.30
Saya sudah makin lemas. Tangan suami masih dalam genggaman saya.

"Mas, aku minta maaf ya. Kalau aja ini jadi napas terakhirku, aku minta maaf atas semua kesalahanku."

Mas mengusap kepala saya. Dia kecup kening saya.

"Sudah, jangan bilang gitu."

Saya juga minta maaf ke ibu. Momen itu justru jadi momen baikan dengan ibu setelah sempat lama bersitegang. Kami menangis bersama.

Tak lupa juga mengabarkan ke ayah-ayah kami dan ibu mertua.

Setelah itu, saya baru ingat kalau saya belum Sholat Ashar. Saya minta bantuan ibu untuk mengambil air wudhu dan menutup aurat saya. Mungkin itu sholat yang saya jalani dalam perasaan yang betul-betul ada di titik nol. Hanya keagungan Allah yang ada.

Air mata saya meleleh dalam tiap doa yang saya ucap dalam sholat saya. Selesai sholat, rapalan istighfar terus menerus saya gumamkan.

Pukul 17.00
Hujan lebat mengguyur Kota Bogor. Kamar operasi sudah siap. Tes alergi terhadap obat juga sudah dilakukan. Saya pun dipersiapkan untuk dibawa ke kamar operasi.

Di sana, saya sendirian. Bidan melarang suami saya untuk masuk.

Pasrah. Itu yang saya rasakan saat itu.

Tidak lama setelah saya masuk ruang operasi, saya mulai merasa ingin mengejan. Saat itu saya sendirian, bidan sedang keluar sebentar untuk laporan ke dokter. Bingung harus apa. Bahkan tiap napas yang saya hembuskan rasanya membuat posisi janin makin turun. Rasanya mau brojol aja.

Dokter anastesi masuk bersama bidan. Saya mulai didudukkan untuk injeksi anastesi. Saya tahan gejolak yang ada dalam perut saya itu.

Sekali suntik. Gagal. Posisi saya kurang tegak sehingga jarum suntik sulit untuk masuk. Kali kedua, setelah dibantu bidan menegakkan badan, barulah bisa.

Perlahan kaki saya mulai hilang rasa. Merambat ke atas hingga perut. Rasa ibgin mengejan perlahan mulai hilang.

Berita acara dibacakan. Dokter-dokter yang akan membantu proses operasi sudah lengkap. Dalam kesadaran yang hilang timbul, bibir ini tak henti-henti merapal istoghfar. Memohon ampun atas segala dosa yang pernah saya lakukan.

"April ngantuk ya?" tanya dr. Farah.
"Enggak, dok."
"Sebentar lagi anak kamu lahir."

Tak lama setelah itu, suara tangis bayi pecah. Air mata saya pun mulai mengalir. Alhamdulillah, Ya Allah. Engkau izinkan hamba mendengarnya.

Setelah tali pusat dipotong, kami melakukan skin to skin. Saya cium Baby G untuk pertama kalinya, begitu juga dengannya. Proses ini tidak bisa lama karena ruang operasi yang dingin. Kasihan bayinya.

Pasca operasi, kami dipisahkan selama 6 jam untuk observasi ibu dan bayi. Saya masih di ruang OK. Sementara Baby G di ruang perina.

Lepas maghrib, suami saya masuk. Dia kecup kening saya.

"Selamat ya sudah jadi ibu."


Epilog

Ghazy Sarfaraz Azzam


11 November 2019, bukan hanya jadi hari lahir putra kami yang bernama Ghazy Sarfaraz Azzam. Hari itu, saya pun seperti dilahirkan kembali.

Perjuangan panjang yang kami lalui bersama menunjukkan betapa besarnya kuasa Allah di sini. Sehebat apapun ikhtiar yang kami lakukan, bila Allah tidak berkehendak ya tidak akan terjadi. Allah tahu skenario terbaik untuk hamba-Nya. Pada akhirnya, ketika semua berjalan tak sesuai harapan, percaya saja bahwa itu adalah yang terbaik.


With love,

Jan 20, 2020

New Year, New Me

Resolusi

Yuhuuuu... Akhirnya, blog ini terisi juga setelah sekian purnama vakum nulis. Ini bisa dibilang tulisan pertama setelah bangkit dari ini itu. Jadi makin berkesan karna pas banget sama moment tahun baru. Tahun baru, tulisan baru, diri yang baru.

Well, biasanya kalau tahun baru itu identik dengan resolusi yang baru. Tapi, kali ini saya nggak pingin bikin resolusi macem-macem. Cuma mau mengusahakan yang terbaik untuk tiap hal yang
saya jalani. Banyak hal yang nggak bisa saya janjikan terpenuhi dengan status baru ini, yaitu menjadi ibu.



11 November 2019 kemarin anak pertama kami lahir. Ini nih yang bikin segalanya jadi berbeda. Mau masak bingung. Beberes bingung. Bahkan, makan dan mandi aja bingung. Perlu banget adaptasi dengan segala hal yang baru ini.

Saya bersyukur sekali selama hamil kemarin dikasih kesempatan untuk belajar mempersiapkan diri jadi ibu. Kalau misal si baby lahir, saya harus apa. Ini sudah sempat dipelajari. Jadi, nggak kaget-kaget amat. Bahkan bisa selow gitu.

Pemilihan rumah sakit tempat bersalin sebenarnya membantu juga sih. Sebelum pulang, saya banyak diedukasi untuk mempersiapkan diri menghadapi tantangan menjadi ibu baru. Ini betul-betul sangat berguna.

Meski demikian, tetap saja rasanya bak naik roller coaster. Hmmm... Bombastis. Sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Tantangan demi tantangan datang silih berganti yang nggak jarang bikin lelah dan pingin nangis aja.



Nggak tahu ya, ini sudah kena baby blues atau nggak. Pastinya, saya nggak merasa nggak bisa urus bayi. Justru PD banget urus newborn ini.

Saya jadi ingat waktu awal-awal menikah. Bekal ilmu in syaa Allah sudah cukup untuk jadi tameng ketika tantangan ini itu datang. Gimana komunikasi ke pasangan. Gimana mengkondisikan diri dengan amanah baru. Tapi ya tetep aja bingung sendiri.

Apalagi waktu awal-awal pindah ke Bogor. Mau kerja lagi, galau. Mau di rumah aja, bosen. Bingung mau ngapain dengan segala hal yang serba baru.

Terus, saya nemu komunitas nulis dan dirangkul sama Ibu Profesional Bogor. Ini membantu sekali nemuin ritme diri. Oh, saya harus begini begitu. Saya bisa begini begitu. Hasilnya, 2019 kemarin macam panen aja. Buku antologi banyak yang terbit. Blog juga mulai menghasilkan. Bonusnya lagi, ada baby yang saya gembol ke mana-mana sepanjang tahun. Alhamdulillah.



Saya perlu ngaku kalau status baru ini bikin saya nggak ngerti harus merencanakan apa untuk setahun ke depan. Bahkan untuk anak saya sendiri pun, ini masih meraba-raba. Pinginnya sih, ajeg untuk diri sendiri dulu. In syaa Allah ke anak bisa ngikut. Ya kan anak juga tergantung gimana sayanya kan.

Tahun baru, diri yang baru. Meski banyak sekali hal yang perlu ditata pelan-pelan, saya nggak mau berhenti berharap. Harapan saya sebetulnya sederhana, saya ingin bisa menuntaskan amanah saya sebagai ibu dan istri tanpa harus melepaskan eksistensi diri. Maunya anak beres, kerjaan rumah beres, tulis menulis juga jalan. Sekarang lagi pelan-pelan ditata.

Prioritas saya sekarang anak. Iyalah, dia masih kecil banget dan butuh saya banget. Pekerjaan lain bisa menyesuaikan sesuai dengan jam selownya baby. Pas nggak rewel atau tidur. Bisa? In syaa Allah bisa. Ini juga mulai diusahakan. Intinya, semangat dan jangan menyerah. Yakin aja kalau Allah sudah kasih amanah, pasti dimampukan. Tinggal gimana kitanya aja yang ngatur.


With love,