Assalamu'alaikum!

Perkenalkan, nama saya Aprilely Ajeng Fitriana. Kalian bisa panggil saya Lelly. Saya lahir di Malang pada tanggal 22 April 1991. Saat ini, saya tinggal di Bogor bersama suami dan anak saya. Blog ini adalah tempat saya mencurahkan segala pemikiran saya dari berbagai peristiwa. Bagaimana saya menghadapinya dan apa saja hikmah yang saya peroleh.

May 25, 2020

Pengalaman Mastitis Saat Menyusui, Akhirnya Sembuh

Waktu hamil Ghazy, saya banyak belajar tentang menyusui. Mulai dari pelekatan bagaimana, kebutuhan ASI untuk bayi dari awal kehidupannya, cara ngecek ASI cukup atau nggak gimana, banyak. Realitanya, apa yang saya tahu tidak serta merta membuat perjalanan saya menyusui Ghazy jadi lebih mudah. Ada saja hal yang bikin galau. 

Salah satu hal menyakitkan yang saya alami saat menyusui Ghazy adalah mastitis. Semua ibu pasti mengiyakan kalau bayi yang baru lahir itu nyusunya menyakitkan. Nanti, setelah dia tumbuh gigi terus tergigit, itu juga sakit. Tapi mastitis ini sakitnya ampun-ampun. Saya sampai stress dibuatnya. 

Dan, inilah sekelumit kisah pengalaman saya ketika terkena mastitis. Kenapa saya bisa mengalaminya? Apa kesalahan menyusui yang sudah saya lakukan? Lalu, bagaimana akhirnya saya bisa sembuh? Semuanya akan saya akan ceritakan di sini. Semoga siapapun yang membaca mendapat titik cerah untuk mencari solusi yang tepat.

Mastitis

Awal Mula Mastitis

Sebelum saya cerita lebih lanjut tentang apa itu mastitis, mungkin masih ada yang bingung tentang penyakit ini. Saya sertakan link penjelasan mastitis yang bisa kalian pelajari secara singkat di sini.

Well, mari kita mulai ceritanya.

Waktu itu Ghazy masih umur satu bulan. Setelah sempat kuning dan push Ghazy untuk bisa menyusui dengan baik dan benar, saya tidak lagi bermasalah dengan pelekatan dan kekhawatiran ASI kurang. Dari apa yang saya baca, selama payudara ibu dihisap oleh bayi, dia akan terus mengeluarkan ASI.

Masalah lain muncul ketika saya menunda memberikan ASI dari salah satu payudara. Saya pikir ASI bisa disimpan dulu di payudara supaya nanti malam saat menyusui bisa punya banyak stok. Pikiran ini yang ternyata menjadi sumber segala penyakit yang menyerang saya sendiri. Huhuhu.



Ibu-ibu tentu bisa menebak apa yang terjadi pada saya. Payudara saya bengkak. Mulai terasa sakit karena saking banyaknya ASI di sana. Setelah terasa sakit, baru saya ngeh kalau saya keliru. 

Saya coba lakukan breast care dengan mengompres dan memijat payudara saya. Tengah-tengah breast care, saya kedatangan tamu. Allahu akbar! Bisa nggak sih, nggak ke rumah dulu?

Cukup merepotkan menemui tamu sendiri sambil ngasuh Ghazy yang sedang ngantuk dan payudara yang lagi cenut-cenut. Tapi, masa ya mau diusir tamunya? Sebetulnya, saya mau pura-pura tidak mendengar saja. Eh, kok waktu ngintip itu siapa kelihatan sama tamunya. Terpaksa saya keluar.

Setelah tamu itu pulang, saya coba susukan ke Ghazy. Payudara saya yang bengkak itu cukup menyulitkan dia untuk menyusu. Akhirnya, tawaran saya ditolak oleh Ghazy. Seharusnya sih, saya coba lakukan marmet (memerah dengan tangan) dulu sebelum memberikan ke Ghazy biar dia mau. Tapi itu tidak saya lakukan.

Alih-alih push Ghazy untuk mengosongkan payudara itu. Saya malah membiarkan dia menyusui dari payudara yang lain. Memang sayanya yang nggak mau ambil pusing sih waktu itu. Iya, itulah kebodohan saya. Huhuhu.


Saya masih berjuang untuk mengatasi rasa sakit itu. Breast care saya lakukan tapi saya tidak mengosongkan payudara. Saya kira, sakit ini seperti awal-awal ASI saya muncul. Tahu kan bagaimana rasanya? Payudara terasa penuh dan sakit. Tapi, lambat laun hilang karena disusukan ke bayi.

Saya pikir, sakit ini akan berlalu dalam satu atau dua hari. Tapi sampai hari ketiga, payudara saya tetap sakit juga. Payudara saya mulai memerah. Saya juga mulai panas dingin.

Sebetulnya, saya tidak tahu kalau saat itu saya sudah terkena mastitis. Waktu saya curhat ke teman saya, barulah saya tahu itu mastitis.

Perjuangan Menyembuhkan Rasa Sakit

Jujur, saya sudah stress sekali saat itu. Saya tidak tahu harus berbuat apalagi. Tapi, saya coba menenangkan diri dan melakukan apa yang bisa saya lakukan. 

Saya kemudian ingat teman saya yang pernah demam karena payudara yang bengkak juga. Dia akhirnya membawanya ke bidan untuk pijat laktasi. Saya langsung coba cari jasa bidan homecare. Ketemu, tapi beliau sudah full book untuk keesokan harinya. 

Saya coba alternatif lain. Saya cari kontaknya di instagram dan grup prenatal yoga yang dulu pernah saya ikuti. Beberapa nama bidan yang bisa melakukan homecare muncul di sana.

Hingga akhirnya, saya bisa membuat janji dengan salah satu guru prenatal yoga saya dulu, Bidan Yuni. Saya baru tahu kalau dia bisa melakukan homecare juga.

Saat kunjungan, Bidan Yuni bertanya kenapa saya bisa begitu. Dari cerita saya, akhirnya beliau memberi tahu kesalahan-kesalahan yang saya lakukan saat menyusui Ghazy. Setelah wawancara, baru beliau memijat saya di depan suami. Tujuannya, supaya suami saya juga belajar bagaimana melakukan pijatan untuk ibu menyusui.

Kata Bidan Yuni, payudara yang bengkak itu belum sampai mastitis. Itu masih penyumbatan ASI saja. Meski demikian, ini bisa saja berubah menjadi mastitis kalau tidak segera ditangani dengan benar.


Bidan Yuni sudah berusaha untuk melakukan pijat laktasi untuk saya. Sayangnya, payudara saya sudah terlalu bengkak. Sulit untuk bisa mengosongkan payudara hanya dalam satu kesempatan. Jadi, beliau memberikan saya beberapa PR untuk bisa menyembuhkan rasa sakit itu.

  • Bayi harus menyusu dari payudara yang bengkak dulu, bukan yang lain
  • Pengosongan payudara yang lain bisa dilakukan dengan memompa ASI
  • Terus lakukan breast care agar ASI yang bengkak mudah keluar

Ketiga PR itu saya kerjakan semuanya. Sayangnya, rasa sakit itu tidak kunjung hilang. Saya makin stress dibuatnya. Akhirnya, saya merengek ke suami untuk pergi ke dokter.

Suami saya tidak tahu kalau masalah ini bisa jadi amat serius bila tidak segera ditangani. Jadi, dia santai saja menanggapinya. Sempat menolak membawa saya ke dokter juga. Setelah saya menangis kesakitan, barulah dia mengiyakan untuk membawa saya ke dokter.

Konsultasi Mastitis ke Dokter Spesialis Kandungan

Payudara sudah sakit sekali. Saya ingin segera membawanya ke dokter tapi saya bingung ke dokter apa. Saya sempat baca-baca pengalaman orang lain yang terkena mastitis dan solusinya adalah membawanya ke dokter kandungan

Waktu itu, bukan jadwal praktik dokter kandungan saya. Tapi, karena saya sudah amat sangat kesakitan, siapa saja dokternya tidak masalah. Mau laki-laki atau perempuan, yang penting sembuh.

Subuh menjelang saya akan konsultasi ke dokter, saya sempat mencium bau anyir ketika Ghazy sedang menyusu. Payudara saya ternyata sudah luka. Selama ini, saya mengabaikan rasa sakit ketika menyusui Ghazy dari payudara yang bengkak itu. 

"Nggak masalah sakit sekarang, asal bisa cepat sembuh," itu pikiran saya.


Jadi, waktu konsultasi ke dokter, kondisi payudara saya sudah amat parah. Puting luka, payudara bengkak. Kata dokter, ini sudah mastitis. Penyebabnya karena penyumbatan di payudara dan luka pada puting yang membuatnya jadi radang.

Dokter kemudian meresepkan obat oles untuk menyembuhkan puting saya yang lecet, antibiotik, serta pereda rasa sakit. Beliau tidak meresepkan penurun demam karena saya sudah punya di rumah. 

Oya, saya lupa cerita. Sebelum ke dokter, saya sempat minum paracetamol untuk meredakan rasa sakit yang saya rasakan. Nah, obat ini diminta untuk terus saya minum sampai demam saya mereda. Selebihnya, tinggal menghabiskn antibiotik saja.

Setelah berobat ke dokter, saya merasa membaik meskipun payudara saya masih bengkak. Saya sudah khawatir mastitis itu berubah menjadi abses payudara. Tapi kata dokter, saya hanya perlu melanjutkan pengobatan dan breast care di rumah.


Dikira Sembuh dari Mastitis, Ternyata...

Jujur, saya kesulitan melakukan breast care karena Ghazy tidak mau berhenti menyusu. Repot sekali harus mengurus diri sendiri dan Ghazy yang terus menerus minta nenen. Saya cuma bisa mencoba mengosongkan payudara saya dengan pompa ASI saja. Selebihnya sulit.

Saya akhirnya mencoba sewa alat pijat payudara. Ini sangat amat membantu untuk mengurangi bengkak. Payudara saya yang bengkak mulai membaik. Saya juga sudah lama tidak merasakan sakit lagi. 

Harapan bahwa sebentar lagi sembuh pun mulai muncul. Saya optimis sekali bahwa sebentar lagi saya akan terbebas dari siklus yang menyiksa itu.

Hingga akhirnya muncul benjolan bernanah. Saya masih belum menganggap ini serius. Saya pikir nanah itu bisa keluar dengan sendirinya. Tapi ternyata tidak.

Saya sempat cerita ke ibu saya tentang nanah itu. Ibu saya bilang bahwa saya harus mengeluarkannya apapun yang terjadi. Meminta saya untuk mencoba mengeluarkannya sendiri, tapi saya tidak berani.

Ada 2 benjolan bernanah yang ada. Satunya kecil dan nanahnya sudah keluar semua. Satu lagi cukup besar dan agak merepotkan untuk mengeluarkannya. Ini agak ngeri juga sebetulnya. Khawatir saat menyusu, Ghazy terkena nanah itu.

Qadarullah, nanah itu pecah saat libur natal dan tahun baru. Agak sulit untuk konsultasi ke dokter spesialis saat itu. Tapi karena kondisi sudah darurat, saya coba bawa ke IGD. Harapan saya, nanah itu bisa disedot di sana.

Lagi-lagi saya keliru. Dokter yang ada di IGD hanya ada dokter umum. Jaringan yang ada di payudara ini cukup kompleks sehingga butuh penanganan dokter spesialis agar tidak merusak jaringan-jaringan yang ada. Dokter umum tidak bisa memberikan tindakan apapun kecuali membersihkan nanah saja.



Setelah kunjungan ke IGD, saya coba keluarkan nanah itu sendiri dengan cara mengompres bagian bernanah dengan revanol, lalu menutupnya lagi agar tidak mengenai baju atau bayi saya. Cara ini memang bisa dipakai untuk mengeluarkan nanah, tapi tidak signifikan.

Tak lama setelah kunjungan ke IGD itu, ada jadwal posyandu. Seperti biasa, saya datang ke sana untuk menimbang berat badan anak saya dan ngobrol dengan bidan yang bertugas. Beliau menyarankan saya untuk langsung konsultasi dengan Dokter Bedah setelah mendengar kondisi saya. Konsultasi ke Dokter Kandungan yang pernah saya lakukan sebelumnya sudah tepat. Tapi karena kondisi sudah seperti itu, saya perlu konsultasi ke dokter bedah untuk mendapatkan tindakan lebih lanjut.

Konsultasi Mastitis dengan Dokter Bedah yang Mengiris Kalbu

Besoknya, saya datang ke rumah sakit untuk konsultasi dengan dokter bedah. Kebetulan dokter bedah yang pertama kali menangani saya sedang sibuk. Beliau khawatir tidak bisa melakukan tindakan lebih kepada saya. Jadi, beliau rujuk saya ke dokter bedah lain yang praktik di jam berbeda.

Kebetulan, beliau praktik di hari yang sama, tapi siang. Rumah saya cukup dekat dari rumah sakit. Saya putuskan untuk pulang dulu agar Ghazy tidak terlalu lama ada di rumah sakit.

Siang itu juga saya kembali ke rumah sakit untuk konsultasi dengan dr. Ruzbih Bahtiar. Payudara saya dicek kanan dan kiri. Ketiak saya pun dicek juga. Apakah ada benjolan atau tidak.

Semua prosedur itu beliau lakukan untuk mencari tahu apakah yang saya alami ini mastitis biasa atau yang lebih mengerikan lagi, tumor hingga kanker. Saya shock mendengar penjelasan beliau. Saya baru tahu bahwa dari mastitis bisa merambah ke penyakit yang lebih mengerikan lagi.

Beliau menyarankan saya untuk mengangkat abses saya. Abses ini nanah yang ada di dalam payudara saya tadi. Saya mengiyakan saja. Saya pikir prosedurnya tidak mengharuskan saya untuk rawat inap.

"Nanti ibu akan dibius total," begitu penjelasan dr. Ruzbih.

"Saya harus rawat inap dong, Dok?" tanya saya ketika mendengar penjelasan beliau.

"Iya, Bu. Misal, pagi operasi, siang ibu sudah selesai dan harus menunggu sampai biusnya hilang dulu. Paling cepat, besoknya ibu baru bisa pulang."

"Apa tidak bisa ODC (One Day Care), Dok?"

"Tidak bisa, Bu. Ibu akan sangat kesakitan kalau saya melakukan prosedur itu."


Pikiran saya langsung ke Ghazy saat itu juga. Dia belum genap 2 bulan. Siapa yang akan merawatnya saat saya harus rawat inap di rumah sakit. Bagaimana kalau dia lapar, rewel, dan sebagainya?

Spontan saya bertanya ke dr. Ruzbih, "anak saya bagaimana, Dok?" 

Tak terasa air mata saya mengalir begitu saja saat mempertanyakan hal ini. Saya lupa atas segala hal yang harus saya jalani agar bisa sembuh. Fokus saya seketika berubah ke Ghazy. Hati saya hancur berkeping-keping saat tahu kami harus dipisahkan selama saya menjalani pengobatan. 

Persiapan Operasi Mastitis

Dokter mencoba menenangkan saya saat itu. Dia berusaha memberikan tindakan terbaik yang masih memungkinkan saya untuk terus menyusui bayi saya. Bagaimanapun juga pengangkatan abses harus dilakukan agar tidak merusak jaringan payudara saya.

Saya tidak berhenti menangis setelah konsultasi itu. Saya cerita ke suami saya agar kami bisa sama-sama mencari solusi atas masalah kami. Ghazy harus ada yang merawat selama saya menjalani operasi.

Kami sempat terpikir tante suami yang rumahnya tak jauh dari rumah kami. Tapi saat itu, mereka belum pulang dari liburan akhir tahun.

Saya coba cerita ke ibu saya. Pikiran saya bukan lagi ke operasi tapi sepenuhnya ke Ghazy. Ibu saya pun berusaha untuk datang ke Bogor hari itu juga. Siang saya telpon, sore ibu saya berangkat ke bandara penerbangan ke Jakarta. Malamnya, ibu saya sudah di rumah.

Kondisi Ghazy saat itu sedang tidak mau ditaruh. Dia maunya digendong dan banyak sekali menyusu. Ini juga yang membuat saya cemas menitipkan dia ke orang lain. Pasti akan sangat amat merepotkan. 

Kalau dia telat disusui, dia akan menangis kencang sekali. Seolah-olah habis disiksa saja. Ibu saya yang tahu hal ini mulai ngeri juga. 

Sebelum saya harus rawat inap dan menjalani operasi, sebisa mungkin Ghazy akan terus ada di dekat saya. Ibu membantu saya untuk menjaga Ghazy selama saya harus menjalani beraneka tes sebelum operasi. Kalau Ghazy menangis, saya susui dia dulu.

Hingga tiba waktunya saya untuk rawat inap. Saya masuk ke ruangan yang isinya untuk 4 orang. Masuk kamar mana saja tidak masalah bagi saya. Toh, saya hanya semalam di sana.

Kebetulan, saya kehabisan kamar. Sementara itu, saya harus menjalani operasi hari itu juga. Petugas informasi mencoba mencarikan kamar untuk saya. Akhirnya, saya mendapat kamar di gedung baru. Saya sendirian di sana. Saya pikir, mungkin saya bisa meminta membawa anak saya masuk dulu ke sana. Tapi ternyata tidak bisa.

Bangsal yang saya tempati memang sepi sekali. Namun, bagaimapun juga itu tetap bangsal dewasa. Penyakit yang di tangani di sana terlalu berbahaya untuk kondisi bayi yang imunnya belum baik.

Operasi Mastitis, Singkat Tapi Hmmm

Setelah saya masuk ke ruang rawat inap, suami memulangkan ibu saya dan Ghazy. Masih ada waktu 1-2 jam sebelum saya menjalani operasi. Suami saya membelikan Ghazy sufor. Mengajari adik saya untuk menyiapkan ASIP.

Menjelang operasi, saya didampingi suami saja. Perasaan saya jauh lebih tenang karena Ghazy sudah bersama nenek dan tantenya. Saya jadi bisa lebih fokus pada diri saya sendiri.

Operasi mastitis memang mengharuskan bius total. Tapi, ini bukan operasi besar. Prosesnya hanya berlangsung selama 15 menit saja. Paling lama mungkin 30 menit. Sebentar sekali.

Setelah operasi, saya masih ada di ruang OK untuk diobservasi. Jujur, begitu tersadar, saya sempat bingung saya ada di mana. Ruangan itu begitu asing bagi saya. 

Obat bius saat itu masih bekerja di dalam tubuh saya. Jadi, meskipun saya sudah sadar, saya masih kesulitan untuk menggerakkan anggota tubuh saya sendiri. Butuh waktu untuk bisa menggerakkannya.

Setelah operasi itu, payudara saya masih terasa amat nyeri. Berkurangnya obat bius membuat rasa sakitnya terasa sekali. Untuk saya yang tidak kuat dengan rasa sakit, ini menyiksa sekali.

Sesampai di ruang rawat inap, suster memberikan obat antibiotik dan pereda nyeri melalui infus. Saya tidak bisa bilang rasa sakit itu menghilang begitu saja. Tapi, saya mulai terbiasa dengan rasa sakitnya.

Keesokan hari, dr. Ruzbih visite ke ruangan saya. Beliau menanyakan kondisi saya. Alhamdulillah, kondisi saya jauh lebih baik dari sebelumnya. Memang masih terasa nyeri, tapi sudah amat sangat berkurang rasanya. Dokter pun membolehkan saya pulang.



Perawatan Pasca Operasi Mastitis

Setelah operasi, payudara saya berlubang. Kondisinya cukup mengerikan. Saya sendiri ngeri lihat bentuknya. Masih merah sekali dan tampak dagingnya.

Luka itu memang sengaja tidak dijahit. Ini untuk memudahkan mengeluarkan sisa-sisa nanah yang masih keluar. Lagipula, jaringan yang ada di payudara adalah jaringan yang cepat sekali tumbuh kembali.

Perawatan luka, awalnya saya serahkan ke tenaga medis. Setelah 3 hari, jaringan mulai tumbuh dan lubangnya tidak sedalam sebelumnya. Rasanya cukup memungkinkan untuk melakukan perawatan sendiri.

Saya beli sarung tangan medis, larutan NaCl untuk memberihkan luka, serta kasa dan plester untuk membungkus luka kembali. Saya belajar perawatan luka dari tenaga medis yang merawat luka saya selama home care. Alhamdulillah, dalam waktu seminggu jaringan mulai tumbuh dengan sempurna. Selebihnya tinggal pembentukan jaringan kulit yang baru sambil menunggu nanahnya betul-betul habis.

Kurang lebih butuh waktu sebulan untuk betul-betul sembuh. Luka betul-betul kering dan bisa diolesi dermatic.

Masalah lain yang muncul adalah produksi ASI yang turun drastis. Sebetulnya, ASI saya tidak langsung turun. Pasca operasi ASI saya masih keluar. Tapi saya kesulitan untuk memerahnya. Sementara itu, saya agak takut memberikan payudara yang luka ke bayi.

Oya, pasca operasi mastitis, kita masih bisa ya menyusui bayi. Payudara yang habis dioperasi itu juga masih bisa disusukan. Dokter pun bilang kalau itu aman untuk disusukan ke bayi. 

Hanya saja, Ghazy saat menyusu kadang suka memukul payudara saya. Ini yang membuat saya ngeri-ngeri sedap setiap kali menyusui Ghazy selama mastitis dan masa penyembuhan ini. Ya itu tadi, takut ditabok.

Saya tidak menyusui Ghazy dengan satu payudara saja pasca operasi mastitis. Tapi mengurangi frekuensi payudara yang sakit sampai dia sembuh betul. Memang, begini ini membuat ukurannya jadi besar sebelah. Tapi asal suami tidak komplain saja, tak masalah lah ya.



Hal yang Harus Kamu Lakukan Ketika Terkena Mastitis

Belajar dari pengalaman, saya mencoba merangkum apa saja yang harus dilakukan agar tidak melakukan kesalahan yang sama seperti saya.

1. Lakukan breast care dan rutin mengosongkan payudara

Breast care dan pengosongan payudara menjadi kunci untuk bisa cepat sembuh dari mastitis. Prosedur breast care yang bisa dilakukan bisa dilihat di video berikut supaya lebih jelas lagi.


Selain rutin melakukan pijat laktasi atau breast care, jangan lupa untuk mengupayakan pengosongan payudara. Berdasarkan pengalaman saya, cara termudah ya dengan menyusui bayi. Tanda payudara yang telah kosong bisa dilihat dari kondisi payudara yang awalnya kencang jadi mengendur setelah disusukan ke bayi. Bila payudara masih terasa kencang setelah menyusui, coba perah menggunakan alat pompa ASI.

2. Kompres payudara bila terasa nyeri

Kompres dengan handuk dingin bisa membantu untuk meredakan nyeri akibat peradangan. Selain handuk dingin, bisa juga menggunakan kol bersih yang telah dibekukan di dalam freezer. Kompres ini bisa dilakukan selama 10-15 menit.

3. Konsultasi masalah ini ke konselor laktasi

Mastitis memang bikin stress. Bagaimana tidak, rasa sakit yang tidak kunjung hilang tentu amat sangat menyiksa. Belum lagi kita harus mengurus bayi kita juga. Sekalipun kita sudah membaca segala informasi tentang mastitis dari berbagai sumber, nyatanya banyak hal yang belum juga bisa terjawab.

Kok bisa begitu? Karena kondisi tiap orang bisa jadi berbeda.

Alih-alih pusing dan stress sendiri, cobalah untuk berkonsultasi dengan konselor laktasi terdekat. Ada beberapa rumah sakit yang menyediakan klinik laktasi yang bisa dijadikan rujukan untuk konsultasi. Tentunya, di sana kita bisa bertemu dokter yang lebih tepat untuk menangani kasus yang kita alami.

Kalau dari referensi yang saya baca, untuk mengetahui kondisi payudara kita dengan tepat, tidak hanya cukup dilihat dengan mata telanjang. Memang perlu beberapa tes untuk mengukur seberapa parah mastitis yang kita alami. 

Untuk tahu apakah mastitis sudah menjadi abses atau tidak, mestinya dilakukan USG Payudara. Saya belum pernah mengalaminya. Sempat penasaran juga kenapa kemarin dokter tidak melakukan hal ini kepada saya. 

Nah, kalau sudah mulai keluar nanah, harus dites lagi jaringan payudara yang bernanah tersebut. Apakah itu mastitis kronis saja atau sampai muncul sel kanker di dalamnya.

Kalau di Bogor, rumah sakit yang ada klinik laktasinya ada di RS PMI dan RS Azra. Kontak kedua rumah sakit itu, bisa dilihat di sini.

4. Terus susui bayi apapun yang terjadi

Mastitis bisa sembuh kalau sumber peradangan hilang. Bakterinya mati karena antibiotik yang kita minum. ASI yang tersumbat keluar setelah dikosongkan. Saya tahu bahwa mengosongkan payudara saat sedang mastitis itu sulitnya minta ampun. Mengeluarkan ASI yang tersumbat itu betul-betul setengah mati. Tapi itu harus dilakukan. Cara terampuh untuk mengosongkannya ya dengan disusui ke bayi.

Jangan khawatir bayi akan terkontaminasi dengan ini itu. In syaa Allah aman. Kandungan dari ASI sendiri sudah cukup keren untuk melindungi bayi dari bakteri-bakteri tadi.

5. Sabar

Last but not least, sabar aja. Mau gimana lagi, buat sembuh butuh waktu. Mau nangis, silakan. Tapi terus upayakan yang terbaik. Pompa ASI iya, susukan iya, breast care iya, minum obat (dengan resep dokter) juga iya. Semoga nggak sampai jadi abses. Semoga sabarnya kita bisa menjadi penggugur dosa-dosa kita.

Penutup

Nggak kerasa nulis sepanjang ini. Intinya sih, saya cuma kepingin teman-teman yang baca tulisan ini tidak mengalami apa yang saya alami. Ini nggak cuma bikin galau, tapi betul-betul menyakitkan.

Kalau kalian yang sedang membaca ini dan kebetulan mengalami mastitis juga. Saya doakan semoga Allah memberikan kesembuhan, kekuatan, serta kesabaran, aamiin.

May 18, 2020

Beli Rumah Cash, Mungkin Nggak Sih?

Beli rumah

Punya rumah sendiri ini sudah jadi impian banyak orang. Apalagi untuk mereka yang akan dan baru saja menikah. Tidak hanya dipakai sebagai tempat tinggal saja tentunya, rumah juga tempat segala memori itu dibuat.

Sayangnya, tidak semua orang bisa membeli rumah dengan mudah. Harga rumah yang terus naik seringkali membuat kita ngelus dada aja. Apalagi kalau dibandingkan dengan gaji kita hari ini. Jauuuuuh sekali. Pada akhirnya, pertanyaan semacam ini muncul juga dalam benak kita.

"Bisa nggak ya gue punya rumah sendiri?"

Well, nothing is imposible. Kalau kita tanya apa kita bisa beli rumah atau nggak, jawabannya pasti bisa. Tinggal bagaimana kita akhirnya mengupayakan itu semua.

Kalau kita sudah yakin 100% akan hal ini, ada 7 langkah yang bisa kita upayakan agar bisa segera membeli rumah.

1. Komitmen

Komitmen

Ini hal pertama yang harus ada. Tanpa ini, rasanya mustahil mewujudkan apa yang kita impikan. Kita sama-sama tahu bahwa harga rumah hari ini tidaklah murah. Apalagi kalau kita tinggal di kota besar.

Komitmen perlu kita tanamkan kuat dalam diri kita agar kita berupaya semaksimal mungkin untuk bisa membeli rumah cash, tanpa kredit. Jalan yang kita tempuh selanjutnya, bisa jadi jalan yang penuh godaan. Setelah uang terkumpul banyak, bisa jadi kita tergoda untuk membeli barang-barang lain. Akhirnya, rumah tidak kunjung terbeli.

Banyak orang yang menyerah dengan ini dan akhirnya memutuskan untuk mengambil KPR. Bagi saya pribadi, tidak masalah memang mengambil KPR. Asalkan kita bisa memastikan bahwa kredit tersebut tanpa unsur ribawi. 

Tapi, kalau memang sudah berazzam tidak ingin terlilit hutang besar, mari kita mulai dengan berkomitmen. Ini juga salah satu cara agar kita bisa menutup telinga dari bisikan orang terdekat untuk mengambil KPR saja.

2. Buat Peta Kondisi Keuangan Kita

Kekayaan

Komitmen saja tentu tidak cukup tanpa adanya perencanaan yang matang. Sebelum merencakan beli rumah di mana dan yang seperti apa, ada baiknya kita tahu dulu bagaimana kondisi keuangan kita. 

Cari tahu pengeluaran pokok kita setiap bulan berapa. Mulai dari uang belanja, air, listrik, sekolah anak, pajak-pajak, maintanance kendaraan, dan lain-lain. Coba buat rinciannya. 

Selain pengeluaran, perinci juga pemasukan kita dari mana saja. Gaji pokok berapa, tunjangan, bonus tahunan, THR, dan lain-lain bisa kita rinci.

Dari sini, kita bisa tahu seluruh pemasukan dan pengeluaran kita baik itu bulanan maupun tahunan. Sehingga, kita bisa mulai menyisihkan dana untuk membeli rumah. Tentukan target nominal uang yang ingin kita kumpulkan dan kapan kita bisa mencapainya dengan seluruh pendapatan yang kita miliki.

Rasanya memang kalau melihat gaji kita hari ini agak mustahil bisa melakukan percepatan. Ingat, karier kita bertumbuh. Gaji kita pun makin lama juga akan meningkat. 

3. Survei Harga dan Lokasi

Survei

Setelah menentukan budget rumah yang ingin kita beli, kita bisa mulai untuk survei. Cari lokasi yang memang paling pas buat kondisi kamu. Jangan lupa juga sesuaikan harga rumah dengan budget

Kalau survei rumah, pastikan kita tahu kondisi real rumahnya seperti apa dan luas areanya seberapa. Jangan cuma lihat dari brosur aja. Pastikan betul-betul kondisinya.

Hal yang tidak kalah penting adalah menyesuaikan harga rumah dengan budget kita. Oiya, tiap rumah kan juga butuh bayar pajak bumi dan bangunan kan, pastikan juga kalau rumah itu sudah terbeli, kita juga mampu bayar.

Intinya sih, sebelum beli rumah, bukan hanya memilih lokasi tapi sesuaikan dengan kondisi diri. Jangan memaksakan diri. Apalagi nurutin gengsi. Big no!

4. Kurangi Pengeluaran yang Tidak Penting

Belanja cermat

Kita sudah mengalokasikan budget untuk beli rumah. Sekian persen dari penghasilan kita, disisihkan agar bisa membelinya. Seiring berkembangnya karier kita, mestinya tabungan yang bisa kita sisihkan bisa semakin besar.

Sayangnya, banyak orang yang terlena dengan hal ini. Bertambahnya gaji seringkali diikuti dengan naiknya gaya hidup. Kalau dulu pakai sepatu ratusan ribu, sekarang naik level jadi jutaan. Atau tas, baju, perhiasan, dan lain-lain.

Kalau dipikir-pikir lagi, seberapa butuh sih kita membeli itu semua? Coba tengok lemari dan rak sepatu kita. Berapa banyak barang yang berjubel di dalamnya? Apakah semuanya terpakai? Atau jangan-jangan kita membeli semua itu hanya untuk menuruti keinginan kita semata.

Yuk, fokus pada tujuan. Naiknya gaji mestinya diiringi dengan naikkan tabungan. Bukan malah gaya hidup. Kurangi pengeluaran-pengeluaran tidak penting. Jajan-jajan di luar, entah itu makan di resto atau nongkrong di coffee shop, kurangi dulu. 

5. Mulai Menabung dan Berinvestasi

Saving & investing

Ini part yang tidak kalah penting. Kalau ini tidak ada, ya bagaimana mungkin bisa membeli rumah? Kita kan bukan keturunan sultan yang warisannya melimpah. 

Selain memiliki tabungan, sebaiknya kita juga mulai melakukan investasi. Sebelum melakukan investasi, pelajari terlebih dahulu instrumen yang ingin kita daftarkan. Pastikan apakah itu bebas riba atau tidak, aman atau tidak, dan bagaimana resiko untung ruginya. 

Namanya juga investasi. Pasti tidak selamanga untung. Tapi, dengan mempelajari ini semua, setidaknya kita tahu mana saja instrumen yang minim resiko.

6. Perbanyak Sedekah

Sedekah

Matematika Allah itu nggak sama dengan matematika kita. Berapapun jumlah uang yang kita miliki, jangan sampai lupa untuk menyedekahkan sebagian harta kita. 

Prioritas utama yang diajarkan Al Quran adalah keluarga dulu, entah itu orang tua kita atau mungkin saudara kandung kita. Kalau circle ini sudah terpenuhi, kita bisa masuk ke circle berikutnya, yaitu tetangga dekat kita. Kalau sudah juga, bisa ke orang lain yang membutuhkan. Misalnya, anak-anak yatim.

Memang, tidak selalu sedekah kita diganti pula dengan materi oleh Allah. Tapi coba lihat betapa banyak pintu-pintu kemudahan lain yang Allah buka karena sedekah ini. 

Bisa dalam bentuk mudahnya kita dalam menyelesaikan pekerjaan. Anak-anak kita mudah untuk diarahkan. Seluruh anggota keluarga kita pun semuanya sehat. Bukankah ini nikmat yang tiada tara juga?

7. Perbanyak Doa

Doa

Terakhir, jangan sampai lupa untuk terus berdoa kepada Allah. Minta ke Allah untuk diberi kemudahan. Kalau kita punya niat yang baik, in syaa Allah akan ada jalannya.

Kesimpulan

Harga rumah hari ini memang bikin ngelus dada. Mau nabung juga tiap tahun naik terus. Rasa-rasanya mustahil kalau kita tengok kondisi keuangan kita hari ini. Tapi percayalah bahwa semua pasti bisa kalau kita mau mengupayakan.

Minta sama Allah untuk dimudahkan. Percaya deh, matematika Allah itu beda sama punya kita. Kalau Allah sudah kun fayakun, apa sih yang nggak bisa?

Buat kamu juga yang tinggal di area Bekasi, kalau belum punya rumah. Sementara bisa sewa apartemen Bekasi dulu. Banyak kok pilihan apartemen sekitar Bekasi situ.

Buat kamu yang lagi nabung buat beli rumah, survei lokasi yang cocok juga, semangaaaat!



May 11, 2020

Resign Nggak Ya?

Resign

Obrolan dengan teman saya tempo hari cukup menggelitik saya untuk akhirnya membuat tulisan ini. Berbeda dengan saya yang sehari-hari full di rumah saja, teman saya ini guru. Ceritanya, teman saya ini baru saja punya anak. Kita sama-sama tahu lah ya bagaimana repotnya fase ini. Saya yang tidak kerja kantoran saja merasa kewalahan mengurus si kecil. Apalagi kalau masih harus kerja.

Selama ini, dia cukup terbantu dengan kehadiran ibunya. Beliau yang akhirnya mengasuh anaknya ketika teman saya harus berangkat mengajar. Dulu, semua berjalan damai. Bayi kecil masih banyak tidur, tingkahnya juga tidak banyak. Lambat laun, dia pun tumbuh dan berkembang. Bukan hanya bertambah berat dan tinggi saja, tapi juga gerak tubuhnya. Ya berguling, ya melata, dan seterusnya.

Teman saya lama kelamaan khawatir aanaknya akan  menjadi beban ibunya. Pasalnya, ibunyaa kini ssudah tidak muda lagi. Tenaga semakin terbatas. Kalau harus mengasuh bocah yang aktif sekali. Wow, kasihan juga sih. Hingga akhirnya, muncul pertanyaan ini dalam kepalanya.

"Apa aku resign aja, ya?"

Well, ini masalah yang sering sekali hadir dalam kehidupan kita sebagai perempuan. Sebetulnya, nggak hanya perempuan saja sih, laki-laki pun juga mengalaminya. Tapi background di balik keinginan resign antara laki-laki dan perempuan itu beda. Konflik batin sebelum dan sesudahnya pun beda. Jadi, kali ini saya mau sharing tentang ini.

Perempuan Bekerja dalam Sudut Pandang Islam

Kacamata Islam

Sebelum ngomongin resign atau nggaknya, kita bahas ini dulu deh. Sebetulnya, boleh nggak sih perempuan itu kerja? Kalau perempuan kerja, Allah ridha nggak sih? Melanggar syari'at nggak sih?

Kalau dalam Islam, sebetulnya perempuan itu boleh bekerja. Nggak hanya kerja dari rumah saja, kerja di ranah publik pun boleh. Selama ini, kita kenal  tokoh muslimah super keren yang pun hebat dalam bekerja di ranah publik. Namanya Khadijah binti Khuwalid. Jadi, kalau kalian mau kerja di ranah publik, it's okay. Itu pilihan kita dan boleh.

Meskipun demikian, bukan berarti segalanya jadi serba bebas. Ada beberapa hal yang harus tetap diperhatikan ketika perempuan memilih bekerja di ranah publik.

1. Menutup Aurat

Ini sudah pasti jadi syarat wajib kalau kita mau pergi keluar rumah. Apapun itu alasannya. Mau pergi bekerja, kuliah, bahkan menyapu halaman depan rumah pun wajib menutup aurat. 

2. Menjaga Kehormatan

Selain menutup aurat, kehormatan kita pun juga harus dijaga. Ini bisa dengan bagaiaman cara kita bersikap di lingkungan tempat kerja maupun pilihan pekerjaan yang akhirnya kita pilih.

3. Dengan Izin Orang Tua atau Suami

Ini nggak kalah wajibnya nih. Apapun pekerjaan yang kita pilih, pastikan bahwa kita sudah mendapatkan restu dari orang tua (kalau belum menikah) atau suami (bila sudah menikah). Tanpa restu dari mereka, sulit untuk mendapatkan keberkahan dari apa yang akan kita kerjakan. Nggak mau kan semua lelah kita jadi sia-sia hanya karna restu belum di tangan.


Alasan Perempuan Bekerja di Ranah Publik

Wanita karier

Menurut saya pribadi, secara garis besar perempuan bekerja karena ada dua faktor yang mempengaruhinya. Kalau bukan karena tuntutan ekonomi, ya karena butuh menyalurkan eksistensi diri. 

"Gue kan udah kuliah tinggi, masa iya nggak kerja?"

"Gue juga bisa kerjain itu lho."

Dan banyak alasan lain.

It's okay kok. Toh, setiap manusia memang lahir dengan naluri demikian. Itu sebabnya aneka ragam kompetisi ada. Bahkan, sejak awal kehidupan kita pun sudah dihadapkan dengan kompetisi.


Alasan Perempuan Ingin Resign

Alasan kerja

Biasanya, mereka yang galau mau resign atau tidak itu lebih banyak hadir pada mereka yang memang bekerja untuk menyalurkan eksistensi diri. Mereka tidak punya tuntutan ekonomi yang menghimpit. Sementara itu, ada kondisi lain yang mungkin lebih penting dibanding itu. Ada beberapa alasan yang membuat para perempuan ini memilih berhenti dari pekerjaan.

1. Lingkungan Kerja yang Tidak Kondusif

Dalam urusan pekerjaan, perempuan biasanya jarang loncat dari satu perusahaan ke perusahaan yang lain. Mereka cenderung diam di salah satu perusahaan. Tapi, bukan berarti akhirnya keinginan resign tidak ada.

Salah satu alasan mereka memilih resign, bisa jadi karena lingkungan kerja yang kurang bersahabat dengan kodrat perempuan ini. Misal, sering pulang larut malam atau tempat kerja yang terlalu jauh. Ini bisa menjadi alasan mereka untuk berhenti pekerjaan dan memilih bekerja di tempat yang lebih sesuai dengan kondisi mereka.

2. Punya Anak

Anak itu memang anugerah. Tapi, kita juga tidak bisa memungkiri bahwa setelah punya anak, kita akan melalui fase repot. Fase ketika anak-anak kita masih amat bergantung dengan kita, ibunya.

Rasa bersalah dan tidak tega meninggalkan anak di rumah yang biasanya jadi pemicu perempuan memilih untuk berhenti dari pekerjaan. Banyak sekali perempuan yang akhirnya memilih berhenti bekerja setelah mereka punya anak. 

3. Ikut Suami

Ini alasan lain yang biasanya membuat perempuan berhenti bekerja. Setelah menikah, dia harus ikut suaminya yang bekerja di luar kota. Saya termasuk salah sati di dalamnya. 

Dulu, sebelum tinggal di Bogor, saya adalah dosen yang mengajar di Surabaya. Karena kami sepakat tidak ingin menjalani LDM di awal pernikahan kami, akhirnya saya memutuskan untuk berhenti bekerja setelah saya menikah. 

4. Permintaan Suami

Ini pun alasan yang sering ada dalam masyarakat kita. Suami yang melarang istrinya bekerja. Bisa jadi karena ego suami. Istri punya penghasilan yang jauh lebih besar dari suami. Akhirnya memicu pertengkaran dalam rumah tangga.

Alasan lain mungkin bisa disebabkan karena melihat bahwa anak-anak lebih butuh pendampingan ibunya di masa emas. Biasanya, permintaan ini tidak disampaikan secara langsung. Tapi ada sindiran-sindiran halus terkait hal ini.

Abis Resign Terus Ngapain?

Apapun alasan yang melatarbelakangi seseorang memilih untuk berhenti bekerja, biasanya pertanyaan semacam ini  akan muncul. Abis resign terus ngapain? Masa di rumah saja? Bosan dong. Mati gaya banget kalau cuma di rumah aja.

Ibu rumah tangga

Ibu Rumah Tangga Juga Sibuk

Banyak orang yang menganggap menjadi ibu rumah tangga saja itu mudah. Kesibukannya hanya mengurus rumah. Padahal, kalau urusan rumah ini diturutin terus, seakan tidak ada habisnya. 

Ya bersih-bersih rumah, ya masak, ya urus anak, kadang suami juga minta diperhatikan. Ini semua cukup melelahkan kalau mau dikerjakan semua. Bahkan, punya waktu untuk diri sendiri saja sulit.


Ini yang  saya rasakan setelah punya anak. Sebelum ini, memang sibuk. Tapi semua masih bisa dikendalikan. Saya masih punya waktu untuk memanjakan diri atau mengerjakan hal lain yang saya mau. Setelah punya anak, semua berubah. 

Sekarang, sulit sekali menyempatkan waktu untuk menulis. Jangankan mengerjakan hobi, merawat diri saja sulit. Saya masih ingat betapa bencinya saya dengan diri sendiri setelah melahirkan. Badan saya bau sekali. Ya bau keringat, ya bau ASI. Rambut acak-acakan, wajah kusam, bibir kering, gendut pula. Ini berjalan kira-kira sampai Ghazy berumur 3 bulan. 

Saat itu, perhatian saya hanya untuk Ghazy. Rumah sudah saya abaikan. Masak biar seadanya saja. Mau beli atau masak yang mudah-mudah saja. Super duper lelah.

Kerja Tidak Harus dari Kantor

Fase paling sibuk seorang perempuan memang ketika dia baru saja punya anak. Tapi, selebihnya sesibuk-sibuknya dengan pekerjaan rumah, semua masih bisa dikondisikan. Masih bisa melakukan hal-hal yang disukai, bahkan mulai bekerja.

Kalau memang tidak ingin bekerja di kantor. Sebetulnya, kita bisa memilih bekerja paruh waktu. Toh, sekarang banyak pekerjaan yang bisa dikerjakan dari rumah tanpa harus meninggalkan anak.

Coba deh baca tulisannya Mbak Dhika Suhada yang sudah pernah mencoba banyak pekerjaan dari rumah. Ya buka catering, warung kopi, jualan gamis, hingga menjadi penulis. Rasa-rasanya semua pernah beliau kerjakan. Ini cukup menarik kalau kalian bingung setelah resign mau apa.

Buat Action Plan

Sebetulnya, working from home yang dialami oleh banyak orang saat ini, cukup bisa memberikan gambaran gimana sih rasanya di rumah aja itu. Bedanya, saat ini kita terikat oleh pekerjaan kantor. Ada segambreng to do list yang terkait dengan pekerjaan kantor kita. Setelah resign, ini yang akan hilang.

Setelah mantap akan menikah dengan suami, saya mulai menata langkah ke depan terhadap hal-hal yang akan berubah dalam hidup saya. Pekerjaan apa yang bisa mulai saya rintis dari nol lagi dan tidak akan terpengaruh bila nanti saya punya anak.

Saat itu, saya memilih untuk serius menjadi penulis. Dari situ, saya mulai merencanakan banyak hal. Salah satunya pembuatan blog ini sebagai sarana saya untuk belajar menulis. April 2018 blog ini dibuat. 

Selain menulis di blog, saya juga mengikuti beberapa kelas menulis. Dari sana, saya kenal beberapa penulis dengan banyak pengalaman mereka. Bergabung ke komunitas menulis pun iya. Semua saya lakukan agar setelah benar-benar resign saya tidak jetlag dengan situasi yang baru.



Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan Sebelum Resign

perhatikan

Pada dasarnya, tulisan ini tidak saya tulis untuk mendorong seluruh ibu-ibu untuk berhenti bekerja. Saya hanya ingin memberikan gambaran tentang apa yang sekiranya akan dihadapi ketika perempuan memutuskan untuk berhenti bekerja. Kalau gambaran tadi memang sudah cukup jelas, masih ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum akhirnya betul-betul berhenti bekerja.

1. Lihat Kondisi Diri Sendiri


"Ih, tega banget sih ninggal anak di rumah?"

"Sayang banget ya kalau berhenti kerja. Udah sekolah tinggi-tinggi gitu, terus ijazahnya buat apa?"

Please, tutup kuping aja sama komentar dari maha benar komentator ini. Karena apapun yang akan kita lakukan, semuanya tidak akan ada habisnya dikomentari. Alih-alih membuka telinga lebar-lebar, saya justru ingin kalian melihat ke dalam diri kalian sendiri.

Kita yang paling tahu kondisi kita sendiri. Kita yang menghadapi semuanya sendiri. Melihat dengan mata kepala kita sendiri dan turun tangan sendiri. Maka, keputusan resign atau tidak pun seharusnya didasarkan pada realita yang kita hadapi. Bukan komentar orang lain terhadap diri kita.


2. Mohon Petunjuk Allah

Memilih untuk berhenti  bekerja atau tidak bagi sebagian orang bukanlah hal yang mudah. Ada ego yang mungkin harus ditekan seminimalis mungkin. Ada keinginan yang harus direlakan untuk sementara waktu. Ada kecemasan yang mungkin melanda pula. 

Cukup ingat bahwa ujian ini datangnya dari Allah. Dia yang paling tahu bagaimana kondisi kita dan solusi terbaik untuk menyelesaikan semua persoalan ini. Cukup serahkan semua pada Allah. Mohon petunjuk untuk menyelesaikan semua masalah ini.

3. Komunikasikan dengan Keluarga

Keputusan kita untuk resign, sedikit banyak pasti akan berpengaruh pada lingkungan terdekat kita, yaitu keluarga. Coba komunikasikan hal ini. Apa pertimbangan kita, resiko apa yang sekiranya terjadi, dan tentu saja memohon dukungan keluarga atas keputusan ini.

4. Komunikasikan dengan Atasan

Terakhir yang tidak kalah penting adalah membicarakan hal ini dengan atasan. Nggak usah cerita ke teman kantor dulu. Cukup ke atasan saja. Kalau kita resign, mereka yang nanti harus mempersiapkan perubahan formasi baru tanpa kehadiran kita. Pekerjaan-pekerjaan yang terdahulu juga harus diselesaikan dengan baik. Kita masuk baik-baik. Upayakan juga untuk keluar baik-baik.

Penutup

Tarik napas dulu deh. Berat ya ketika kita harus dihadapkan pada pilihan karier atau keluarga. Sekali lagi, setiap orang punya kondisi yang berbeda. Adakalanya mendengar komentar orang lain terhdap hidup kita tidak akan menyelesaikan masalah. Pilih dan jalani apapun yang terbaik yang bisa kita lakukan.

Last but not least, hadapi semuanya dengan senyuman. Kalau kamu punya cerita seru tentang dilema resign atau nggak, share di kolom komentar ya. Apa sih yang membuat kamu galau dan apa keputusan akhir yang kamu buat?

May 4, 2020

Menjaga Kewarasan Selama Masa Karantina

Menjaga kewarasan selama masa karantina


"Kapan ya pandemik ini berakhir?"

Saya yakin banyak orang yang mulai mempertanyakan ini. Entah ke orang terdekatnya atau bahkan ke diri sendiri. Sama halnya dengan pertanyaan "kapan?" yang lain, seperti kapan lulus, kapan nikah, dan kapan punya anak, pertanyaan semacam ini cuma bikin orang yang ditanya semakin resah. Awalnya mungkin baik-baik saja. Tapi lambat laun mulai menggoncang relung jiwa.

Iya, ketidakpastian memang sering bikin kita jadi resah. Nggak jelas kapan dapet jodoh, nggak jelas kapan dapat momongan, semua itu kadang bikin resah juga. Meski, nggak selalu begitu. Nggak selalu sepanjang hayat dikandung badan resah gitu terus. 

Pertanyaan kapan pandemik ini berakhir pun sama. Awalnya biasa aja. Lama-lama, kalau terus menerus dipertanyakan ya jadi toxic juga.


Mimpi yang Tertunda

Mimpi

Waktu hamil Ghazy, mendadak saya jadi punya mimpi baru, jadi penulis buku anak. Jujur, waktu itu saya nggak tahu gimana caranya nulis buku anak. Jadi, saya belajar dulu ke ahlinya. Output dari kelas itu adalah naskah cerita anak yang nantinya akan diseleksi untuk terbit mayor.

Denger kata "terbit mayor", itu sudah jadi pemicu untuk saya. Naskah pun dibuat dan mulai diseleksi. Hasilnya? Saya gagal. Naskah saya nggak cukup menarik untuk mereka ambil.

Sedih? Nggak juga. Namanya juga pertama belajar. Gagal itu proses.

Di sisi lain, saya ikut project dengan tema yang berbeda. Alhamdulillah, naskah itu lolos terbit di salah satu penebit mayor. Kabar terakhir yang saya dapatkan, naskah itu sudah mulai proses ilustrasi. Mestinya sih sebentar lagi terbit. Logikanya sih begitu.

Tapiiiii...

Tahu sendiri ini lagi pandemik. Penerbit-peberbit besar banyak yang menunda proses penerbitan buku-buku mereka. Naskah yang sebentar lagi terbit, jadi tertunda sampai entah kapan.

Kecewa nggak sih? Kalau saya fokus pada naskah yang entah kapan terbit ya bisa jadi kecewa. Tapi saat ini, saya nggak kepingin mikir tentang itu. Naskah itu akan terbit di waktu yang tepat. Allah Yang Maha Tahu kapan waktunya.

Saat ini saya lebih ingin mencurahkan waktu untuk banyak menulis. Ya di blog ini, ya bikin naskah untuk buku anak. Target saya nggak muluk-muluk sih, cuma biar tangan ini luwes aja nulisnya.

Practice make it better. Ya, kaaan?


24/7 Bareng Pasangan Rasanya...

24/7 denganmu

Selain ada hal-hal yang perlu ditunda sampai pandemik ini berakhir, ada lagi nih tantangannya. 24/7 bareng pasangan. Setelah menikah, bangun tidur yang dilihat suami, mau tidur lagi juga yang dilihat suami. Segala hal baik dan buruknya kelihatan semuanya. 

Buat yang masih awal-awal nikah, pasti tahu banget gimana nano-nanonya proses pengenalan ini. Hingga akhirnya, kita mulai terbiasa sama pasangan kita. Mulai nerima dia apa adanya.

Tapi kan kemarin kita masih terpisahkan jam kantor. Masih ada sesi kangen-kangenan terpisah beberapa jam. Masih ada moment menikmati weekend untuk quality time bersama keluarga. Sekarang, ketika semuanya dilakukan dari rumah, ya balik lagi harus adaptasi.

Jujur, waktu awal-awal masa karantina, saya seneng banget suami ada di rumah terus. Nggak masalah dia kerja, saya dan anak masih bisa main di dekat dia. 

Sehari, dua hari berlalu, masih menyenangkan. Setelah hampir seminggu bersama terus, kok rasanya lelah ya. Manusia yang harus diurus bertambah. Saya yang mulai terbiasa dengan ada bayi di rumah, jadi harus adaptasi lagi dengan kehadiran bayi besar ini.

Ya urus rumah, urus bayi, urus suami. Wow. Iya, semua punya nilai ibadah memang. Tapi saya ini manusia biasa yang juga punya keterbatasan. 

Belajar Komunikasi Produktif

24/7 bareng pasangan bisa dibilang rawan menimbulkan friksi. Segala kondisi yang serba sulit dan tuntutan working from home memang bikin perasaan jadi makin sensitif macem testpack. Tapi, bukan berarti masalah ini tidak bisa diselesaikan.

24/7 bareng justru memberi ruang untuk saya dan suami untuk belajar lagi mengkomunikasikan segalanya lebih baik. Kalau capek, ya bilang. Tidak menggunakan aliran kebatinan atau malah main kode-kodean. Kalau ada yang ngeluh capek, ya dipahami, lalu dibantu.

24/7 bareng pasangan justru memberikan kami ruang untuk lebih banyak ngobrol berdua. Kalau sebelumnya, semua serba terbatas. Kini, kami bisa ngobrol kapan saja kami mau dan siap.

Suami saya banyak sekali membatu saya mengurai keresahan-kerasahan saya. Ketakutan berlebih akan suatu hal juga bisa lebih mudah dikendalikan. Candaan-candaan yang ada di antara kami justru membuat segalanya terasa lebih cair.

Belajar Bersinergi

Tantangan baru yang datang dalam kehidupan kami, menuntun kami untuk belajar bersinergi antara yang satu dengan yang lain. Awalnya ya sulit. Ketemu terus, baiknya kelihatan terus, ngeselinnya juga.

Kalau lagi sensitif ya jadi mudah meledak. Tapi ya apa enaknya sih di rumah marah-marah terus? Malah makin stress, kan? 

Marah memang mudah melampiaskan segalanya. Tapi cara ini justru bikin energi makin terkuras. Rasa bahagia juga makin terkikis.

Saya pribadi lebih memilih buat belajar memahami suami. Belajar buat bersinergi untuk menyelesaikan masalah yang kami hadapi saat ini. Bagaimana menyelesaikan pekerjaan rumah yang menggunung sama-smaa. Bagaimana caranya tetap memberi atensi pada anak dan satu sama lain di tengah kesibukan kami masing-masing. Bagaimana meyakinkan orang tua kami bahwa kami baik-baik saja di sini. Dan masih banyak lagi.

Makin Mesra, Makin Happy

Waktu ngobrol yang lebih banyak dan kesempatan untuk bersinergi lebih banyak ternyata amat sangat membantu kami jadi semakin mesra antara satu sama lain. Friksi yang ada justru jadi bumbu penyedap dalam biduk rumah tangga kami. Perasaan hangat juga kerap kali hadir karena keberadaan suami di sisi saya.

Fokus pada Apa yang Bisa Kita Lakukan

Siapa sih yang nggak susah dalam masa pandemik seperti sekarang? Semuanya juga merasakan hal yang sama. Ada masalah masing-masing yang dihadapi oleh tiap orang.

Sayangnya, mempertanyakan kapan pandemik ini selesai sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah. Belum ada orang yang bisa menjawab pertanyaan ini. Vaksin belum ada, herd imunity juga butuh waktu.

Nggak semuanya bisa kita kendalikan. Ada banyak sekali hal-hal yang di luar batas kemampuan.  Kita sendiri juga bukan manusia super yang punya jurus sakti membumi hanguskan virus korona dari muka bumi ini.

Take action

Dari pada fokus pada hal-hal yang tidak bisa kita kontrol, mending lakukan sesuatu yang memang bisa kita lakukan. Ini jauh lebih mudah dan bikin perasaan lebih tenang. 

"Inaction breeds doubt and fear. Action breeds confidence and courage." - Dale Carnegie

Ada banyak hal yang biasanya saya lakukan agar masa karantina ini jadi lebih bermakna.

1. Menghabiskan Waktu bersama Keluarga

Family time

Hal yang paling saya syukuri dari masa karantina ini adalah waktu kumpul yang tidak terbatas. Suami yang biasanya punya sedikit waktu main dengan anak. Kini, jadi lebih banyak turun tangan dalam pengasuhan.

Progres tumbuh kembang Ghazy kami lewati sama-sama. Main bareng, mengasuh bersama, dan memberikan stimulus ke Ghazy juga dilakukan bergantian. Saya betul-betul tidak menyangka bahwa progres perkembangan Ghazy bisa secepat ini. 

Awal masa karantina, Ghazy baru saja bisa menggulingkan badannya ke satu sisi sendiri. Tapi kini, dia sudah bisa melata ke sana kemari. Padahal sebelumnya saya cukup rajin memberikan stimulus ke Ghazy. Hanya saja, dampaknya lain ketika kami sama-sama membantu stimulasi perkembangannya.

2. Belanja di Tetangga

Nggak semua orang bisa survive setelah adanya masa karantina ini. Ada pedagang yang omsetnya terjun bebas. Ada pegawai-pegawai yang terpaksa di PHK dan dirumahkan. Beberapa orang dari mereka mencoba bertahan dengan berjualan apa saja yang bisa mereka jual. Kebetulan sekali, banyak tetangga saya yang punya nasib demikian.

Saya dan suami akan berupaya untuk membeli barang yang kami butuhkan dari mereka dulu sebelum ke yang lain. Bagi kami, ini bukan hanya sekedar membantu usaha mereka saja. Cara ini juga bisa menumbuhkan semangat dan memberi harapan baru dalam diri mereka untuk menghadapi kesulitan ini.

3. Menulis

Menulis

Bagi saya, menulis bukan hanya sekedar hobi. Dengan menulis, saya bisa meluapkan segala kecamuk yang ada dalam pikiran dan hati saya. Dengan menulis, saya bisa menjadi versi bijak untuk menasehati diri sendiri. 

Dari segala hal yang saya suka dari menulis, bukan tentang seberapa banyak orang yang dapat menjangkau tulisan saya. Tapi ketika tulisan-tulisan yang saya buat bisa menjadi manfaat untuk orang lain.

4. Ibadah

Mumpung Ramadhan, mumpung pahala sedang diobral, pintu ampunan dibuka selebar-lebarnya, mari kita manfaatkan saja moment ini untuk memperbanyak ibadah. PDKT sama Allah. Banyak memohon ampun dan pertolongan untuk bisa terus bertahan dalam kondisi semacam ini. 

Just Relax

Kalau kita sudah mengubah fokus untuk mencari terus bergerak, tapi masih tegang saja. Masih sering kehilangan kewarasan. Mungkin, hal yang kita butuhkan cuma satu, relax.

Tarik napas panjang, keluarkan.
Tarik napas panjang lagi, keluarkan.

Gimana? Lebih enteng?

Relax


Sedari awal masa karantina, saya lebih memilih menikmati aneka roller coaster yang terjadi selama masa karantina. Bagaimana menerima rasa takut, bosan, dan lelah yang saya alami selama masa ini. Saya manusia biasa. Mustahil bisa lepas dari semua itu.

Hal terpenting bagi diri saya bukan bagaimana menghindari itu semua, tapi bagaimana caranya bisa bersahabat dengan perasaan itu. Mengelola rasa takut, bosan, dan lelah dengan baik.

Dari takut, saya belajar untuk lebih waspada. Dari bosan, saya jadi belajar mengeksplorasi segala keterbatasan jadi hal yang menarik. Dari lelah, saya belajar untuk menghargai diri sendiri. Meluangkan waktu untuk istirahat sejenak itu bukan kejahatan kok.

Buat saya pribadi, nggak perlu memaksakan diri untuk produktif kalau memang lagi nggak bisa. Menjaga diri untuk tetap waras selama masa karantina jauh lebih penting, dibanding maksa untuk terus produktif. 

Ada beberapa hal yang biasanya saya lakukan untuk relaksasi di rumah.

1. Bikin cemilan sederhana

Kalau lagi suntuk banget, biasanya saya akan lari ke dapur dan bikin cemilan yang mudah untuk dibuat. Misalnya, kentang goreng, tempe mendoan, jelly, atau rujak manis. Nggak perlu yang rumit, yang penting happy.

Sebelum disajikan untuk suami, biasanya saya cemil-cemil sendiri dulu di dapur. Menikmati semuanya sendiri dulu sebelum dibagi sama yang lain. Kalau udah kenyang tuh biasanya jadi happy.

2. Rebahan

Setelah punya bayi, moment rebahan betul-betul jadi moment yang amat sangat berharga. Kalau lagi capek banget, saya biasanya minta izin ke suami untuk rebahan sebentar. Satu sampai dua jam cukuplah untuk mengembalikan energi.

Moment ini biasanya saya pakai untuk scrolling IG atau ngeblog sebentar. Lalu, tidur. Setelah bangun, biasanya badan akan terasa lebih bugar. Mood juga jadi jauh lebih baik dari sebelumnya.

3. Mandi

Lagi capek banget, terus mandi. Bbeh, capek-capek rasanya langsung luntur. Apalagi kalau mandi air anget. Apalagi kalau dipakai berendam. Abis mandi, tidur juga rasanya nyenyak banget.

Iya, mandi memang punya keistimewaan sendiri. Selain membersihkan tubuh dari keringat dan kotoran, ternyata mandi juga bisa membantu tubuh untuk bisa lebih relax lagi.

Kalau penat mulai datang atau sudah mulai lelah, biasanya saya bilang ke suami kalau mau mandi agak lama sedikit. Iya, ini juga harus dikomunikasikan. Maklum, punya bayi. 

Setelah bayi aman terkendali, baru deh mandi. Tidak lupa juga untuk keramas. Biar makin seger. Kepala yang mulai ngebul, kalau disiram air tuh rasanya nyesss banget. Ya nggak sih?

Emeron hair care


Untuk keramas, saya biasanya pakai Emeron Nutritive Shampoo Hair Fall Control. Kandungan Active Provit Amino dan Aloe Veranya dapat membantu merawat kekuatan akar rambut, mengurangi kerontokan rambut dan menutrisi hingga ke ujungnya. Ini pas banget buat saya yang rambutnya mulai sering rontok sejak menyusui Ghazy.

Selain kandungan yang ada di dalamnya, saya juga suka banget sama aromanya. Tidak menyengat dan menyegarkan. Cocok banget dipakai untuk menyegarkan pikiran setelah penat seharian.

Keramas

Efek abis keramas ini yang bikin saya makin happy. Rambut jadi terasa lembut sekali. Kalau disisir pakai jari, bisa langsung jatuh saking lembutnya. Rambut juga mudah sekali diatur dan nggak lepek. Nggak cuma itu, rontok-rontok juga mulai berkurang. Jadi makin happy deh.

Senengnya lagi, harganya murah banget tapi barangnya nggak murahan. Untuk botol 170 ml seperti yang saya punya ini, harganya cuma Rp13.000 saja. Murah banget nggak sih? 

Shampoo ini juga mudah didapatkan. Cari di mini atau super market favorit, ada banget. Mau cari di market place pun ada. Tinggal pilih aja mana tempat belanja paling aman. Biar nggak worry

Nah, selain Emeron Nutritive Shampo Hair Fall Control, Emeron Complete Haircare juga punya varian lain untuk perawatan rambut kita.

Emeron Complete Haircare

  • Damage Care, kandungan nutrisi avocado serta formula active profit amino di dalamnya mampu mengembalikan kesehatan rambut yang rapuh, kering, dan kasar. 
  • Soft & Smooth, formula active profit amino dan khasiat bunga matahari bekerja maksimal menutrisi rambut mulai dari akar hingga ujung, serta dapat membuatnya lembut dan berkilau.
  • Black & Shine, formula active profit amino dan manfaat urang aring bisa memperbaiki dan menutrisi rambutmu yang kusam dengan maksimal.
Emeron Complete Hair Care
  • Hijab Clean & Fresh yang cocok digunakan untuk perempuan berhijab. Kandungan tea tree oil, mint, serta formula active profit amino yang ada di dalamnya dapat membantu menyegarkan rambut serta melembabkan kulit kepala.
  • Volume Control, kandungan pomegranate dan formula active profit amino di dalamnya diformulasikan untuk perawatan rambut lepek. 
  • Anti Dandruff, kandungan ZIPTO+Lime serta formula active profit amino dapat digunakan secara khusus untuk mencegah ketombe dan merawat kulit kepala.
Nah, kamu tinggal pilih saja mana varian yang paling sesuai untuk masalah rambutmu.

Penutup

Well, nggak ada yang senang dengan kondisi semacam ini. Tapi, bukan berarti kita jadi nggak bisa bahagia. Kita bisa banget menciptakan bahagia kita sendiri. Nggak perlu nunggu kondisi baik atau orang lain dulu. 

Caranya, tinggal fokus saja pada apa yang bisa kita kendalikan. Terkait apa yang di luar kendali kita, jadikan aja sabar dan syukur kuncinya. Biar Allah aja yang atur.

Yuk, ceritakan masa karantinamu dengan ikutan Lomba Blog yang diadakan Emeron Haircare. Bagikan kisahmu. Siapa tahu kamu beruntung. Semangat!

Last but not least, tetap #DiRumahAja dan #DengarkanHatimu.



Menyikapi Komentar Orang Tua Terhadap Gaya Parenting Kita

Parenting

Sejak punya anak, orangtua saya makin jarang menanyakan kabar saya. Posisi saya sudah mulai digantikan oleh anak. Minta kirim foto dan video itu sudah jadi makanan sehari-hari. Bukan cuma orang tua saya saja tentu, mertua saya pun demikian. Sayangnya, mengirimkan foto dan video tak selalu mendapatkan feedback yang menyenangkan. Saya pun sering mendapat komentar tentang gaya parenting saya. 

Sekali dua kali komentar ini itu, it's okay. Tapi kalau setiap kali saya kirim foto dan video dikomentari, apa rasanya coba? Hmmmm….

Parenting ala Kakek Nenek vs Ummi Abi

Parenting

Zaman berubah, tantangan berubah, pola parenting pun berubah. Sebagai orang tua milenial, pasti kita sama-sama sepakat hal ini. Adakalanya, apa yang kita yakini benar dianggap keliru oleh orang tua kita. Sebaliknya, saran-saran yang mereka berikan, kita anggap sudah tidak lagi relevan untuk kondisi saat ini.

Cara memakaikan baju bayi, cara menggendong, kapan mulai memberi makan bayi, ini saja sudah menuai perdebatan. Hal yang paling saya tidak suka adalah ketika muncul kalimat sakti ini.

"Dulu, kamu digituin juga nggak apa-apa kok. Masih hidup dan baik-baik saja."

Pernah suatu kali mertua saya menangis kencang di rumah hanya karena melihat video stimulus Ghazy. Di video itu, saya dan suami sedang menggulingkan Ghazy. Tujuannya untuk melatih otot leher serta memberi stimulus motorik kasarnya. Kata beliau, ini pemaksaan. Suami dimarahi habis-habisan.

Besoknya, Ghazy rewel. Butuh waktu tentu bagi kami menenangkan Ghazy. Suami masih kagok. Saya pun tidak langsung menggendong atau menyusuinya karena harus ke kamar mandi. Ini yang beliau teriakkan ke suami saya.

"Kalau nangis tuh digendong yang bener. Kalau nggak telaten ngerawat anak, sini biar ibu yang rawat."

Wow. Jujur saja, saya kesal sekali waktu itu. Saya yang mengandungnya selama 9 bulan. Saya yang berjuang untuk melahirkannya. Bahkan, rasanya sudah hampir mau mati. Lalu, ada orang lain yang tiba-tiba datang ingin mengambil anak saya. Wajar bukan kalau tiba-tiba saya ingin mendekap anak saya?

"Sini bu, saya kasih mik."

Setelah itu, sepanjang hari saya diam di kamar bersama Ghazy. Itu cuma salah satu konflik saja. Bukan hanya dari mertua, tapi orang tua saya sendiri iya. Rasanya kok saya dan suami tidak pernah benar. Semua serba salah. 

Tips Menghadapi Komentar Orang Tua Terhadap Gaya Pengasuhan Kita

Parenting

Saya bukan satu-satunya orang yang mengalami hal ini. Banyak orang tua baru yang pun mengalami hal yang sama. Adakalanya, saya memandang bahwa orang tua kita hendak ingin menebus kesalahan pengasuhannya pada cucu mereka. Apa yang mereka tak bisa berikan pada kita, mereka berikan kepada cucu mereka.

Bukan hal yang salah sebetulnya. Tapi sayangnya, tidak semua yang mereka inginkan sejalan dengan apa yang ingin kita lakukan. Ada beberapa hal yang biasanya saya lakukan untuk menyikapi hal ini. Semoga ini bisa membantu untuk menyelesaikan masalah yang sama.

1. Yakini bahwa orang tua melakukannya karena cinta

Satu hal yang terus menerus saya perbarui adalah keyakinan akan hal ini. Menurut saya, ini jadi hal paling mendasar untuk dilakukan. Dasar untuk lebih legowo ketika terjadi konflik. Dasar untuk memaafkan orang tua ketika kesal dengan segala macam tuduhan tidak langsung mereka. Dasar untuk mengubah segala hal yang menyebalkan menjadi rasa syukur.

Alhamdulillah, anak saya tumbuh dengan banyak cinta dari orang-orang di sekelilingnya. :)

Ini tidak hanya berlaku untuk orang tua kita saja, tapi juga orang lain yang dekat dengan kita. Saudara kita, misalnya. Kedekatan ini mungkin akan memberikan pengaruh terhadap gaya parenting kita. Sedikit atau banyak mereka pasti akan memberikan sumbangsih pemikiran mereka. Kalau kita gagal memandang ini sebagai sesuatu yang perlu disyukuri, jadinya ya bias stress sendiri. Muncul konflik berkepanjangan yang menurut saya tidak perlu. Apalagi dengan keluarga sendiri.

2. Komunikasikan alasan kita

Tidak ada salahnya untuk mencoba mengkomunikasikan alasan kita memilih gaya parenting tertentu. Kenapa kita begini dan begitu, jelaskan alasannya. Iya, memang sulit untuk menyampaikan ini. Biasanya memang akan berakhir dengan kalimat berikut.

"Ibu dulu gituin kamu juga jadi orang."

Sabar. Coba kita cari cara lain. Bisa diajak nonton video parenting bersama atau datang ke kelas parenting bersama. 

Sulitnya menjelaskan kepada orang tua sebetulnya karena mereka akan selalu menganggap kita anak-anak. Meski sekarang, kita sudah menjadi orang tua. Tapi tetap saja bagi mereka kita anak-anak yang masih butuh bimbingan ini itu. Ini yang membuat kita butuh effort lebih untuk menyampaikan sesuatu ke orang tua.

Ini kenapa kita butuh bantuan orang lain untuk mengkomunikasikan. Kita butuh orang lain yang lebih mudah untuk didengar orang tua kita. Siapa mereka? Tentu saja para ahli. Orang-orang yang expert di bidangnya. 

Sebetulnya, cara seperti ini tidak langsung menjamin apakah orang tua kita mau memahami alasan-alasan kita. Tapi setidaknya dengan cara ini, kita bisa membuka pikiran orang tua kita sedikit demi sedikit. 

Bagaimana kalau orang tua kita menolak? Putar saja videonya keras-keras. Mereka manusia biasa. Sedikit atau banyak pasti mereka akan mendengarkan apa yang kita putar. 

Intinya, jangan menyerah. Effort yang lebih untuk fight dengan hal ini saat punya anak pertama. Tapi, kalau ini berhasil kita lalui, selanjutnya pasti akan jauh lebih mudah. Nggak harus sepanjang hayat dikandung badan kres terus dengan orang tua karena perbedaan gaya parenting.

3. Jarak memberi ruang untuk bernapas

Saya tahu bahwa adakalanya tidak mudah untuk berhadapan dengan orang tua. Saya tahu bahwa rasanya melelahkan untuk terus mendengar komentar-komentar mereka. Saya tahu karena saya pun sering kali demikian. 

Ini yang biasa saya lakukan. Mundur teratur sejenak untuk memberi ruang pada diri sendiri dari segala bombardir yang diberikan kepada orang tua kita. Berhenti menelpon atau mengirim video dan foto ke mereka.

Bagi saya, ini cara yang paling ampuh untuk tidak memicu konflik yang lebih besar lagi. Dalam kondisi saat ini, pengaruh hormon pasca melahirkan sangat besar dalam diri saya. Ini sangat amat memungkinkan saya tidak bias mengontrol diri saya dan melakukan sesuatu yang menyakiti perasaan mereka.

Kalau kita tinggal dengan orang tua bagaimana?

Baca juga: Tinggal Serumah dengan Orang Tua

Ini yang sulit untuk dijawab. Memang idealnya, ketika sudah menikah, ya hidup terpisah dengan orang tua. Jadi, kita bisa mengatur jarak ketika sudah mulai lelah mendengarkan. Hal ini tentu berbeda dengan mereka yang tinggal dengan orang tua. Kalau saran saya, semisal orang tua kita tidak dalam kondisi yang bisa ditinggal, harus terus diawasi. Cobalah untuk tinggal dekat dengan mereka, tapi tidak serumah. Kalau masih tidak bisa juga, sila lanjut ke tips selanjutnya.

4. Sabar dan doakan

Poin terakhir ini jadi kunci utama menghadapi permasalahan ini, sabar dan doakan. Sabar dengan segala rupa komentar mereka. Sabar dengan upaya-upaya yang kita lakukan untuk memahamkan mereka. 

Selain sabar, jangan lupa juga untuk berdoa. Mohon kemudahan pada Allah agar mudah mengkomunikasikan alasan kita. Mohon kesabaran menghadapi mereka. Jangan lupa juga untuk mohon kepada Allah agar hati mereka dilembutkan, pikiran mereka dibukakan untuk menerima hal-hal yang baru. 

Sama seperti kita, orang tua kita sepenuhnya milik Allah. Allah yang paling tahu dan bisa menggerakkan mereka. Lakukan saja apa yang bisa kita lakukan. Selebihnya, serahkan saja pada Allah.

Penutup

Konflik dengan orang tua sejatinya adalah satu hal yang tidak bisa kita hindari. Dari masa ke masa, pasti akan selalu ada. Dulu, mungkin soal larangan keluar rumah, memilih kuliah. Ketika akan menikah, berganti lagi menjadi perencanaan pernikahan atau memilih pasangan hidup. Kini, ketika kita sudah menikah dan punya anak pun pasti akan ada masalah baru yang harus diselesaikan.

Tidak ada yang bisa kita lakukan selain melakukan hal terbaik yang mampu kita lakukan. Selebihnya, biar Allah yang mengerjakan tugas-Nya.