Assalamu'alaikum!

Perkenalkan, nama saya Aprilely Ajeng Fitriana. Kalian bisa panggil saya Lelly. Saya lahir di Malang pada tanggal 22 April 1991. Saat ini, saya tinggal di Bogor bersama suami dan anak saya. Blog ini adalah tempat saya mencurahkan segala pemikiran saya dari berbagai peristiwa. Bagaimana saya menghadapinya dan apa saja hikmah yang saya peroleh.

Aug 25, 2019

Setahun di Bogor, Kisah Hidup Bertetangga

Tetangga


Harusnya sih, tulisan ini dipost waktu 17 Agustus kemarin. Tapi belum jadi-jadi dan akhirnya mundur sampai sekarang. Nggak apa-apa lah ya. Asal masih semangat Agustusan.

Ngomongin soal Agustusan nih. Kalau yang lain bahas tentang kemerdekaan atau lomba-lombaan, saya mau bahas yang lain. 17 Agustus jadi moment lain yang tidak terlupakan. Pada tanggal yang sama, setahun yang lalu, hari ini menjadi hari pertama saya menginjakkan kaki di Bogor.

Apa rasanya? Deg-degan sudah pasti. Excited juga.

Sejujurnya, saya merasa bebas sekali bisa tinggal jauh dari orang tua. Sedikit sekali intervensi dari mereka itu bagi saya menenangkan. Ya sih, kalau kangen itu repot. Nggak bisa sewaktu-waktu pulang ke rumah. Harus nunggu libur panjang dulu dan dananya cukup untuk pulang. Tapi, tetep aja, jauh dari orang tua itu rasanya merdeka.

Lepas dari itu, ada sesuatu yang bikin saya deg-degan sekali. Ini adalah kali pertama saya hidup bertetangga. Mmmm... Bukan berarti dulu saat tinggal dengan orang tua tidak pernah begini. Tapi kan posisinya sekarang beda. Saya yang harus mulai mengenalkan diri. Saya yang harus mulai menampakkan diri dan beradaptasi dengan lingkungan baru saya. Buat saya yang orangnya susah untuk langsung akrab dengan orang lain, hal ini betul-betul jadi tantangan tersendiri.

Pengalaman Hidup Bertetangga

Tetangga

Banyak hal yang pingin banget disampaikan terkait hidup bertetangga selama setahun lebih ini. Dan, inilah rangkuman dari pengalaman hidup bertetangga selama setahun di Bogor.

1. Sulit untuk Bergaul dengan Tetangga

Kebetulan saya tinggal di area perkampungan yang kebanyakan dihuni oleh lansia. Anaknya sudah besar-besar. Rambutnya sudah memutih. Jalannya juga beberapa sudah mulai tertatih.

Orang Sunda yang sepuh-sepuh begini sebetulnya ramah sekali. Saya merasa dirangkul oleh mereka. Tapi ya karena gap usia yang terlampau jauh, gimana mau gaulnya coba?



Bukan hanya itu saja sih masalahnya. Kendala bahasa juga kerap terjadi. Tetangga saya banyak sekali yang sudah lansia. Saya senang mereka ramah-ramah, suka menyapa, dan begitu perhatian pada saya. Tapi ya itu, ngomongnya pakai Bahasa Sunda. Ya mana saya ngerti mereka ngomong apa. Jadi, kalau diajak ngomong ya cuma senyam-senyum aja tanpa tahu apa artinya.

2. Sering Ketinggalan Berita

Waktu awal-awal tinggal di sini, saya suka baper. Kenapa ya susah sekali berbaur dengan tetangga? Ini beneran nggak ada acara kumpul-kumpul RT sama sekali? Kok rasanya cuma pengajian aja ya. Itu pun saya jarang hadir karena berhalangan.

Hingga suatu hari waktu saya jajan di warung depan rumah, saya ketemu Bu RT.

"Kok nggak pernah ikutan acara RT."



Lho? Emang ada acara apa aja?

Beneran macem orang bego sih. Tapi saat itu memang saya nggak tahu acara apa saja yang bikin semuanya kumpul jadi satu, kecuali pengajian rutin mingguan.

Ada arisan, kelewat. Senam RT, kelewat juga. Belum lagi acara-acara lain di luar agenda rutin RT, sudah pasti kelewat.

Kalau begini caranya, kapan saya bisa berbaur dengan mereka?



Nggak cuma itu aja sih, kalau ada tetangga hajatan, keluarga saya juga nggak diundang. Suami lumayan sering nanya tuh kalau tetangga ada hajatan.

“Kita nggak diundang, Dek?”

Ya, gimana ya? Faktanya memang nggak diundang. Saking nggak dikenalnya sama warga sini. Cuma sekali sih mereka undang saya dan suami. Itu waktu kami baru awal-awal nikah dulu. Setelah itu, nihil.

3.Sedikit Sekali Kumpul dengan Tetangga

Bu RT saya ini orangnya perhatian banget. Tahu kalau saya miss sana sini, akhirnya saya dimasukkan ke whatsapp Group RT.

Wooow... Welcome to the new group.

Dari WAG ini, saya jadi dapat banyak informasi tentang agenda RT. Ya senam, ya cucurag, ya arisan. Tapi, sayanya nggak bisa ikut. Hiks.

Agenda RT selalu saja bentrok dengan agenda saya yang lain. Pernah juga sih nggak begitu. Sudah direncanakan mau marathon agenda. Ya kajian, ya kondangan, ya cucurag RT. Mumpung bisa, pikir saya. Qadarullah, badan saya drop. Ikut kajian cuma bisa separuh jalan. Kondangan juga sudah pasti skip. Apalagi cucurag RT. Tapi ya mau gimana lagi? Kondisi yang tidak memungkinkan.



Terus, saya ketemu lagi sama Bu RT. Pertanyaan serupa keluar lagi dari mulut beliau, "kok nggak pernah ikut acara RT."

Kali ini, saya jelaskan lagi kenapa nggak bisanya. Waktu itu memang sedang hamil muda dan kondisi saya sering sekali drop. Betul-betul nggak bisa capek.

Setelah kondisi saya membaik, saya betul-betul berusaha untuk datang ke undangan warga apapun itu bentuknya. Mau pengajian, aqiqah, atau yang lain. Selama saya diundang, saya pasti upayakan untuk datang. Biasanya sih, orang jadi nanyain siapa saya.

Ekspektasi yang Tak Sejalan dengan Realita

Espektasi dan realita


Sebelum saya pindah ke Bogor dan betul-betul menjalani kehidupan bertetangga, saya pernah membayangkan bahwa nanti saya bisa hidup bertetangga seperti kedua orang tua saya. Hubungan dengan tetangga baik, suka berbagi. Kalau punya anak, diasuh bareng. Jadi, anak nggak cuma punya teman main, tapi mainnya gimana yang ngawasin banyak.

Tetangga juga pinginnya jadi tempat berbagi. Kalau ada kelebihan rizki, dibagi. Kalau pingin cerita, ada temannya.

Realitanya, kenapa untuk menuju ke sana susah syekaleee? Boro-boro bisa curhat, kenal aja enggak. Sudah setahun lho, tapi nggak kenal sama tetangga.

Kadang, saya mikir gini, "apa cuma saya ya yang susah adaptasi sama tetangga?"

Kalau lihat postingan temen-temen saya yang guyup sama tetangganya gitu, saya iri lho. Kapan ya saya bisa seperti mereka? Bisa ketawa ketiwi bareng. Bisa ngobrol bareng dengan santai.

Kenapa mereka bisa dan saya tidak?

Sebuah Pembenaran

Salah


Kapan hari saya baca tulisan Puty Puar yang curhat masalah serupa. Baca tulisannya dia jadi ngerasa, "ih, ini gue banget."

Iya, saya merasa sesulit itu untuk berbaur dengan tetangga-tetangga saya. Alasannya sudah saya sebutkan tadi di atas.

Saya bersyukur sekali dipertemukan dengan komunitas Ibu Profesional. Jadi punya temen di Bogor. Sekali pun virtual ya. Tatap mukanya juga kalau lagi kopdar aja.

Mungkin karena saya udah termasuk ibu-ibu milenial kali ya. Semua serba on gadget. Temenan juga maunya yang instan. No drama, no baper.

Ya sih, saya tahu kalau teman virtual itu cuma dekat di jempol, jauh di mata. Kalau saya ada apa-apa juga belum tentu bisa bantu. Orang rumahnya aja jauhan.

Gimana pun juga, hubungan dengan tetangga ini yang kudu bener-bener dijalin. Sesusah apapun tetap kudu dicoba. Sedrama apapun ya kudu dijalani. Namanya juga interaksi sama manusia ya. Pasti nano-nano lah rasanya. Nggak mungkin lempeng-lempeng aja.

Temenan online aja bisa ada gesekan. Apalagi yang ketemu langsung. Ya, sama aja.

Harapan ke Depan

Mimpi

Last but not least, saya berharap hubungan saya dengan tetangga bisa jauh lebih baik. Bisa kenal kanan kiri. Kalau ada acara bisa ikutan juga. Dan, pastinya nggak jadi macem tetangga yang ansos (anti sosial; red) banget.

Semoga. Doakan saya ya.

Dan, kalau kamu pengantin baru yang ngalami kejadian serupa. Semangat juga buat kamu. Saya nggak bisa kasih saran apa-apa selain dukungan dan motivasi.

with love,


Aug 13, 2019

Amazing Tips Menghadapi Anak Tantrum


Serius, ini judulnya nggak lebay kok. Saya cuma mau share sebuah keajaiban yang saya lihat dengan mata kepala saya sendiri. Anak yang tantrum bukan main, lalu sepersekian detik kemudian sembuh tantrumnya.

Warbyasah!



Cerita dulu ya.

Umur segini, artinya jadi lebih banyak bergaul dengan ibu-ibu. Teman-teman kuliah yang dulunya nongkrong bareng juga udah mulai berubah menjadi ibu-ibu. Apalagi kanan kiri rumah, ye kaan, full of ibu-ibu. Ya namanya juga bertetangga. Ke kajian juga begitu.

Bergaul dengan ibu-ibu bikin saya jadi punya banyak sekali bahan untuk diamati, terutama perihal bagaimana sih caranya mengasuh dan mendidik anak itu? Saya belum punya anak sendiri. Saya juga nggak tahu nanti anak saya modelnya bakal seperti apa. Tapi nggak ada salahnya dong belajar dari contoh kasus yang real.

Dari hasil pengamatan ini, biasanya contoh penanganan yang nggak punya efek apapun ke anak akan saya cari tahu solusinya. Kalau yang tok cer, semuanya akan saya catat sebagai bahan referensi.

Salah satu contoh kasus adalah tentang tantrum ini. Dari aneka macam contoh, rasanya kasus ini aja yang susah banget dikendalikan. Dan, semua orang pasti akan mengalami. Punya anak bayi, belum bisa ngomong, caranya menyampaikan sesuatu ya dengan nangis. Seiring bertambahnya usia, mestinya dia lebih bisa mengkomunikasikan keinginannya dong ya. Tapi tantrum sering banget jadi senjata anak untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.

Saya jadi kepikiran sendiri gitu ngelihat yang begitu itu. Suka bertanya dalam hati, "gimana ya kalau nanti saya punya anak dan anak saya tantrum?"

Menjaga pikiran untuk stay waras dengan kondisi semacam itu nggak mudah lho. Saya yang lihat aja kadang kebawa nggak waras karena berisiknya tangisan anak ini. Apalagi ibunya. Ya berisik, ya malu karna dilihatin orang, ya capek karena anaknya meronta terus kan biasanya.

Penanganan Anak Tantrum Dulu vs Sekarang



Dulu, waktu kita masih kecil, penanganan anak tantrum biasanya diselesaikan dengan kekerasan. Anak tantrum, tabok. Atau kalau nggak, mata ibunya udah mau keluar semuanya. Lalu, tangannya udah diangkat tinggi-tinggi siap gebuk, jewer, nyubit, sabet, dan lain-lain. Kalau anak masih juga nangis, orang tua akan bilang begini.

"Diem! Mama bilang diem! Bisa diem nggak?"

Something like that lah ya.

Well, cara ini memang bisa bikin teriakan anak mereda. Tangisan anak yang awalnya kenceng banget jadi mimbik-mimbik aja. Tapi, apa iya itu cara terbaik untuk menangani anak tantrum?

Hari ini, dari segala macam sumber, kita tahu bahwa cara seperti ini tidak baik. Belum lagi luka batin yang ditimbulkan dari perilaku seperti ini. Dampaknya bisa jadi tidak terlihat hari ini, tapi bisa saja amat sangat mempengaruhi kondisinya saat dewasa nanti.

Belajar dari pengalaman pahit saat masih kecil, orang tua zaman sekarang biasanya lebih rajin lagi untuk belajar. Tujuannya supaya apa yang dulu dia alami, tidak terulang ke anak-anak mereka. Upaya untuk tidak menyakiti anak secara verbal maupun perbuatan dilakukan. Meski tidak menutup kemungkinan bocor juga. Sekali lagi, ini bukan hal yang mudah. Kalau pikiran nggak waras, pasti begitu itu. Tangan terayun atau mulut yang mengucap kat-kata kasar pada anak.

Siapa yang pernah begini? Yuk, ngacung.

Saya yakin, nggak ada orang tua yang jadi baik-baik saja setelah menyakiti anaknya. Rasa bersalah biasanya menyelimuti dirinya. Berjanji pada diri sendiri tidak mengulangi lagi. Sayangnya, janji itu kadang juga tidak bisa dia tepati sendikata7

Pikiran Saya Ketika Melihat Anak Tantrum



Saya belajar banyak dari serangkaian peristiwa yang saya lihat. Makin banyak belajar, makin banyak pula teori yang berputar dalam kepala saya saat melihat anak tantrum.

Biasanya, saya akan memposisikan diri sebagai ibu. Apa ya yang sekiranya akan saya lakukan kalau saya jadi ibu anak itu?

Opsi cubit, pukul, bentak, sabet, dan aneka rupa tindak kekerasan untuk membuat anak dia sudah pasti saya singkirkan jauh-jauh. Kondisi saya masih waras kok. Saya masih bisa berpikir jernih untuk memikirkan hal apa yang harus saya lakukan ketika menghadapi anak semacam ini.

Alih-alih opsi itu, saya akan coba mengulik memori saya pada apa saja teori yang pernah saya pelajari untuk menghadapi kondisi semacam ini. Bahkan cara mencegahnya.

Tapi, apa yang pernah saya lihat tentang bagaimana seorang ibu menghadapi anak tantrum, betul-betul meruntuhkan segala macam teori yang sudah pernah saya pelajari. Bukan. Bukan berarti teori-teori itu tidak penting. Hanya saja, ada hal yang jauh lebih penting yang sering kali kita lewatkan saat mendidik anak.

Amazing Tips Menghadapi Anak Tantrum



Dan, inilah yang ingin saya bagikan ke buibu sekalian. Saking amaze-nya saya dengan cara seorang ibu dalam mengendalikan anaknya yang tantrum.

Kejadian ini terjadi saat saya lagi kajian rutin. Ceritanya, ada seorang ibu yang bawa 2 orang anaknya. Anak pertama, usianya 8 tahun. Sedangkan anak kedua 5 tahun.

Perihal bawa ini sebetulnya bukan hal yang istimewa sih. Setiap kajian biasanya mereka juga ikut. Kemudian mereka asyik main sendiri sementara ibunya ngaji. Sampai sini, dunia damai.

Sore itu rupanya lain dari biasanya, 2 anak ini mendadak tantrum untuk 2 alasan yang berbeda.

Cerita Tantrum Part 1


Cerita pertama datang justru dari anak yang lebih tua yang pingin pinjam HP ibunya. Karena tidak ada kesepakatan apapun antara si ibu dan anak sebelum berangkat, tidak ada perjanjian bahwa di tempat kajian boleh pakai HP, ya tidak ada HP. Ibunya bersikukuh untuk tidak meminjamkan HP.

Ngambek dong dia. Mulai merengek-rengek pelan dan si ibu tetap mendiamkan anak ini. Merasa tidak diperhatikan, kitab ibunya diambil dan disembunyikan. Tapi dia gagal. Ibunya tetap mendiamkan anak ini.

Makin didiamkan, semakin keras juga upayanya untuk mencari perhatian ibunya. Mulai tuh, kerudung ibunya dimainkan. Perilaku menyakiti ibunya mulai dilancarkan.

Pada part 1 ini, saya agak miss dengan apa yang dilakukan ibunya. Tapi kemudian ada perubahan sikap pada si anak. Tiba-tiba dia luluh. Kitab yang tadi disembunyikan, dikembalikan dengan cara yang baik kepada ibunya.

Bibirnya memang masih cemberut. Dia juga masih menolak diajak ngobrol ibunya. Tapi sikapnya membaik dan dia pergi main sendiri.

Dunia damai lagi seketika. Saya kira, dia pergi karena capek marah-marah sendiri. Mungkin, kalau kalian melihat moment semacam ini juga akan berpikir hal yang sama.

Cerita Tantrum Part 2


Mari kita lanjutkan ke cerita kedua. Kalau tadi kakaknya yang tantrum, sekarang adiknya yang begitu.

Cerita berawal dari dia minta tukar uang jajan ke ibunya. Tapi ternyata, dia nggak cuma mau tukar uang saja. Dia juga minta uang jajan lebih. Tentu saja jawaban ibunya tidak.

Kisah selanjutnya bisa ditebak. Yes, si anak ini marah. Mulai teriak-teriak setiap kali ibunya menolak memberinya uang. Tapi jawaban ibunya tetap sama, NO!

Semakin menjadi dong. Dari cuma teriak-teriak jadi gulung-gulung sendiri. Suasana kajian yang mulai tenang tadi, kembali tidak kondusif. Berbeda dengan kasus yang pertama, tantrum adeknya ini nggak cuma bikin konsentrasi buyar, tapi juga bikin kesel sendiri. Berisik banget soalnya.

Gemes banget sama si anak ini. Makin gemes lagi ketika si anak mulai mukul-mukul ibunya. Rasanya pingin pegang tangan si anak dan bilang, "itu sakit, Nak. Kasihan Ummi."

Tapi ya siapa saya? Dia juga bukan anak saya. Komentar saya bisa jadi justru akan memperburuk perkara yang ada. Jadi, saya memilih untuk diam.

Saya salut dengan ibu ini yang bisa stay calm dengan kondisi semacam ini. Bawa 2 anak dan keduanya tantrum bergantian. Saya yang lihat aja jengah lho.

Satu sikap yang ibu ini berikan ke si kecil saat dia mulai teriak-teriak tak terkendali. Mempersilakan dia keluar dengan kata-kata yang lembut.

"Silakan keluar kalau mau nangis. Di dalam ada kajian. Kalau mau di dalam diam," katanya sambil membukakan pintu.

Berhasil? Tidak semudah itu, Esmeralda. Si anak masih tetap teriak-teriak dan memukul. Lalu, ini yang beliau lakukan.

"Sini, Ummi bisikin sesuatu. Tadi Mas juga marah sama Ummi, terus Ummi bisikin jadi baik. Penasaran nggak Ummi bisikin apa?"

Saya tahu kalau anak ini sebetulnya penasaran. Tapi dia memilih mengelak. Mungkin karena gengsi.

Adegan selanjutnya ini yang agak lucu. Kedua ibu dan anak ini saling kejar-kejaran. Ibunya kekeuh ingin membisiki sesuatu, sedangkan anaknya enggan untuk dibisiki. Pada moment ini, saya sendiri sampai bingung, ini anaknya masih nangis apa udah ketawa sih?

Moment kejar-kejaran inu tidak berlangsung lama. Setelah itu, ibunya berhasil menangkap anaknya dan membisikkan sesuatu ke kedua telinganya secara bergantian.

Ajaib. Anak yang tadi tantrum dan sulit sekali dikendalikan mendadak jadi tenang. Ini yang bikin saya amaze, anak itu tersenyum! Lalu pergi main bersama kakaknya seakan tidak pernah terjadi apapun.

Apa sih yang Dibisikkan Sang Ibu?


Kalian mungkin juga sama penasarannya dengan saya. Kalimat apa yang begitu ampuh menenangkan 2 anak tantrum ini.

"Tadi mereka saya doakan di kedua telinganya. Dari pada saya ngomong macem-macem ke mereka, saya doakan saja," akunya.

Lalu, beliau sampaikan tentang doa yang dibisikkan ke kedua telinga anak-anaknya. Pertama, dibacakan ta'awudz. Kemudian, beliau bacakan doa untuk menghindarkan diri dari keburukan.

Ini doanya.

Ø£َعُوذُ بِÙƒَÙ„ِÙ…َاتِ اللهِ التَّامَّاتِ Ù…ِÙ†ْ Ø´َرِّ Ù…َا Ø®َÙ„َÙ‚َ

Artinya :
"Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan apa saja yang Dia ciptakan."

Saya belum pernah coba doa ini ke anak saya. Iyalah, anaknya belum release. Wkwkwk. Tapi saya pernah coba bacakan ini 3 kali saat ada anjing yang terus menyalak ke saya dan suami. Hasilnya, anjing ini mendadak tenang.

Bukan berarti saya menyamakan antara anjing dan anak manusia ya. Bukan. Bukan begitu. Tapi fungsi doa ini adalah memohon keburukan dari makhluk yang Allah ciptakan. Ini bisa apa saja. Ya jin, teluh, sihir, anak manusia yang godain mulu, hewan-hewan, dan lain-lain.

Kalau nggak percaya, silakan dicoba sendiri.

Hikmah dari Peristiwa Ini


Yes, that's true. Kita memang butuh banget ilmu parenting untuk ngasuh dan didik anak-anak kita. Butuh tahu ilmunya supaya bisa handle anak ketika dia tantrum atau yang lain. Setidaknya, dengan ilmu ini bikin kita jadi lebih tenang menghadapi situasi yang terjadi.

Ketika anak mulai menguji iman, itu saatnya kita terapkan segala rupa teori parenting yang pernah kita pelajari. Berharap, semoga salah satunya bisa membantu menyelesaikan masalah. Ikhtiar semaksimal mungkin.

Tapi, jangan lupa yang satu ini. Minta tolong sama Allah. Bukan kita lho yang bisa mengendalikan hati anak. Tapi Allah. Nggak ada yang nggak bisa dan nggak mungkin kalau Allah sudah berkehendak.

Macem contoh kasus di atas. Ini bukti bagaimana mudahnya Allah mengendalikan hati seseorang. Bayangin aja, dari setantrum itu kemudian jadi ketawa-ketawa biasa macem nggak ada apa-apa. Masyaa Allah.

Aug 7, 2019

Bicara Tentang Gaji

anak UI


Beberapa hari yang lalu, sempat ada storygram yang viral mengenai alumni UI yang komplain soal gaji. Intinya sih, dia nggak terima digaji 8 juta per bulan. Secara gitu loh, alumni UI. Kampus beken yang sering jadi idola dedek SMA.

Baca story-nya dia, saya cuma bisa senyum-senyum aja. Nanti, saya akan ceritakan kenapa.

Gara-gara dia juga, saya jadi pingin banget ngobrolin soal gaji. Selain anak UI tadi, ada kisah lain yang menggelitik saya. Ini kisah tentang seorang sarjana yang memilih untuk menjadi tukang parkir.

kok gitu?


"Hah? Kok bisa? Kenapa begitu?"

Kaget, kan? Saya juga kaget. Kenapa ada sarjana yang memilih untuk jadi tukang parkir, sementara ada banyak pekerjaan lain yang bisa dia ambil dengan ijazah sarjananya dia. Ya kan?

Ini alasannya, "sehari saya bisa dapat 200 ribu."

Kalau sehari 200 ribu, artinya sebulan dia bisa dapat gaji 6 juta rupiah. Wow, lumayan ya. Hahaha...

Ada yang pingin jadi tukang parkir juga?

Cerita 2 sarjana fresh graduate ini betul-betul bertolak belakang ya. Satunya mau kerja apa aja, asal dapat gaji. Satu lagi tetap mempertahankan prestige diri sebagai alumni kampus ternama. Mana yang salah? Nanti kita bahas.

Sebelum bahas 2 orang ini, saya mau cerita dulu. Sebuah kisah lulusan S2 dari salah satu kampus ternama juga di Surabaya. Berapa sih gajinya?


Penghargaan untuk Lulusan Magister

gaji S2


Dulu, hanya segelintir orang yang punya kesempatan untuk bisa melanjutkan kuliah ke jenjang ini. Sedikit sekali. Karena biaya kuliah program ini dan penelitiannya juga lumayan ya.

Beda kampus, beda cerita. Kalau kampus saya, uang semester yang harus dibayarkan adalah 8 juta rupiah. Artinya, dalam sebulan, kami harus menyisihkan dana 2 juta lebih hanya untuk biaya pendidikan kami. Sekali lagi, ini belum dana penelitian, belum dana untuk tes TOEFL, dan lain-lain. Besar ya?

Jangan kaget dulu. Ada lho kampus yang meminta lebih besar dari itu. 10 juta, atau bahkan lebih.

Untuk sebagian orang, hal semacam ini amat sangat tidak masalah. Karena dia bisa menggunakan gelar pendidikannya nanti untuk memperoleh pekerjaan yang jauh lebih baik. Anggap saja uang yang harus dibayarkan selama minimal 3 semester itu jadi biaya investasi untuknya.

Tapi, tahu nggak sih? Semakin tinggi gelar pendidikan seseorang, peluang lapangan pekerjaan untuknya juga jadi semakin sempit. Pilihannya semakin sedikit.

Untuk fresh graduate, biasanya akan langsung pilih dosen, peneliti, PNS dan semacamnya. Jarang sekali yang akan memilih perusahaan karena lowongan dari perusahaan juga ada persyaratan lain yang harus diikut sertakan selain embel-embel gelar master.

Pengalaman bekerja minimal X tahun.




Ini yang bikin melipir pelan-pelan. Ada beberapa teman saya yang kemudian merelakan gelar masternya untuk bekerja di perusahaan tertentu. Katanya sih, ijazah S2-nya mau disimpan dulu untuk nanti.

"Jadi, gaji kamu dulu berapa, Lel?"

Sebelum cerita gaji, saya mau cerita hal menarik yang selalu saya temui saat melamar pekerjaan sebagai dosen. Di wawancara akhir, mereka selalu menyampaikan begini.

"Nggak apa-apa gajinya kecil? Kalau dibandingkan gaji teman-teman Ibu mungkin ya nggak seberapa, nggak masalah?"

Selalu always, tidak pernah never.




Karna ya gajinya memang kecil. Saya pernah kerja di 2 kampus. Satunya negeri, satu lagi swasta. Masing-masing kasih saya gaji pokok 2 jutaan. Belum dipotong pajak. Belum lagi drama kalau gaji nggak turun-turun. Pernah juga tuh begitu.

Kampus lain malah ada yang lebih kecil lagi dari itu. Teman saya ada yang gaji bulanannya cuma 600 ribu sebulan. Lulusan Taiwan bahkan.

Ya begitulah nasib dosen honorer. Gaji kecil.

Tapi bukan berarti kami tidak bisa dapat lebih dari itu. Masih ada peluang untuk mencari pundi-pundi rupiah melalui penelitian atau pembuatan buku-buku ajar. Kalau rajin ya alhamdulillah. Kalau nggak ya, selamat menikmati gaji segitu-gitu aja.



Waktu saya cerita gaji sarjana tukang parkir, suami saya cuma komen begini, "sarjana, jadi tukang parkir, gajinya segitu. Lha S2, dosen, gaji cuma 2 juta. Kok kasian amat yak."

Tapi ya itu realitas hidup. Pernah juga ketemu temen yang suami istri sama-sama lulusan S2. Suami saya kepo-kepo pekerjaannya apa dan gimana. Pas mereka pulang, baru suami saya cerita. Intinya sih, kasihan gitu. Kerjanya begitu. Lulusan S2 padahal.

Eh, ini juga bukan lulusan S2 kampus ecek-ecek ya. Istrinya kuliah di Eropa. Suaminya lulusan salah satu kampus beken juga di Indonesia.

Etapi, ada juga pekerjaan yang memang mencari lulusan S2. Gaji oke. Ada, meski yang begini ini juga harus betul-betul jeli carinya.

Atau, udah kerja duluan. Terus lanjut S2. I know, nggak mudah pakai banget. Tapi ada yang bisa dan hasil perjuangannya selalu sebanding dengan peluh yang dikeluarkan. Promosi jabatan misalnya. Makin bagus kariernya, keuangan juga biasanya mengikuti. Ya, kan?


Story Alumni UI

gaji


Sebetulnya, saya juga nggak bisa bilang kalau story itu bener-bener punya alumni UI. Satu, akunnya disembunyikan. Jadi nggak bisa memastikan apakah betul dia freshgraduate anak UI atau bukan.

Lepas dari itu, belagu amat yak. Wkwkwkwk..

Sebetulnya, nggak masalah sih kita pasang rate pada diri sendiri. Dengan skill yang kita punya, nama kampus yang kita bawa, saya rasa nggak ada salahnya memang kita menjual diri dengan nilai lebih. Toh ya, kuliah 4 tahun itu juga nggak mudah. Kalau berharap dapat lebih nggak masalah kan?

Masalahnya muncul justru dari sikap bocah tadi. Ada nilai minus yang justru dia tunjukkan ke khalayak ramai, yaitu attitude. Rasanya percuma punya skill yang excellent atau lulusan kampus ternama dunia, kalau attitude aja nggak ada. Males juga sih hire orang macem begitu.

Kenapa?

Skill itu bisa diasah. Ketika nyemplung ke dunia kerja, sebetulnya kita kudu siap untuk belajar lagi hal baru. Ada banyak sekali teknologi-teknologi yang mungkin tidak kita pelajari saat di kampus dulu. Mau punya IPK sempurna dan lulusan kampus ternama sekali pun, merendah itu harus. Macem padi. Makin berisi, makin merendah.


Idealisme Freshgraduate

gaji ideal


Sebetulnya, anak fresh graduate yang semacam alumni UI ini nggak cuma 1. Maksudnya, bukan yang share soal gaji ya, pilih-pilih gaji. Setelah daftar ke perusahaan tertentu dan merasa layak digaji lebih, banyak juga sih yang jadi pilih-pilih.

"Ogah ah, di sana. Gajinya cuma segitu."

Meski beginian cuma jadi obrolan sempit di warung kopi. Nggak sampai biki storygram yang sampai viral.

Rata-rata yang baru lulus begitu. Punya espektasi tinggi. Apalagi setelah dengar cerita sukses senior-seniornya yang setelah lulus gajinya lumayan. Ya wajar sih.

Sayangnya, tidak semua fresh graduate kampus beken punya nasib baik semua. Punya gaji tinggi di awal masa kerjanya. Nggak semua begitu. Cuma kan yang begini ini selalu jadi off the record aja.

Pernah satu kali saya ngobrol dengan teman-teman dosen yang bahas tentang nasib alumninya. Ada kebanggan tersendiri memang ketika anak didik kita kerja di perusahaan yang bonafit. Sayangnya, dari aneka kisah yang menyenangkan, pun ada kisah memilukan. Ada lho yang jadi ojek online. Ya gitu awalnya, pilih-pilih kerja, jadi nganggur agak lama. Padahal masa tunggu dari lulus sampai ketrima kerja juga jadi bahan pertimbangan kan.

"Setelah lulus kamu ngapain aja kok nggak kerja? Kenapa nggak ada yang mau sama kamu?"

Something like that lah. Ya, akhirnya ya gitu itu. Dia terkubur dengan idealismenya sendiri.

Makanya, pas ada story begitu viral, saya sih senyum aja. Coba sih sampai berapa lama dia akan begitu?

Sebulan nganggur itu nggak enak lho. Apalagi dapat cerita tentang teman yang udah kerja di perusahaan A, B, C, sampai Z. Itu beneran bikin adem panas.

"Kok gue masih nganggur aja."

Padahal ya mereka nggak ngeledekin kita. Bahkan turut mendoakan. Supaya kita cepet dapet tempat yang baik. Tapi yaaaa beban moral gitu.

Belum lagi pertanyaan keluarga. Pandangan plus kasak-kusuk tetangga. Banyak sih yang nggak kuat dan akhirnya nurunin harga jualnya.

"Udah lah, yang penting laku dulu."


Rejeki Nggak Pernah Tertukar dan Salah Alamat

rejeki


Perkara gaji memang jadi perkara yang super duper sensitif. Rasanya ya nggak etis aja kalau itu dibuka ke khalayak ramai.

Saya pribadi sebetulnya risih kalau ada teman kerja yang mengeluh perihal gaji dosen yang segitu itu. Pikir saya, kalau nggak mau gaji segitu, ya ngapain pilih kerja jadi dosen? Kan begitu logikanya.

Mengeluh soal gaji pada dasarnya tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Alih-alih mengeluh, kenapa sih nggak coba untuk mensyukuri nikmat yang ada?

Ada perkara yang kadang kita lupa. Gaji berapa pun juga, ketika kita nggak pandai untuk bersyukur, ya akan terus, terus, dan terus kurang. Coba deh buktikan.

Dikasih gaji 2 juta, ngeluh.
Dikasih gaji 5 juta, ngeluh lagi.
Dikasih gaji 10 juta, masih ngeluh.
Dikasih gaji 100 juta, juga ngeluh.

Terus, kapan bersyukurnya?

Ini perkara yang selama ini saya yakini. Ini juga yang membuat saya lebih neriman. Mau digaji berapa juga nggak masalah. Karena apa yang saya cari bukan cuma sekedar gaji, tapi kemudahan-kemudahan untuk melakukan aktivitas lain.

"Rizki itu tidak akan pernah tertukar atau salah alamat."

Perkara ini kan sudah diatur sejak kita masih ada di perut ibu. Sejak pertama kali ruh kita ditiupkan, ini juga sudah ada jatahnya. Kita juga nggak akan meninggal duluan, sebelum jatah ini habis.

Rasa-rasanya kalau kita pegang prinsip ini, segalanya jadi lebih enteng. Jualan juga nggak yang spaneng lihatin angka yang segitu-segitu aja. Ikhtiar terus jalan, misal belum dikasih hari ini, mungkin lain kali. Nggak tahu juga sih kapan. Tapi pasti dikasih.

Siapa tahu nongolnya waktu kita beneran kepepet, butuh banget, terus kran rizkinya ngalir. Nggak harus dari slot gaji juga, siapa tahu dari pintu yang lain.

Allah tuh suka banget bikin suprise untuk hambanya yang mau bersabar dan bersyukur. Ya kan?

Ini contoh aja nih. Saya sering banget juga begini. Pas lagi bokek, tiba-tiba ada yang ngasih makanan gratis. Duit saya di ATM yang makin bikin meringis kalau lihat, bisa utuh tuh sampai akhir bulan. Ya karena rejeki-rejeki yang begini ini.

Tapi misal bukan rejekinya. Dapet duit gedhe, 10 juta misal. Ya bisa aja duit itu raib seketika. Entah hilang atau karena ada keperluan mendesak yang butuh dana besar juga.

Jadi, percaya aja sama Allah. Nggak selalu gaji kecil itu jelek. Minta aja yang terbaik sama Allah. Allah yang paling tahu. Kalau mau ngikutin Allah, in syaa Allah jauh lebih tenang.

with love,

Aug 5, 2019

Review Three Days: Sisi Hitam Sistem Kapitalisme

Siapa yang Hari Minggu kemarin ngerasain mati lampu berjama'ah angkat tangan? Sayaaaaa...

Awalnya sih nggak nyadar kalau mati lampu. Kan siang-siang ya, kebutuhan sama penerangan dari listrik PLN juga masih nggak sebesar kalau malam. Baterai HP juga masih banyak. Dan fokusnya saat itu ke nyelesaian naskah sama urus tukang taman.

Baru sadar waktu buka kulkas. Lah, kok kulkasnya mati? Wkwkwkwk... Kemana aja, Bu?

Mati lampu kemarin lumayan lama sih. Untuk area Jabodetabek yang biasanya listriknya jos gandos, tiba-tiba lhap. Mati. Beberapa titik lumpuh. Tanpa sinyal, tanpa listrik. Buat yang pakai sumur bor, selamat, penderitaan bertambah. Tanpa air bersih.

Acara kepresidenan yang kemarin kabarnya dilangsungkan di Istana Bogor juga akhirnya berlangsung tanpa listrik. Jam 5 sore, para tetangga pada keluar, keliling dari satu warunf ke warung yang lain. Hanya untuk cari lilin. Beneran mendadak jadi langka tuh lilin. Cepet abisnya.

Alhamdulillah, di rumah ada stock persediaan lilin dan 2 lampu emergency yang minimal bisa menerangi WC sama kamar tidur.

Lamanya pemadaman ini, jadi keinget apa yang Pak Adi dulu pernah bilang di kuliah Optimasi Sistem Pembangkit Tenaga Listrik.

"Kalau ingin melumpuhkan suatu negara, lumpuhkan saja jaringan listriknya. Setelah itu pasti mereka nggak berdaya."

Karna ya memang betul. Kita sudah amat bergantung dengan listrik. Bahkan jaringan telepon, bisa tetap ON juga karena listrik. Dan kemarin banget, saya merasakan semua itu. Listrik nggak ada, sinyal pun nyut-nyutan.

Tapi ini belum lumpuh total sih. Belum kena e-bomb atau elektric bomb. Kalau ini yang dikeluarkan, seluruh perangkat elektronik akan lumpuh. Jadi, jangan harap bisa pakai HP untuk update status mati lampu. Nggak bakalan bisa, jam tangan aja mati kok.

Efek e-bomb ini pernah saya lihat di salah satu drama korea yang berjudul Three Days. Itu lho drama action yang diperankan oleh Yoochun. Ada yang udah pernah nonton? Ini drama lama kok. Release tahun 2014 kemarin. Coba deh tonton. Banyak insight yang akan kamu temukan dari drama ini.

sumber : Koogle TV

Sinopsis Three Days

Drama ini bercerita tentang seorang pengawal presiden bernama Han Tae Kyung (Yoochun) yang mengusut penyebab kematian ayahnya, seorang Mantan Menteri Keuangan. Ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis. Meski polisi menyatakan bahwa kecelakaan ini adalah kecelakaan biasa, Han Tae Kyung merasa ada banyak sekali kejanggalan yang terjadi di sana.

Usut punya usut, akhirnya Han Tae Kyung tahu kalau ayahnya meninggal ketika akan mengusut kasus yang berhubungan dengan dokumen penting di tahun 1998. Dokumen itu terkait dengan peristiwa Yangjiri yang menjadi kunci permainan para mafia yang memanfaatkan berbagai kekuasaan di Korea.

Bisa dibilang, ini kejahatan skala nasional yang melibatkan para pejabat tinggi negara, bahkan presiden. Jengjengjengjeeeeng...

sumber : dramabeans.com


Iya, presiden pun ikut terlibat di dalamnya.

Selain harus mengusut penyebab kematian ayahnya, Han Tae Kyung juga harus mengawal Presiden (Soo Hyun Jo) yang berkali-kali mengalami percobaan pembunuhan. Saat liburan di villa, di pasar, dan berbagai kesempatan lain. Berbagai cara dari penggunaan e-bomb sampai pemanfaatan kerusuhan di pasar pernah juga dialami. Tapi presiden selalu selamat. Of course, berkat pertolongan Han Tae Kyung.

Serangkaian rencana pembunuhan presiden ini sebetulnya ada kaitannya dengan pembunuhan ayah Han Tae Kyung. Jadi, ceritanya Pak Presiden ini udah mau tobat dan nggak mau lagi membohongi rakyatnya. Dia ingin mengungkap kejahatan nasional yang melibatkan pejabat-pejabat tinggi negara. Ya menteri, ya jenderal, jaksa, dan masih banyak lagi. Semua orang ini tunduk dalam kekuasaan satu orang, yaitu Kim Do Jin (Choi Won Yung).

Ini juga yang bikin pengungkapan kasus jadi susah. Nggak ada orang yang bisa dipercaya secara utuh. Orang yang kelihatannya baik, ternyata dia juga salah satu anteknya. Bahkan, dia yang berusaha membunuh presiden sendiri.

Rumit. Iyalah, namanya juga drama. Wkwkwk..

Kalau mau tahu endingnya gimana, tonton aja dramanya. Ada 16 episode yang harus kamu ikuti untuk tahu siapa dalangnya dan bagaimana cara kerja dalang ini.

E-Bomb, Teknologi Mutakhir untuk Melumpuhkan Wilayah

sumber : AsianWiki


Ini adalah teknologi yang digunakan para penjahat dalam upaya pembunuhan presiden. Dia lumpuhkan seluruh jaringan elektrik dengan menggunakan e-bomb. Jadi, ini nggak cuma bikin mati lampu aja, sinyal, dan seluruh perangkat elektronik lumpuh seketika.

Susah banget kan, ya? Udah listrik mati, komunikasi juga mati. Bahkan, lihat jam aja nggak bisa karena ini juga dilumpuhkan. Mau secanggih apapun teknologi yang kita miliki. Lumpuh. Beneran lumpuh. Nggak bisa dipakai.

Oya, jangan harap bisa kabur naik mobil juga ya. Segala jenis alat transportasi juga nggak bisa digunakan. Lampu lalu lintas mati. Pokoknya, seluruh sinyal elektrik mati total. Amazing banget memang dampak yang ditimbulkan. Bisa bikin suatu wilayah lumpuh total hanya dengan nyerang sinyal elektriknya. Warbyasah.

Konon, katanya teknologi ini yang nantinya akan digunakan di Perang Dunia 3 sebagai senjata rahasia untuk melumpuhkan musuh. Misal ini terjadi, siap-siap aja nanti kita melawan musuh pakai perangkat perang jadul seperti kuda, panah, pedang, tombak, dan semacamnya.

Presiden Boneka



Drama ini membeberkan sesuatu yang menarik. Ada orang yang jauh lebih lebih berkuasa dari pemerintah. Orang-orang yang bisa mengendalikan kebijakan pemerintah, bahkan hukum yang ada. Mereka adalah para pemilik modal.

Pemilik modal bisa melakukan segala cara untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Membunuh, memanipulasi, dan aneka rupa contoh yang lain bisa dilakukan.

Dalam drama ini, Pak Presiden yang terpilih merupakan presiden yang memang dipasang oleh gengnya Kim Do Jin untuk mempermudah urusan Kim Do Jin. Pakpres sendiri yang mendeklarasikan dirinya rela jadi anjing peliharaannya.

Tapi, seiring berjalannya waktu, Pakpres mulai sadar. Apa yang selama ini dia lakukan itu keliru besar. That's why dia mencoba untuk mengungkap seluruh kejahatan yang dilakukan oleh Kim Do Jin yang sudah merugikan rakyat Korea Selatan. Artinya, sebetulnya dia juga sudah siap menyerahkan diri atas keterlibatannya dalam kejahatan itu.

Setelah nonton film ini, terus nonton film dokumenter Sexy Killer jadi merasa kalau di negara kita pun terjadi hal yang serupa. Ada dalang yang mengendalikan segalanya. Bahkan, bisa jadi jabatan nomor 1 di negeri ini pun juga dikendalikan.

Permainan-permainan kotor semacam ini sudah terjadi amat lama. Saya tidak katakan bahwa seluruh presiden Indonesia terlibat. Tapi bisa jadi ada yang begitu. Bisa jadi juga tidak.

Sebagai bukti, kasus Antasati Azhar, Ketua KPK pertama, yang kalau mau ditelusuri sebetulnya banyak jebakan batman-nya. Memang, beliau bersalah. Tapi kok ya pas gitu. Begitu KPK terbentuk, bekerja, terus ada kasus itu. Mau dibilang kebetulan kok ya gimana gitu.

Kalau nggak dijebak ya dibunuh. Coba deh tengok berapa banyak kasus kematian beberapa tokoh yang aneh. Tapi nggak terlalu diusut secara tuntas. Sama halnya dengan apa yanh digambarkan dalam film ini. Mantan pejabat negara yang terlibat upaya membongkar kebusukan Kim Do Jin meninggal. Pakpres juga nggak lepas dari serangkaian upaya rencana pembunuhan. Alhamdulillah, semuanya gagal. Pakpres tetap hidup sampai bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Kawan Jadi Lawan, Lawan Jadi Kawan



Peribahasa ini juga digambarkan secara utuh dalam drama ini. Semacam nggak ada orang yang layak dipercaya 100%. Penghianatan demi penghianatan digambarkan dalam drama ini.

Kebayang nggak sih kalau orang yang paling dipercaya sama kita, ternyata orang itu juga yang jahat ke kita. Itu yang dialami sama Han Tae Kyung di drama ini. Bosnya, orang kepercayaan Han Tae Kyung. Orang yang ngajarin banyak hal baik ke dia. Orang yang fight ketika Han Tae Kyung terpuruk. Ternyata salah satu komplotan penjahat.

Sedih nggak sih kalau jadi Han Tae Kyung?

Saya sih iya. Sedih banget. Tapi ya apa mau dikata. Sistem yang bikin orang baik jadi jahat. Macem bosnya Han Tae Kyung ini yang akhirnya jadi komplotan karena ada sesuatu.

Nggak cuma si bos aja sih. Tapi ada banyak sekali yang begini modelnya. Orang-orang di Blue House yang mestinya sekubu dengan presiden ternyata ya nggak semua bisa dipercaya. Akhirnya, banyak banget informasi yang bocor ke pihak lawan.

Jangan ditanya lagi berapa banyak korban yang berjatuhan. Buanyak banget.


Haruskah Kita Bertahan dengan Sistem Ini?

Banyak hal mengerikan yang disodorkan dalam film ini. Segala macam permainan kotor para pemilik modal yang mengendalikan pemerintahan lewat antek-anteknya. Bagaimana suatu sistem bisa mengubah orang baik jadi buruk.

Satu pertanyaan kemudian muncul dalam benak ini, apa iya sistem semacam ini harus dilestarikan? Tidak adakah sistem yang bisa mengatur segala tatanan hidup manusia dengan lebih baik? Tidak adakah sistem yang sempurna?

Saya yakin sistem itu ada, selama kita mau mengembalikan kepada Sang Maha Pengatur alam semesta ini. Jika Dia yang menciptakan, tentu Dia juga yang paling tahu bagaimana cara mengatur segalanya.

Pertanyaannya, sudah tahukah kita dengan sistem itu? Sudahkah kita mengenalnya lebih dekat? Maukah kita diatur dengan sistem itu?

Silakan dijawab sendiri. :)


with love,