Feb 24, 2020
Ketika Allah Memintanya Kembali
Belum ada sepekan setelah melahirkan saya dipertemukan oleh keluarga yang sedang gundah gulana. Ada nenek yang bolak-balik dengan wajah cemas. Ada seorang suami yang mengupayakan dirinya tetap tegar agar yang lain pun tak ikut cemas. Apalagi anaknya yang sedang menunggu di luar ruangan.
Saat itu kami ada di loby ruang bersalin. Niatnya sih jenguk Ghazy yang lagi disinar. Tapi kami harus menunggu beberapa waktu karena saat itu sedang ada tindakan. Jadilah kami turut menyaksikan kisah pilu bersama secara nyata.
Ceritanya, si ibu baru saja melahirkan caesar karena riwayat asma. Saat lahir, bayinya menangis kencang sekali sebagaimana mestinya. Dia cium anaknya dari meja operasi. Tidak lama karena memang ruangan operasi yang tidak terlalu bersahabat untuk bayi. Ibu dan bayi tadi pun akhirnya dipisahkan.
Setelah operasi, ibu masih harus berbaring di Ruang OK untuk observasi. Sementara bayinya di observasi di Ruang Perina. Saya tidak tahu jedanya berapa lama, tapi kemudian ada bayi ibu lain yang akhirnya dipertemukan.
"Mana bayi saya?" tanya ibu tadi.
"Sebentar ya Bu, masih diobservasi."
Sementara Si Ibu menunggu bayinya, di luar ruangan ada keluarga dan tenaga medis yang hilir mudik mengupayakan hal terbaik untuk bayi. Pasca dipisahkan ternyata bayinya kesulitan bernapas. Wajahnya membiru.
Cukup lama kami menunggu. Saya tahu semuanya berupaya yang terbaik untuk bayi tadi. Hingga akhirnya, ketetapan Allah datang. Bayi itu meninggal.
Sebelum pihak keluarga keluar, dokter anak yang menolong keluar ruangan dengan ekspresi pilu. Ada kesedihan luar biasa yang tampak dari raut wajahnya.
Tak lama kemudian, saudara perempuan pasangan suami istri tadi keluar sambil menangis. Dia peluk anaknya yang sedari tadi bermain di loby bersama kakak si bayi. Lalu, suami yang sedari tadi nampak kuat kini jatuh terduduk dan menangis sejadi-jadinya. Dia luapkan emosinya saat itu juga sebelum akhirnya harus menguatkan sosok yang pasti akan amat hancur hatinya siang itu, istrinya.
Saya pun menangis melihat kondisi ini. Butuh waktu beberapa saat bagi keluarga dan dokter untuk akhirnya mengabarkan si ibu yang sedari tadi menunggu bayinya. Hingga akhirnya ketika waktu itu tiba, sayup-sayup saya dengat tangisan pilu ibu.
"Tadi dia ada. Tadi dia ada," begitu teriakannya.
Hati ini semakin teriris mendengar tangisan itu. Saya yang terpisah dari anak beberapa jam saja rasanya sudah begitu kalut. Apalagi ibu ini.
18 Februari 2020, kita dikejutkan oleh berita duka yang datang dari keluarga Bunga Citra Lestari. Suaminya, Ashraf Sinclaire meninggal pagi ketika Unge baru saja pulang. Iya, sebelumnya dia memang on air di acara Indonesia Idol sebagai juri.
Entah bagaimana rasanya ketika pulang ke rumah dan menghadapi kenyataan bahwa orang terkasih kita telah diminta kembali oleh Sang Pemilik Hidup. Rasanya mungkin seperti sedang bermimpi buruk. Tapi sekuat apapun kita berusaha terbangun, tidak akan bisa. Karna ya faktanya demikian.
Saya sempat melihat bagaimana ekspresi Unge dan Noah, putra mereka saat pemakaman Ashraf. Noah menangis. Sementara Unge berusaha menenangkan putranya.
Hari itu sosial media banjir ucapan doa terbaik untuk Ashraf. Tidak hanya itu, ada banyak istri yang pun baper menyaksikan kejadian ini. Siapa yang menyangka Ashraf akan meninggal dalam usia tersebut. Tapi siapa yang bisa mengetahui tentang ajal? Tidak ada. Hanya Allah saja yang tahu.
Keesokan paginya, rasanya sulit sekali melepas suami untuk berangkat kerja. Segala macam bujukan agar suami remote dari rumah pun dilancarkan. Sayang, hari itu juga suami memang harus sekali berangkat ke kantor karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan.
Suami saya memang biasa pulang malam. Paling cepat sampai rumah pukul 10 malam. Tapi malam itu lain. Saya terbangun lewat tengah malam dan mendapati ada yang kurang di ranjang kami. Suami saya belum juga ada di sana.
Saya tajamkan pendengaran, barangkali dia sedang mandi. Tapi tak ada tanda-tanda manusia lain selain saya dan Ghazy di rumah. Rasa cemas mulai datang. Saya telpon dia. Tidak diangkat.
"Mungkin kehujanan, jadi pulang larut."
Lewat pukul 1 dini hari, belum ada tanda-tanda kehadirannya. Saya telpon lagi. Kali ini sayup-sayup mulai terdengar suara ringtone HP. Lega sekali rasanya.
Iya, kisah BCL dan Ashraf memang membuat saya pun ikut baper. Tidak ada yang tahu kapan ajal itu datang. Saya tidak pernah tahu kapan nanti saya, suami, dan anak-anak saya mati. Sekuat apapun saya berusaha mendekap mereka, tetap saja ketika Allah mengambilnya lagi, kami akan terpisah juga.
Satu-satunya sikap yang harus diambil dan diupayakan ya ridho dengan segala ketetapan Allah. Jelas, segalanya tidak akan mudah. Siapa sih yang mau berpisah untuk selamanya dengan orang terkasih kita? Kalau saya ditanya, apakah siap atau tidak, ya mungkin tidak akan pernah siap. Tapi ketika hal itu terjadi, apa baik kalau saya terus menerus meratapi kehilangan?
Pada akhirnya, bagi mereka yang masih diberi kesempatan untuk berkumpul ya melakukan hal terbaik yang bisa dilakukan. Hingga ketika nanti waktu itu tiba, tak ada lagi sesal di dalam dada. Toh, penyesalan-penyesalan itu tak akan membuat yang mati hidup kembali.
Lakukan yang terbaik sebagai hamba yang suatu saat nanti akan mati. Lakukan yang terbaik sebagai anggota keluarga yang nanti akan meninggalkan dan ditinggalkan. Karena waktu tak akan pernah bisa kembali.
With love,
Feb 17, 2020
Ibu-Ibu Milenial di Tengah Zaman Digital
"Kamu tuh sekarang udah enak, mau belajar apa aja bisa. Akses juga bisa dari mana saja. Zaman Mama dulu, mau bikin tugas akhir harus keliling perpus untuk cari referensi. Kalau sudah ketemu, semuanya langsung dicatat manual."
"Iya, sekarang memang semuanya serba mudah. Tapi Mama nggak tahu kan kalau distrkasi yang aku dapat juga banyak."
Itu percakapan antara teman saya dengan anak gadisnya yang sudah mau kuliah. Entah kenapa percakapan ini membuat saya jadi sadar kalau saya, sebagai ibu-ibu milenial ternyata tidak hanya dihadapkan dengan aneka kemudahan. Ada tantangan zaman dan tentu saja nyinyiran netizen++ yang perlu dihadapi dengan gagah berani.
Awalnya, saya sempat bertanya-tanya. Kenapa ibu-ibu di zaman digital yang punya kemudahan akses di mana saja bisa rentan terkena depresi. Pasca melahirkan, banyak ibu yang tidak hanya mengalami baby blues saja, tapi post partum depresion, bahkan postpartum psychosis. Kok bisa? Tapi setelah banyak merenung kembali, saya sadar bahwa jadi ibu-ibu milenial itu tidak sepenuhnya mudah. Ada tantangan-tantangan lain yang harus dihadapi yang bisa jadi berbeda dari apa yang dialami oleh orang tua kita dulu.
Kali ini saya ingin membahas enak dan nggaknya jadi ibu-ibu milenial yang hidup di tengah zaman digital. Tentu saja ini dari pandangan saya pribadi ketika melihat fakta yang dihadapi.
Kemudahan Akses
Hidup di Zaman Digital seperti sekarang ini, tidak bisa dipungkiri bahwa kemudahan akses itu betul-betul terpampang nyata. Saya ingat sekali, dulu waktu zaman kuliah, sering sekali membayangkan kalau saya akan mati kelaparan saat sedang sakit. Pasalnya, kondisi saya tidak memungkinkan untuk mencari makan. Teman kost juga banyak yang sibuk dengan urusan masing-masing. Mau minta tolong sungkan. Sekarang? Rasanya saya tidak perlu khawatir lagi. Ada aneka rupa aplikasi untuk food delivery. Tinggal pilih menu, makanan langsung datang, tanpa kita perlu repot lagi.
Apa hanya makanan saja? O tentu tidak. Bahkan sekarang kalau sedang enggan bebersih rumah, ada jasa beberes rumah yang bisa diakses melalui aplikasi mobile. Tinggal klik, janjian, rumah beres. Semudah itu.
Mau ke mana-mana juga bisa mudah. Tidak ada kendaraan? Ada ojek online. Tinggal pilih saja, mau mobil atau motor. Misal tidak mau ojek online, masih ada banyak fasilitas transportasi umum yang makin ke sini, makin manusiawi. Perbaikan sarana transportasi publik terus menerus diperbaiki.
Tidak hanya itu, teknologi yang ada saat ini juga memungkinkan kita para ibu untuk belajar dari dan di mana saja. Mau baca dari buku? Perpustakaan banyak. Nggak sempet ke perpus? Ada perpustakaan digital. Ragam buku juga bervariasi, ada yang masih kertas, ada juga yang sudah paperless.
Sumber informasi juga tidak hanya kita dapatkan dari buku saja. Ada video-video pembelajaran yang tersebar di berbagai sosial media. Ada artikel-artikel di media online maupun sosial media. Banyak.
Bahkan kalau mau ikut kelas pun bisa. Nggak harus ke mana-mana, cuma modal HP dan kuota sudah bisa belajar.
Dunia Digital Bikin Insecure
Hidup di era digital memang memudahkan kita untuk berbagi banyak hal dan mendapatkan kemudahan akses di berbagai bidang. Nyatanya, kemudahan ini nggak selalu bikin buibu hidup happily ever after.
Sosial media contohnya. Sadar atau tidak, sosial media bisa membuat seseorang membandingkan kehidupan pribadinya dengan apa yang dia lihat di sana.
"Wah, Si A udah begini nih. Aku kapan ya?"
"Wah, anaknya Si B udah pinter aja, kok anakku masih gini-gini aja ya?"
"Romantis amat sama suaminya, suamiku mah boro-boro."
Dan banyak hal lain.
Lupa, kalau sebetulnya kehidupan yang dia jalani pun sudah amat sangat baik. Akhirnya ya, stress sendiri. Merasa tidak diperhatikan suami, padahal ya nggak juga. Cuma beda wujudnya aja. Merasa anaknya kurang ini itu sampai lupa kalau anaknya juga punya kelebihan di sisi yang lain.
Apakah hanya ini? O tentu tidak. Masih ada nyinyiran dari maha benar netizen, ya nggak? Banyak orang yang tiba-tiba ikut campur urusan orang, padahal kenal juga tidak. Begini salah, begitu salah. Bikin pusing sendiri.
Kemudahan akses ternyata juga seringkali dimanfaatkan oleh orang-orang jahat untuk melakukan tindak kejahatan. Meretas akun lalu meminta sejumlah uang misalnya. Mencuri gambar untuk melancarkan proses tipu-tipunya. Banyak. Korbannya juga sudah banyak. Mau yang tua atau muda, semuanya bisa saja kena kalau lagi apes.
Tsunami Informasi
Kita memang bisa belajar dari dan di mana saja. Saking banyaknya informasi yang bisa kita akses, tidak jarang ini justru membuat tsunami informasi. Ambil saja contoh topik parenting. Kalau mau cari, itu akan keluar rentetan informasi yang kalau mau diturutin semua, dijamin ngos-ngosan. Belum apa-apa sudah pusing sendiri.
Sebetulnya, ini bisa saja dihindari kalau kita sudah paham celahnya. Untuk belajar pun ternyata kita juga harus tahu caranya. Kemudahan akses informasi bisa bikin pusing kalau ditelan sekaligus. Tapi semuanya akan mudah untuk dicerna kalau kita mau bikin "kurikulum" hal yang ingin kita pelajari.
Misal, tentang menjadi seorang ibu. Bisa kita mulai belajar sedikit demi sedikit terkait kehamilan, persalinan, perawatan bayi, lalu mulai belajar pelan-pelan tentang pendidikannya. Bahan bacaan juga perlu dipilih. Saya pribadi lebih suka membaca tulisan para pakar dibanding review orang lain. Jelas, penjelasannya bukan dari sisi kenyamanan pengguna saja, tapi ada penjelasan ilmiah yang lebih masuk di akal.
Kuliah online hari ini memang banyak sekali. Dari yang gratis sampai berbayar, semuanya ada. Kita tidak harus ikut semua sih kalau memang nggak sanggup. Batasi diri untuk ikut satu per satu saja. Kalau memang belum tahu kapan lagi diadakan, ya sudah legowo saja. Artinya, belum rejeki. Ini jauh lebih baik dari pada harus ikut semua, tapi banyak skipnya. Kan sayang juga.
Tantangan Zaman yang Makin Amazing
Kalau baca atau lihat berita hari ini, rasanya ngeri-ngeri sendiri. Pinginnya sih anak-anak dikekepin aja di rumah. Nggak jauh-jauh dari pantauan. Biar aman.
Aman dari apa?
Ya predator anak, penculikan, narkoba, pornografi, game online, sampai pergaulan bebas. Tapi kan ya nggak bisa gitu juga. Anak perlu belajar di luar rumah. Ketemu banyak orang. Bersosialisi.
Ini yang bikin mendidik anak zaman sekarang juga jadi lebih effort dari orang tua kita dulu. Bekal untuk anak sebelum masuk ke the real jungle tuh beneran harus merasuk ke dalam jiwa. Kalau nggak, bisa ikut tenggelam dalam pusaran arus yang ngeri-ngeri sedap tadi.
Memang, semua hal yang mengerikan itu bikin kita jadi aware dan belajar lebih giat. Tapi tidak bisa dipungkiri, kekhawatiran ini itu juga bisa bikin stress sendiri. Ya, nggak?
Pada akhirnya ya, kita cuma bisa usaha semaksimal mungkin dan tidak lupa menitipkan anak-anak kita ke yang punya. Siapa lagi kalau bukan Allah, ya kan?
Itu kalau soal anak. Sebagai ibu sendiri juga sekarang mulai menantang. Dulu, kebanyakan ibu ya merawat anaknya di rumah. Tapi sekarang karena tuntutan ekonomi, banyak ibu yang akhirnya harus ikut bekerja. Pergi pagi, pulang petang, sampai rumah masih digelendotin anak. Uwooow, nggak kebayang gimana capeknya. Saya aja yang kerja dari rumah dengan waktu yang suka-suka saya masih ngerasa capek. Apalagi yang keluar rumah dan bertarung dengan jalanan.
It's Okay Not to Be Okay
Kemudahan yang ada seakan-akan menuntut seorang ibu milenial untuk bisa lebih sempurna dari ibu-ibu dulu.
"Kamu sekarang enak bisa begini begitu, Ibu dulu..."
"Ibu dulu bisa begini begitu. Ya diatur dong."
Wow, banyak sekali ya tuntutannya. Di sisi lain, kita tidak pernah diajarkan untuk menjadi ibu. Boro-boro diajarin, ngasuh bayi ya pertama kali waktu abis lahiran itu. Kebayang ya gimana nano-nanonya perasaan ibu baru ini. Takut-takut urus anak, masih clekit-clekit pasca lahiran, dan masih saja dapat mom shaming dari kanan kiri.
Well, saya cuma mau bilang, it's okay not to be okay. Nggak apa-apa kalau kita belum bisa. Nggak apa-apa kalau kita tidak bisa sempurna. Nggak apa-apa. Manusia mana ada yang sempurna sih. Jadi ibu pun demikian.
Nggak apa-apa kalau kita nangis karena capek. Nggak apa-apa kalau kita mendadak bego gara-gara kurang tidur. Nggak apa-apa kalau dandanan kita lebih mirip zombie dibanding princess. Nggak apa-apa kok.
Saya percaya bahwa setiap ibu sudah mengusahakan yang terbaik untuk keluarganya. Hanya saja, batas kemampuan masing-masing beda. Ujiannya saja beda.
Tentang hal-hal tidak menyenangkan yang kita baca, dengar, atau bahkan lihat, ya sudah biarkan saja. Tidak semua hal bisa kita kendalikan. Kalau kita tidak mampu membungkam semua yang ada di luar sana, tenang. Kita masih punya dua tangan untuk menutup telinga dari hal-hal yang tidak ingin kita dengar.
Feb 10, 2020
Perjuangan Menyusui yang Berdarah-darah
Oke, judulnya memang lebay. Tapi soal berdarah-darah itu memang terjadi. Ternyata, setelah melahirkan yang penuh dengan drama, ada fase dramatic lain yang mesti dilalui sebagai seorang ibu. Taraaa... Menyusui.
Aneka macem kisah drama menyusui sebetulnya sudah pernah saya dengar sebelumnya. Tapi nggak nyangka aja kalau se-amazing ini waktu dijalani.
Pertama Kali Menyusui
Setelah observasi ibu dan bayi, kami akhirnya disatukan dalam satu ruangan. Begitu ketemu, langsung menyusui.
Saya dibantu perawat dan bidan untuk menyusui anak saya. Badan saya masih belum bisa banyak bergerak saat itu. Pukul 1 dini hari, meski badan masih sakit, saya upayakan untuk bisa miring ke kanan demi bisa menyusui Ghazy.
Sulit? Sudah pasti. Sakit? Nggak terasa. Saya punya pain killer buatan Allah langsung, Ghazy. Buat saya, Ghazy bukan hanya jadi penghilang rasa sakit aja. Tapi juga ngasih saya kekuatan untuk bisa menggerakkan badan saya. Alhamdulillah, bisa.
Sayangnya, waktu itu ASI saya nggak langsung keluar. Jadi, Ghazy cuma ngenyot aja. Galau? Tidak juga. Karna saat itu, saya sudah tahu bayi bisa bertahan tanpa ASI selama 3 hari. Supaya bisa cepat keluar ya disusukan ke bayi.
Saya sudah belajar tentang ASI dan menyusui waktu masih hamil. Bagaimana caranya supaya saya bisa menyusui secara optimal. Posisi bayi, pelekatan mulut bayi di payudara, semuanya sudah saya pelajari. Tapi ternyata teori dan praktik sungguh berbeda.
Iya, saya tahu kalau menyusui bukan hanya puting saja yang masuk ke mulut bayi. Aerola juga harus masuk supaya ASI bisa keluar secara optimal. Saya tahu itu.
Realitanya, bibirnya Ghazy ini imut sekali. Susah sekali memasukkan aerola ke mulut Ghazy.
ASI belum keluar, bagian payudara yang masuk cuma puting aja. Kebayang ya gimana rasanya? Clekit-clekit banget. Sudah bisa dipastikan kalau puting saya jadi lecet setelah itu.
Ketika Hilal ASI Mulai Tampak
Paginya, ASI saya mulai merembes keluar. Alhamdulillah. Tapi kondisi payudara masih clekit-clekit kalau kena sesuatu apalagi kesenggol. Huwaaaa... Bisa nangis saya.
Hal yang saya suka dari RSIA Bunda Suryatni adalah para tenaga medis yang ada di sana sabar sekali membimbing saya agar bisa lekas menyusui. ASI saya yang belum keluar di hari pertama tidak serta merta membuat mereka memaksa kami untuk memberikan susu formula ke Ghazy.
"Terus disusui ya, Bu. Tiap 2 jam sekali dedek bayinya harus menyusui. Bangunkan saja kalau dia masih tidur."
Maunya juga gitu. Saya bangunkan Ghazy tiap 2 jam sekali. Lalu menyusui agar produksi ASI bisa meningkat. Sekali lagi, saya dihadapkan oleh realita yang tidak sesuai dengan ekspektasi sama sekali.
Tantangan Lain
Membangunkan Ghazy hari itu tuh sulit sekali. Saya sudah minta bantuan suami dan Ibu untuk membangunkan Ghazy. Aneka cara juga sudah dilakukan. Mulai dari dibangunkan secara halus, disentil kakinya, dilap kakinya dengan air dingin, dicubit, semuanya yang sekiranya bisa membangunkan Ghazy sudah dilakukan. Tapi Ghazy tidak kunjung bangun.
Saya sempat menyerah dan berharap suntikan imunisasi bisa membuat Ghazy terbangun. Faktanya, Ghazy tidak menangis sedikit pun. Cuma merengek sebentar, lalu dia tertidur lagi pulas.
Astaghfirullah.. Harus bagaimana lagi?
"Anak saya belum bangun dari jam 11 tadi dok. Kami sudah membangunkan dia dari jam 1 siang, tapi dia belum juga bangun. Bahkan imunisasi sore ini aja tidak membuat dia terbangun."
"Sepertinya dia kecapekan, Bu. Kemarin kan dia sempat diinduksi juga. Nggak masalah kok. Lagi pula kebutuhan ASI untuk bayi baru lahir juga tidak banyak."
Kami yang sudah frustasi membangunkan Ghazy akhirnya membiarkan dia tidur sampai bangun sendiri. Ba'da isya, Ghazy baru bangun. Akhirnya bisa menyusui juga.
Drama pertama punya bayi pun terjadi. Ghazy rewel sekali malam itu. Nggak mau tidur. Saya susui juga nggak mau. Lewat tengah malam badannya demam.
Apa iya karna baru imunisasi? Tapi kata dokter imunisasi hepatitis B itu tidak menimbulkan efek samping. Nyatanya kok begini ya?
Semalaman kami begadang. Saya, suami dan ibu bergantian menggendong Ghazy hingga akhirnya dia mau tidur juga. Kata suami, Ghazy baru tidur pukul 2.30 dini hari.
Perjuangan Menaikkan Bilirubin
Keesokan paginya, Ghazy diobservasi lagi oleh perawat. Kata mereka, anak saya mulai kuning. Benar saja, hasil tes bilirubin Ghazy lebih tinggi dari seharusnya. Tidak terlalu tinggi sebetulnya. Tapi kalau besok pagi bilirubinnya belum turun juga, maka Ghazy harus menjalani photo therapy selama 36 jam. Artinya, kami tidak bisa pulang sama-sama.
Hari itu, saya betul-betul mengupayakan agar Ghazy bisa menyusu. Saat Ghazy tidur, saya coba cek ASI saya. Rasanya miris sekali saat tahu kalau ASI saya masih juga merembes. Belum keluar banyak. Sementara itu, Ghazy tidak hanya kuning, tapi sudah dehidrasi.
Upaya terus saya lakukan. Posisi pelekatan saya evalusi lagi. Saya cari video cara menyusui newborn yang benar bagaimana. Setelah tahu caranya, saya paksa Ghazy untuk belajar menyusu dengan benar. Saya tarik payudara saya kalau Ghazy belum benar.
"Ayo sayang, kita belajar sama-sama ya biar Ghazy cepet sembuh. Terus kita bisa pulang bareng," ini yang terus menerus saya katakan ke Ghazy saat dia mulai tidak sabar.
Saat visit dokter anak, saya juga coba konsultasikan masalah pelekatan ini. Apakah sudah benar atau belum? Alhamdulillah, setelah belajar maksa tadi, akhirnya betul juga. Setelah visit, perawat pun terus memotivasi saya sembari terus memantau posisi menyusui saya. Targetnya, ASI bisa keluar sehingga bilirubin Ghazy bisa turun dan tidak lagi dehidrasi.
Selain terus menyusui, saya juga memompa ASI saya. Jangan tanya berapa mililiter yang saya dapatkan. Setengah jam saya pumping cuma bisa membasahi pantat botol. Potek-potek rasanya hati ini. Sambil menyusui, air mata ini meleleh.
Iya, saya tahu kuning pada bayi itu wajar. Saya tahu kalau bayi saya masih bisa bertahan tanpa ASI selama 3 hari. Saya tahu itu. Tapi semua itu tidak cukup untuk membendung air mata ini jatuh ke pipi.
Lewat tengah malam, Ghazy mulai menyusu tiap sejam sekali. Entah, apakah ini karena dia tahu akan ditinggal pulang kalau bilirubinnya tidak turun atau kebetulan saja. Saya tidak tahu. Pastinya, ini jadi kesempatan saya untuk bisa mengupayakan apa yang bisa saya upayakan agar Ghazy bisa lekas pulang.
Rencana Allah yang Lain
Pukul 8.30 pagi, Ghazy dites bilirubin ulang. Deg-degan banget rasanya.
Pukul 10.30 hasilnya keluar.
"Ini hasil labnya, Bu. Bilirubin putra ibu 12,6. Jadi, dia harus disinar."
Saya tahu hasilnya tidak parah. Tapi tetap saja berita itu membuat hati saya hancur. Apa yang kami upayakan ternyata tidak berhasil. Ghazy harus dipindahkan ke Ruang Perina untuk disinar. Tidak hanya itu, kami juga harus menyediakan ASIP untuk kebutuhan Ghazy selama dirawat di Ruang Perina.
"Berapa liter yang harus kami sediakan?"
"Paling tidak ada 1 liter ASI, Bu."
Ya Allah, dari mana saya bisa dapat ASI sebanyak itu kalau yang keluar saja baru rembesan saja.
"Kalau saya belum bisa menghasilkan sebanyak itu bagaimana?"
"Ya terpaksa harus sufor."
Begitu dengar begitu, rasanya dari dalam kepala seperti ada bunyi piring-piring pecah. Prang! Rasanya begitu berkecamuk. Ingin menangis saja saat itu. Tapi semua harus diputuskan segera. Apa yang anak saya butuhkan harus diupayakan saat itu juga.
Kami terpaksa membelikan susu formula untuk bayi kami. Setidaknya, hari itu dia punya asupan makanan sembari kami alternatif lain.
Pukul 10.30, Ghazy masuk Ruang Perina. Saya antarkan dia dengan air mata yang berlinang. Saya tahu kondisinya tidak parah. Tapi tetap saja air mata ini tidak bisa dibendung.
Setelah Ghazy masuk, kami berkemas untuk pulang. Saya memang sudah diizinkan pulang oleh dokter. Sebetulnya saya diizinkan untuk stay lebih lama di rumah sakit. Tapi saya pikir lagi untuk apa? Hal terbaik yang bisa kami lakukan ya segera keluar dari rumah sakit dan mengupayakan ASI untuk Ghazy.
The Power of Busui
Begitu keluar dari rumah sakit, kami tidak langsung pulang. Langsung cari alat pompa ASI. Jujur saja, waktu menyiapkan peralatan bayi, ini sama sekali tidak terpikirkan oleh saya. Toh, rencananya saya memang ingin menyusui langsung.
Sembari belanja, saya coba hubungi sepupu suami yang kebetulan juga baru melahirkan. Beda usianya 4 bulan dengan Ghazy. Suplai ASI in syaa Allah pasti ada.
Setelah beli, saya ke rumah sepupu Ghazy dan meminta ASI-nya. Tidak banyak yang kami dapatkan. Hanya 120 ml. Tapi itu cukup untuk 3 kali asupan makanannya Ghazy.
Hari itu betul-betul jadi hari yang panjang untuk saya. Kata orang, kalau baru operasi caesar itu jadi susah bergerak. Tapi saya sama sekali tidak mengalami hal itu. Ada dorongan yang begitu kuat untuk pergi ke sana ke mari demi anak saya. Dia harus sembuh sesegera mungkin.
Perjuangan Memenuhi Stok ASIP yang Berdarah-darah
Saya baru sampai rumah ba'da isya. Istirahat sejenak sambil mencoba memerah ASI. Awalnya saya coba perah dari sebelah kanan dulu. Karena lecet, bukan hanya ASI yang keluar, tapi juga darah. Kaget dong waktu lihat hasil perahan malam itu.
Saya langsung buang, bersihkan dan sterilkan alat pompa saya. Setelah itu, baru saya coba pompa dari payudara sebelah kiri.
Hampir 30 menit memompa ASI, saya hanya dapat sekitar 30 ml saja. Sedih? Tidak. Ada kebahagiaan yang mengalir saat tahu bahwa ASI saya kini tidak hanya membasahi dasar botol.
Paginya, saya coba perah kembali payudara sebelah kiri saya. Tiba-tiba saja dari payudara sebelah kanan ada ASI yang menetes. Artinya, ASI saya mulai keluar lebih banyak dari sebelumnya. Saya buru-buru panggil suami. Kami pompa dua PD saya secara bersamaan. Suami handle dengan pompa elektrik, sedangkan saya sibuk memerah manual.
Di situ, saya baru tahu kenapa banyak ibu menyusui yang bilang kalau ASI itu begitu berharga. Tiap tetesnya ternyata ada perjuangan yang amat sangat tidak mudah. Dukungan suami dan support system yang lain betul-betul dibutuhkan.
Setelah Ghazy pulang dari Rumah Sakit, alhamdulillah Allah cukupkan ASI untuknya. Bahkan, saya masih bisa stock beberapa ASIP di freezer.
Epilog
Perjalanan saya untuk menyusui Ghazy tentu masih panjang. Ada banyak sekali cerita yang akan saya lalui lagi. Satu hal yang terus saya yakini dan coba untuk tanamkan dalam diri saya adalah ASI itu perkara rizki. Sementara Allah telah menetapkan rizki untuk anak saya. Bila kebutuhannya baru ASI saja, Allah pasti akan cukupkan itu. Tidak peduli seberapa sering anak saya memintanya.
Bukan berarti juga saya anti sufor. Tapi selama tidak ada kondisi darurat yang tidak memungkinkan saya untuk menyusui anak saya, ya ASI tetap jadi prioritas utama di 6 bulan pertamanya.
Semoga Allah mampukan saya. Teruntuk busui yang lain, semangat. Apapun yang sedang kalian lalui saat ini, you're not alone.
With love,
Feb 3, 2020
Review Buku Mommyclopedia, Panduan Lengkap Merawat Bayi 0-1 Tahun
Masuk trimester tiga, ibu saya sempat meminta anaknya ini untuk pulang ke Malang dan melahirkan di sana. Tapi saya menolak. Kalau disuruh pilih ingin didampingi siapa saat bersalin, saya pilih suami. Meski dari lubuk hati terdalam, saya ingin keduanya ada di samping saya.
Permintaan ibu ke saya itu sebetulnya karna nggak tega saya harus rawat newborn sendiri di perantauan. Saya yakinkan beliau kalau saya mampu. Lagi pula, sekarang ini informasi sudah tersebar di mana pun, tutorial merawat bayi juga ada di mana-mana. In syaa Allah, saya bisa.
Ada sebuah buku yang menemani perjalanan saya dari menjadi calon ibu sampai akhirnya betul-betul merawatnya. Judulnya "Mommyclopedia, Panduan Lengkap Merawat Bayi dari 0-1 tahun". Buku ini ditulis oleh dr. Meta Hanindita. Seorang dokter spesialis anak.
Sebetulnya, isi yang ada di buku ini sudah tersebar luas di internet. Banyak artikel yang memang sudah membahasnya. Tapi, setelah punya newborn, tentu waktu untuk berselancar di internet jadi makin terbatas. Belum lagi kita harus saring-saring info lagi. Mana sih yang terpercaya, mana yang tidak.
Kalau boleh dibilang, buku ini adalah rangkuman dari apa yang dibutuhkan oleh ibu baru. Semuanya sudah disusun sedemikian rupa agar mudah dipraktikkan secara langsung. Mitos-mitos yang beredar di masyarakat kita pun dibahas tuntas. Apakah itu hanya mitos belaka ataukah fakta yang perlu diperhatikan dengan seksama.
Panduan perawatan bayi yang baru lahir, cara menyusui, tentang MPASI, semua dibahas secara singkat, padat dan jelas. Tidak hanya itu, penjelasan tentang tumbuh kembang bayi, kesehatan bayi, hingga pertolongan pertama pun ada di buku ini. Komplit.
Setelah baca buku ini, kalau mertua atau orang tua nyuruh begini begitu sudah ada jawabannya. Mau ditolak atau diikuti ada alasan yang jelas. Nggak asal iya.
Buku ini juga yang bikin saya nggak mudah panik waktu Ghazy kena kuning atau keluar jerawat. Kenapa? Ya karna sudah dijelaskan secara singkat padat dan jelas di buku ini. Plus, tambahan ilustrasi yang bikin orang visual macem saya lebih cepet nyantol.
Judulnya juga panduan. Meski sudah dibaca sampai habis, buku ini masih sering saya buka untuk cek rapor tumbuh kembang Ghazy dan stimulasi apa yang perlu saya lakukan untuk bisa mencapai itu. Jadi, patokannya bukan anak orang. Melainkan, rapor tumbuh kembang itu tadi. Semisal ada yang perlu diwaspadai, bisa langsung konsultasi ke dokter.
Buat buibu baru macem saya, buku ini rekomended banget buat dibaca. Kalau bisa sih bacanya sebelum melahirkan. Entah waktu masih jomblo, manten baru, atau pas hamil. Pokoknya, wajib tahu dulu sebelum punya baby.
Kenapa sih saya ngeyel banget minta (calon) ibu buat tahu? Biar nggak gampang panik dan stress kalau ada apa-apa ke bayi. Tahu itu menenangkan. Kalau nggak tahu itu yang suka bikin galau, akhirnya rentan kena baby blues bahkan bisa jadi depresi.
Knowledge is power.
Jangan sampai cuma sibuk mempersiapkan persalinan, tapi lupa sibuk nyiapin gimana handle anak setelah lahir. Ikhtiar dulu dikencengin, selebihnya terserah Allah. Semangat membersamai si kecil, buibu.
With love,
Subscribe to:
Posts (Atom)