Assalamu'alaikum!

Perkenalkan, nama saya Aprilely Ajeng Fitriana. Kalian bisa panggil saya Lelly. Saya lahir di Malang pada tanggal 22 April 1991. Saat ini, saya tinggal di Bogor bersama suami dan anak saya. Blog ini adalah tempat saya mencurahkan segala pemikiran saya dari berbagai peristiwa. Bagaimana saya menghadapinya dan apa saja hikmah yang saya peroleh.

Ketika Orang Tua Terlalu Toxic, Harus Apa?

Sep 5, 2019

Pernah dengar istilah toxic people? Seperti namanya, toxic people itu artinya orang yang beracun. Jangan dibayangkan seperti Nagin siluman ular gitu ya. Nggak gitu juga. Mereka ini orang-orang yang suka meracuni pikiran-pikiran kita. Tujuannya supaya kita terus merasa bersalah, kehilangan semangat, hidup dalam ketakutan, dan semacamnya.

Masalah yang muncul adalah orang ini nggak sadar kalau ternyata dia itu toxic bagi orang lain. Nggak cuma itu aja, orang-orang semacam ini memungkinkan untuk hadir dalam hidup kita. Saya pernah bikin polling di instagram terkait bagaimana cara menghadapi toxic people ini. Sebagian besar memilih untuk pergi dan menjaga jarak sejauh mungkin. Bahkan, kalau perlu semua akses untuk berhubungan, baik itu social messenger dan media diblok.

Kalau saya ketemu toxic people, saya pun akan melakukan hal yang sama. Ambil langkah mundur teratur, lalu pergi sejauh-jauhnya. Blok semua akun itu mungkin juga akan saya lakukan kalau yang bersangkutan terlalu toxic untuk saya.

Pertanyaan lain muncul, bagaimana ya kalau ternyata si toxic people ini adalah orang terdekat kita? Orang tua kita, misalnya. Jeng jeng jeng jeeeeeng...

Toxic parents


Apakah pilihan untuk pergi sejauh-jauhnya tetap menjadi pilihan kita? Ataukah ada cara lain yang bisa kita ambil untuk menghadapi situasi semacam ini?


Toxic Parents


Saya percaya dan masih meyakini bahwa setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Hal ini yang menjadikan para orang tua berusaha berjuang untuk memberikan yang terbaik yang mereka mampu. Namun, adakalanya upaya ini bukan membuat anak semakin terpacu untuk menjadi baik, justru semakin melukai anak.

Banyak orang tua yang tanpa sadar telah menjadi toxic dalam kehidupan anak-anaknya. Sebetulnya, kalau diruntut lebih jauh lagi, ini bukan sepenuhnya kesalahan mereka. Pola asuh yang keliru dan luka batin yang mereka pendam selama inilah yang memicu mereka bersikap demikian. Mereka tidak sadar atau lebih tepatnya tidak tahu bahwa perbuatan mereka yang justru memberikan dampak buruk kepada anak-anak mereka.


Sikap yang Perlu Dilakukan untuk Menghadapi Toxic Parents


Saya tahu bahwa tidak mudah "berperang" dengan orang tua sendiri. Segalanya jadi serba salah. Ada hak orang tua atas kita yang perlu kita penuhi. Tapi, bertemu pun bukan sesuatu yang mudah bila luka yang ditimbulkan ternyata begitu dalam.

Lalu, apa yang harus dilakukan?

1. Memaafkan dan menerima orang tua apa adanya

Kita perlu bersyukur bahwa hari ini kita bisa belajar ilmu parenting dari berbagai sumber dengan amat sangat mudah. Ada banyak artikel yang bersliweran di sana sini yang memudahkan kita untuk belajar, belajar, dan belajar. Kita bisa belajar untuk menjadi role model terbaik bagi anak-anak kita dari segala kemudahan itu.

Lalu, apa kabar dengan orang tua kita? Bukankan akses informasi tak sederas sekarang? Seminar-seminar parenting juga tak semasif hari ini? Dari mana mereka belajar?

Mana lagi jika bukan menggunakan intuisi terbaik mereka. Meniru dari apa yang orang tua mereka lakukan dahulu. Masalah tepat atau tidak, itu yang kemudian menjadi permasalahan selanjutnya.

Kita bisa saja marah dengan kondisi ini. Dendam dengan orang tua sendiri. Memendam kebencian yang teramat dalam atas luka yang mereka sebabkan. Tapi, mau sampai kapan? Bukankah segala energi negatif itu yang justru membuat kita terluka semakin dalam?

Saya tahu bahwa memaafkan dan menerima mereka apa adanya bukanlah hal yang mudah. Tapi, inilah yang perlu kita upayakan untuk betul-betul bisa mengobati segala sakit yang mereka timbulkan.

Kita memang tidak pernah bisa memilih lahir dari keluarga mana dan dibesarkan dengan cara yang bagaimana. Kita tidak bisa memilih itu. Tapi kita bisa memilih sikap seperti apa yang sebaiknya kita lakukan pada orang tua kita. Lepas dari segala hal buruk yang pernah kita alami bersama mereka.

2. Membuat jarak bila memang diperlukan

Saya pernah mendapat cerita tentang suami istri yang hampir saja bercerai hanya karena orang tua. Mereka tinggal dekat dengan orang tua, bahkan satu atap. Orang tuanya mendesak anaknya untuk berpisah karena satu dan lain hal yang sebetulnya amat tidak masuk akal. Akhirnya, suami istri ini memutuskan untuk pisah rumah dengan orang tuanya.

Tentu saja, ini membuat orang tuanya marah besar. Tapi mereka hadapi semua itu demi mempertahankan rumah tangga mereka. Sebulan setelah pisah rumah dengan orang tua, keadaan membaik. Sedikit demi sedikit hubungan dengan orang tua pun bisa mereka atasi.

Ada banyak sekali kisah tentang jarak anak dengan orang tua yang justru membuat keadaan semakin membaik. Bisa jadi karna keduanya akhirnya sama-sama belajar untuk melihat dari sisi lain yang selama ini tidak mampu mereka lihat.

Saya pun sama dengan kalian semua. Seorang anak dari orang tua yang penuh dengan keterbatasan. Ada banyak hal yang sering membuat saya marah kepada mereka, kecewa, terluka. Tapi tahukah kalian? Saat saya memutuskan untuk merantau, justru jarak yang membuat saya mampu lebih memahami mereka.

Hubungan anak dengan orang tua ini unik. Kalau dekat sepertinya ada saja yang diributkan. Ada saja yang membuat satu sama lain terluka. Tapi ketika jauh, justru rindu yang membuat luka-luka itu sembuh. Rindu yang menjadikan diri ini lebih mudah untuk memaafkan mereka. Dan akhirnya, dengan berbesar hati kita mampu mengatakan ini.

"Mereka melakukan semua itu karena mencintai saya."


3. Mintalah pertolongan

Kalau kalian tidak sanggup dengan segala tekanan yang diberikan oleh orang tua kalian, tidak ada salahnya lho berbagi hal ini dengan orang yang kalian percaya. Bisa sahabat, pasangan, psikolog, atau murobbi. Jangan dipendam sendiri. Adakalanya, kita butuh sudut pandang lain dalam menyikapi hal ini.

Memendam masalah sendiri justru tidak baik. Banyak sekali masalah-masalah yang terkait dengan mental health yang disebabkan karena ini. Dalam kondisi terburuk, bisa saja memicu depresi akut. Kalau sudah begini, biasanya keinginan untuk bunuh diri bisa saja muncul. Nggak mau kan ya semacam ini?

Selain meminta pertolongan orang lain, tentu saja kita juga harus banget meminta pertolongan pada Dzat Yang Maha Membolak-balikkan hati manusia. Allah yang menciptakan mereka. Allah yang menggenggam segala kuasa atas mereka. Maka, serahkan segala urusan kepada Allah. Minta tolong sama Allah agar semuanya bisa dihadapi dengan mudah. Apa sih yang nggak mungkin kalau Allah sudah berkehendak?

Putus Lingkaran Setan, Stop Jadi Toxic Parents


Mungkin ada di antara kita yang merasakan menjadi korban dari orang tua yang toxic. Tapi, pernah nggak sih kita coba tanya ke dalam diri kita sendiri, apa iya saya bukan toxic parents juga?

Sama seperti orang tua kita dulu yang tanpa sadar ngasih racun ke kita, bisa jadi kita pun mengulang kesalahan yang sama pada anak-anak kita. Bedanya, saat ini kita sadar betul dampak dari perilaku toxic ini pada kehidupan anak di masa yang akan datang. Nggak mau kan anak-anak kita punya inner child seperti yang dulu kita alami?

Yuk, kita pahami ciri-ciri toxic parents itu apa. Tujuannya, agar kita bisa mengevaluasi diri dan mengubah sikap saat menemui hal semacam ini terjadi pada diri kita.

1. Kelewat kritis

Apa-apa dikritik. Anak melakukan hal yang salah dikritik. Melakukan hal yang baik dikritik juga. Semua jadi serba salah.

Hati-hati ya. Kalau kita punya pola asuh semacam ini ke anak, dia bisa tumbuh menjadi pengkritik berat. Nggak hanya ke orang lain, tapi ke dirinya sendiri.

2. Melarang anak mengekspresikan emosi negatif

"Jangan marah!"
"Jangan nangis!"

Ini nih salah satu contoh yang tidak sehat. Padahal anak juga butuh menyalurkan emosi negatifnya. Hanya saja, kita perlu mengajarkan dia bagaimana mengendalikan emosi itu agar tidak sampai merusak diri dan sekitarnya.

Melarang anak untuk mengekspresikan emosi negatif justru akan membuat anak lebih rentan pada depresi. Dia juga akan kesulitan untuk menghadapi emosi negatifnya saat dia tumbuh dewasa nanti.

3. Berlebihan

Segala sesuatu kalau dilakukan secara berlebihan tentu jadinya akan tidak baik. Kita ingin anak kita aman, tapi kita berlebihan dalam "melindungi" anak. Segala hal yang berkaitan dengan anak dipantau dan diintai secara berlebih. Bahkan ikut campur dalam urusan anak terlalu jauh.

Jangan begitu ya. Ini reminder juga sih untuk diri saya sendiri. Semoga nggak jadi orang tua semacam ini. Sebelum melakukan hal ini lebih jauh, coba deh balikkan lagi ke diri kita, nyaman nggak kalau diperlakukan seperti itu?

4. Mengatur target dan tujuan anak

"Udahlah, jadi PNS aja. Hidupnya lebih terjamin. Iya sih gajinya kecil, tapi ada terus."

"Kamu harus masuk IPA ya, biar cari kuliah gampang."

Dan masih banyak contoh yang lain. Well, kalau kita udah begini, kayaknya perlu nih nampar diri sendiri.

"Dear me, dia bukan saya. Dia punya jalan hidupnya sendiri. Tugas saya bukan menentukan masa depannya, tapi membimbingnya untuk meraih cita-citanya."

Itu sih yang perlu kita katakan pada diri sendiri. Soalnya, orang tua semacam ini, biasanya sampai tega membuat anak merasa bersalah agar mau mengikuti keinginan orang tua.

"Nggak cuma kamu yang berjuang, tapi Mama juga. Masa kamu mau jadi itu?"

Segala macam hal yang pernah dilakukan diungkit semuanya. Ya uang, ya tenaga, ya materi. Semuanya diungkit. Maksudnya sih biar tetap bisa mengendalikan anak.

5. Meminta perhatian dan waktu lebih dari seharusnya

Kalau yang ini, tipe-tipe orang tua yang suka minta perhatian dan waktu lebih ke anak. Tidak hanya itu, mereka juga akan membuat anak merasa bertanggung jawab atas kebahagiaan mereka.

Dari kelima point yang sudah disampaikan, semoga nggak ada ya dalam diri kita. Semisal ada, semoga hal ini bisa kita jadikan bahan untuk introspeksi diri.


Kesimpulan


Punya orang tua yang toxic banget memang nyiksa lahir batin. Beberapa orang yang nggak tahan dengan ini bisa terganggu mental health-nya. Tapi, kita perlu banget ingat bahwa nggak semua hal bisa kita kendalikan. Termasuk mengendalikan siapa yang layak jadi orang tua kita.

Alih-alih meratapi nasib dan mengutuk orang tua, ada baiknya kita mulai bersahabat dan menerima kenyataan. Kita memang tidak bisa memilih siapa yang menjadi orang tua kita, tapi kita bisa memilih menjadi anak seperti apa kepada orang tua kita.

Lepas dari perbuatan mereka, kita masih punya kewajiban untuk berbakti kepada mereka. Dan ini nggak akan pernah hilang selama mereka masih hidup. So, mumpung orang tua kita masih hidup, mari kita sikapi segala masalah dengan bijak.

Comments

  1. saya lakukan nomer 2: dari lulus Sd sampai kuliah pilih hidup di luar rumah, masa sekolah di pesantren, kuliah kost, eh kerja kost lagi, karena bawaannya dirumah malah stress, ga happy. alasannya yaitu: toxic parent, terutama bapak saya yg mudah sekali marah2-.-' pernah minta tolong ke paman bibi gitu tapi mereka sendiri jg ga berani ngadepin bapak saya, selain krn di tua kan di keluarga. ya sudah..pilih menjauh, nengok pas libur, malah lebih mending, ketemu dgn kondisi baik, jadi jarang ngomel hehe, kalau seatap...pusing dengernya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. emang ya, kalau ortu mudah marah tuh, kitanya juga jadi lebih stress kalau di rumah. pinginnya sih nggak terlalu lama ketemu. antara males dengerin omelan yang itu-itu aja, atau bisa juga males dengan segala justifikasi yang diberikan.

      Delete
  2. Pernah ngalamin, dan tapi akhirnya orang tua luluh sama kemauan anaknya yg keras kepala :'D

    ReplyDelete
  3. Memberi kasih sayang yang berlebihan dengan memenuhi segala keinginannya juga katanya termausk toxic. Saya pun sering berkaca tentang toxic parent. Semoga sebagai orang tua, dijauhkan dari sifat ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya ini juga termasuk poin ketiga. ini bisa bikin anak nggak mandiri dan sulit untuk memutuskan apa yang sebetulnya dia inginkan.

      Delete
  4. Sebagai anak biasanya terkungkung, dan tidak berani ambil keputusan, padahal lebih baik kalau ada jeda dengan orang tua yang toxic...
    Sebagai calon orang tua, ini pelajaran banget supaya kelak tyda jadi orang tua yang toxic... :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, kalau terlalu toxic memang sebaiknya ada jeda untuk napas. bukan berarti lari ya..

      Delete
  5. Harus nyanyi!!!

    *joged-joged ala Britney Spears sambil nyanyiin 'TOXIC'

    hahahahaha.

    Betewe, thanks deh tulisannya, poin-poinnya ada yang menampar saya, eh nggak ding, mencubit aja haha

    Saya kadang kalau udah capek beneran melarang anak mengekspresikan emosi negatifnya, nggak boleh marah, nggak boleh nangis.

    Astagaaa hiks

    Mamak emang kudu setrrooonggg, biar ga maramara mulu :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. wajar sih, semua ibu memungkinkan begitu, tinggal gimana kita bisa nahan diri aja.

      Delete
  6. Semoga saya bisa terus melepaskan jaringan-jaringan toxic parents pada diri ini. Masih banyak salahnya sih tapi terus berusaha memperbaiki agar lebih baik

    ReplyDelete
  7. mbaaa aku membacanya jadi auto refleksi diri untuk memutus juga rangkaian menjadi orang tua yang menyebalkan bahkan d cap oleh anak nanti sebagai toxic parent. Semoga kita menjadi anak yg berbakti kepada org tua dan anak-anak kita sayang sama kita yaa

    ReplyDelete
  8. Baru tahu dengan istilah toxic people. Mungkin memang ada orang tua yang terlalu menekan anaknya, dan kita sebagai orang tua atau calon orang tua jangan sampai menjadi toxic untuk anak sendiri.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mbak, masalahnya toxic people ini suka nggak sadar kalau dirinya toxic.

      Delete
  9. Sy nggak ngeh sih ortu toxic ap nggak, tp stlh bca ini kyknya iya deh. Semoga bisa jd ortu yg baik buat anak tnpa jd toxic.

    ReplyDelete
    Replies
    1. toxic atau nggak itu kita yang ngerasain sih mbak. nggak semua orang tua toxic juga. ada batasnya intinya.

      Delete
  10. Duh, sesekali memang aku suka bilang jangan nangis dan jangan marah ke anak. Apakah ini jadi bentuk toxic? Hm ...

    Memang kadang ada ortu yang otoriter dan kelewat batas terhadap anak. Tidak mungkin juga ambil jarak Karena masih tinggal satu rumah. Memang memaafkan adalah jalan terbaik pastinya. Postingan yang bagus dan mencerahkan. Trims sharingnya, Mbak Lely

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mbak. kalau memang gabisa pisah rumah ya harus cari alternatif lain.

      sama-sama mbak lia

      Delete
  11. Toxic ditulisan ini memang terkadang nggak dapat dielakkan. ada rasa serba salah, kalau ini jadi salah, itu jadi gimana.

    ReplyDelete
    Replies
    1. manusia kan tempatnya salah mbak. nggak ada yang 100% sempurna, tapi dari yang salah-salah itu, gimana caranya bisa cepet dibenerin dan nggak diulangin lagi.

      Delete
  12. ngerasain juga efek toxic parents meski gak banyak dan gak parah sekaligus jadi pembelajaran semoga aku bisa lebih baik kepada anakku

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mbak, kalau ngalami sendiri, kita mungkin bisa belajar untuk nggak mengulangi hal yang sama

      Delete
  13. Masa-masa emosi dengan orang tua untuk saya sudah berlalu hahahahaa... Udah ngalamin yg namanya pisah kota sejak SMA. Justru setelah kuliah dan punya anak sampai sekarang saya masih tinggal bersama ibu karena memang kondisi yang tak memungkinkan meninggalkan beliau.
    Alhamdulillah, beliau sudah lebih tenang, enggak suka jadi toxic lagi. Kadang masih sih, tapi saya anggap wajar karena bagaimanapun saya tetap anaknya. Bersyukur aja masih punya orang tua.

    ReplyDelete
    Replies
    1. samaaa... saya juga sudah berlalu sih, mungkin karna jarak juga yaa..

      Delete
  14. ahahahhaak toxic parent equal to NPD parents... dan orang tua saya pun masuk ke golongan itu

    ReplyDelete
  15. Renungan nih Mbak. Semua orang tua akan selalu memberikan yang terbaik untuk anaknya. Bagaimanapun kondisi orang tua, semoga kita bisa memahaminya.

    ReplyDelete
  16. Berarti menjaga jarak dengan toxic people sangat tepat ya mbak, agar tak terpengaruh.

    ReplyDelete
  17. Menjadi toxic parent? Mungkin kita harus belajar lagi untuk menjadi orang tua yang baik bagi anak

    ReplyDelete
  18. Toxic parents ini saya alami juga karena ortu terpengaruh dari omongan orang luar,,

    Tak mungkin menjauh dari ibu, karena cuma dia yg saya punya, tapi orang lain pasti banget saya jauhi, gak pernah suka sama orang kaya gitu.

    ReplyDelete
  19. makasih mbak sharingnya, semoga aku bisa memperbaiki diri agar tidak menjadi toxic parents..aamiin

    ReplyDelete
  20. Wah, kok pas banget. Saya sedang dicurhatin seseorang yang rumah tangganya runyam gegara ortunya toxic. Ikutan geram, gitu. Saya coba kasih solusi dikit-dikit agar dia berani bersuara. Lha tertekan tapi manut saja padahal pendapat si ortu toxic-nya menyalahi syariat juga.

    Sebuah pembelajaran agar kita jangan jadi ortu toxic, Na'uzubillahiminzalik. Tulisan bagus nih Mbak Lelly :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. kasihan ya kalau begitu itu. :(

      semoga yang begitu itu nggak menimpa kita ya mbak. naudzubillah..

      Delete
  21. Tolong saya,
    semua point di atas terjadi pada saya bahkan masih banyak point lain lagi.
    Saya ingin keluar, Jika saya bersuara maka saya akan semaakin dibuat `menyesal` karena sudah membantah. Tidak jarang keluar kata `mati` baik ditujukan untuk saya baik pada ibu saya.

    Saya sudah meminta pertolongan ke orang sekitar, tapi tidak mudah. Saya juga tertekan karena di satu sisi ibu saya sering menyebar cerita yang kurang baik tentang saya. Saya tahu saya bukan anak yang baik, tapi saya juga tidak seburuk itu. Setiap hari ketakutan. Hari ini saya nekat membuat komentar ini siapa tahu ada solusi yang lebih baik.

    Saat sedang tenang saya sudah mencoba memberikan pengertian. Bahkan nekat memberitahu apa yang saya inginkan dan saya tanya apa yang ibu inginkan dari saya.
    Tapi kalau sedang berada di puncak masalah, rasanya semua itu tidak ada artinya.
    Pernah ketika saya `diusir` saya benar-benar akan keluar. Tapi yang terjadi justru drama lebih besar. Dan saya belum berani secara finansial.
    Kira-kira saya harus bagaimana?
    Semua yang ditanamkan oleh ibu saya benar-benar hampir mendarah daging. Takut, khawatir, rasa tidak berguna, insecure dll.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai mbak,
      Kalau saran saya, coba hubungi psikolog untuk membantu menghilangkan toxic yang mendarah daging ini. Semisal ada cara untuk keluar rumah baik-baik, coba lakukan. Merantau karena bekerja, kuliah, atau menikah.

      Delete
    2. Sy jg mengalami hal yg sama..bahkan terkadang sy sangat membenci ibu sy sendiri. Terlalu mencampuri urusan pribadi bahkan tata cara berpakain, rasanya tdk punya pendirian sendiri krn semua harus dilakukan sesuai keinginan dia, hanya utk membuat dia senang tp sy sangat menderita secara mental. Dia membuatku merasa insecure dan mempunyai anxiety berlebihan,rasanya tdk punya semangat hidup lg. Disaat sy mengharapkan seorang ibu bisa menjadi teman sekaligus Krn sy sangat kesepian justru dia seperti musuh bagiku

      Delete
    3. --Semua yang ditanamkan oleh ibu saya benar-benar hampir mendarah daging. Takut, khawatir, rasa tidak berguna, insecure dl--
      aku merasakan hal yang bener2 sama ini.

      kata2 yang diulang terus-menerus semenjak kecil hingga sekarang umur sudah 30, "dasar anak durhaka, sok cantik, sok pintar". tidak pernah diberi kepercayaan untuk melakukan semuanya sendiri, bahkan pengambilan keputusan, sekalinya sendiri dan salah beliau akan marah habis-habisan dan membuat saya jadi tidak percaya diri lagi untuk memutuskan semuanya sendiri.

      Menurut saya pertolongan pertama untuk 'kita' sebenarnya adalah menyadari bahwa orang tua kita memang toxic. Jadi kita sadar bahwa semua hal buruk yang beliau katakan tentang kita tidak benar adanya. Maka saat beliau berkata buruk anggaplah itu hanya luapan kekesalan, bukan diri kita sebenarnya, dengan begitu hati akan lebih tenang dan tidak menggebu-gebu untuk 'membantah' karena percuma :D

      Delete
    4. Iya mbak, memang semuanya harus diterima dulu. Terima kalau orangtua kita memang tidak sempurna.

      Ini bisa jadi karna pola asuh yang dulu mereka dapatkan.

      Penerimaan bukan hanya agar kita bisa bangkit dan percaya diri lagi. Tapi, memaafkan kesalahan mereka.

      Delete
    5. Saya juga sedang mengalami hal yang sama mbak...pernah berpikir pisah rumah saja dari ibuk tp takut Durhaka ninggalin ibuk sendiri

      Delete
  22. Hai Kak.
    Terima kasih atas blog dan penjelasannya. Sedikit banyak jadi membuka pengetahuan saya kalau "kami bukanlah anak durhaka". Membuka sedikit hati saya kalau "ternyata kami tidak sepenuhnya bersalah".

    Saya berasal dari keluarga yang sangat "fair". Kamu terserah mau jadi apa tetapi jangan lupa bertanggung jawab. Dan itu menjadikan saya anak yang sangat penurut. Dan saya lakukan itu tanpa beban apapun.

    Setelah dewasa saya bertemu dengan laki2 yang sekarang menjadi suami saya. Dia berasal dari keluarga broken home. Ketika kecil, di buang oleh ibunya ke Kampung neneknya. Ketika dewasa, di usir oleh Ayahnya karena pergoki ayahnya selingkuh. Dan ketika sudah menikah, kehidupan kami perlahan menanjak. Ibunya selalu memaksa minta uang. Saya suka diam2 kasih. Karena suami saya merasa tidak pernah diurus sama ibunya, jadi dia selalu melarang saya untuk beri uang.

    Kejadian terakhir yang bikin kami lost contact dengan Ibu mertua saya adalah ketika saya ingin transfer diam2. Tapi sebelum kejadian adik ipar saya yang tinggal dengan mertua bilang kalo saya yang menguasai harta suami. Jadi menurut mereka, saya yang larang suami untuk memberi uang ke mereka.

    Saya depresi.
    Karena saya merasa bersalah kenapa waktu itu gak diem2 aja trf ke mereka.

    Sekarang suami benar2 melarang saya untuk berhubungan dengan keluarganya. Karena ternyata kata toxic benar2 bisa terjadi di orang tua.

    Sudah setengah tahun tidak kontak dengan ibu mertua. Tapi ternyata ini yang terbaik untuk kesehatan mental kita untuk saat ini.
    Sampai semua tenang, kami akan pikirkan kembali cara agar dapat berbaikan lagi.
    (Walau suami inginnya Ibunya yang sadar akan perbuatannya)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sending big virtual hug for you, mbak. Pukpukpuk..

      Semoga masalahnya cepat selesai ya. Saya doakan kondisinya jadi membaik lagi semua.

      Delete
    2. Hanya bisa ngasih virtual hugs.. (pelukan virtual). I feel you, sisters... 😢

      Delete
    3. Terima kasih semua.
      Virtual big hug buat sister2 semua.
      Semoga kita semua kuat dan diberi jalan terbaik untuk masalahnya :)

      Delete
  23. Aku korban physical dan mental abuse dari toxic family, dari kesimpulan yg aku baca intinya kita harus memafkan ortu dan mencoba memakluminya? Aku kurang srek kak, karena mgkin aku sudah punya luka terdalam di hati, aku bingung harus gimana kak, klw meninggalkan keluarga ini aku kasian sm mama tinggal sendiri, kok aku bertahan aku ga sanggup, gimana ya kak caranya blg ke ortu klw cara mereka ini salah, karena pd dasarnga keluarga aku sulit utk diajak dikusis atau ga pernah denger apa yg aku blg, terkesan anggp aku masih anak2, pdahal dah umur 23, aku ingin merubah semuanya mencoba memaafkannya, ada saran kak?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya tahu bahwa memaafkan itu part paling sulit di sini. Tapi percaya deh, ketika itu bisa dilakukan, rasanya jauh lebih plong. Untuk bisa sembuh dari inner child, mungkin bisa minta tolong ke psikolog. Ada kok caranya untuk bisa healing dari semua perasaan itu.

      Nah, tentang bagaimana memulai berdamai dengan ortu ya dengan memulai. Coba aja dulu. Adakalanya, kita berhenti untuk mencoba karena bayangan orang tua akan begini begitu. Bisa jadi, itu tidak sepenuhnya salah. Saking banyaknya pengulangan yang terjadi.

      Tapiiiii... Kita punya Tuhan. Coba minta tolong sama Allah. Ceritakan niat kita apa. Terus coba urai masalahnya satu persatu untuk diselesaikan.

      Kalau memang kita nggak sanggup menyelesaikan, ada Allah yang maha membolak-balikkan hati manusia. Ada pertolongan tak terduga yang pasti akan datang. Entah kapan itu. Kuncinya sih, jangan menyerah. Lurusin niat juga.

      Semangat yah. :)

      Delete
  24. Makasih banyak kak udah sharing seputar toxic family.

    Flashback 8th yg lalu keluargaku broken home krn alasan Mama ku selingkuh. Tapi Papa ku juga salah krn beliau menelantarkan Mama, aku, dan adik.
    Setelah perceraian Mama ku nikah siri krn suaminya udh berkeluarga. Semua keluarga besar ga ada yg setuju, terutama aku dan adik tapi akhirnya mereka maksa nikah.
    Pertengkaran hebat pun tak terelakkan antara aku dan Mama. Semenjak saat itu luka batin membekas sampai saat ini.

    Aku menjaga jarak dgn tidak serumah dan itu sangat membuat aku lebih tenang. Setiap aku ingat Mama gatau kenapa hatiku sesak dan nangis krn luka itu ternyata masih belum sembuh. Meski begitu komunikasi tetap berjalan krn menghormati beliau.

    Saat ini aku tinggal dengan adik. Tapi akhir2 ini hubunganku dgn adik sedang tdk baik. Ku akui aku yg salah, tapi pas adikku komunikasi sama Mama spt ga membantu menyelesaikan masalah. Ku kira akan ada nasehat. Tapi malah aku dibilang ga bisa jaga adik dan ga layak jd kakak. Deggg ...
    Sampe aku tuh bingung, ini bener ga sih ortu ku?? Ko bisa sih??

    Apakah ini hanya aku yg over thinking? Atau emang aku di lingkungan family toxic?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama-sama mbak.

      Sending big virtual hug for you. Pertama-tama, saya nggak berani bilang apakah yang mbak rasakan ini overthinking saja atau memang lingkungannya yang sudah toxic. Saya rasa, apa yang mbak rasa sekarang ini akumulatif dari emosi di masa lalu. Waktu ortu mbak cerai, mamanya mbak nikah siri. Semuanya ngendap jadi satu.

      Coba deh release satu per satu dulu. Bukan dilupakan dan dianggap tidak ada apa-apa. Tapi selesaikan satu per satu.

      In case, pusing banget dan nggak tahu harus gimana, mbak bisa konsul ke psikolog yang lebih mumpuni dari saya.

      Delete
  25. iyah tinggalnya jangan bareng sama orang tua

    ReplyDelete
  26. Bru sekarang aku menyadari bahwa org tua ku toxic. Aku sering nangis smpe sekarang karena BPK ku sering bgt ngomong gini ketika aku gagal tes "percuma tes ini itu gagal terus ujung nya, mending duitnya buat kebutuhan yg lain" . Setiap kali aku melakukan hal yg dianggap parents kurang. Mereka selalu mengungkit materi, tenaga, uang yg telah diberikan. Ps aku mau test masuk kuliah ternyata gagal. Mereka selalu ungkit semua nya.
    Sering pas ngobrol parents tbtb bbilang dri aku lahir mereka harus susah payah biayain aku keluar uang banyak, tenang banyak buat aku. Trus pas udah gede aku masih aja nyusahin. Ga ngertiin org tua. Padahal klo aku bisa milih aku g mau lahir klo bikin susah org tua. di umur 21 ini aku merasa depresi bgt grgr setiap hal yg aku alami selalu di anggap beban sm org tua ku.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sending big virtual hug for you. :)

      Semoga masalahnya segera berlalu ya. Kalau memang butuh bantuan orang lain, jangan ragu ya. :)

      Delete
  27. Pas banget topiknya!

    Btw saya termasuk anak yg dibesarkan dari keluarga toxic, seumur hidup saya gak pernah terbuka bahkan cerita sama ortu sampai mereka berdua kembali ke pangkuan-Nya.

    Singkat cerita ortu saya orang yg sangat ambisius, selalu mengekang dan menekan anak kalo saya harus gini gitu ikuti kemauan ortu, lama kelamaan sampai saya terbiasa memendam sendiri dari ortu ��
    Saya tau ini kebiasaan yg gak baik, tapi apalah daya kalo saya jujur atau terbuka malah dimarahi ortu, dianggap saya anak bodoh, lemah gak bisa seperti anak yg lain ��

    Pasca kepergian ortu, saya berjuang untuk harus selesaikan kuliah. Sempat disindir keluarga "kuliah mulu diurusin, tapi gak selesai2 juga". Walaupun gak tepat waktu akhirnya terselesaikan lulus s1 saya.

    Diumur saya sekarang 25 tahun saya telah selesaikan s1, namun karna pandemi covid saya susah cari kerja, sebanyak apapun saya lamar gak kunjung dipanggil kerja. Nyinyiran dan sindiran dari keluarga besar kalo saya gak bisa jadi orang yg sukses, sejak itu mereka ngecap "percuma s1 tapi pengangguran", "salah jurusan tuh pantesen gak dapet kerja". Yap, perlahan saya jauhin mereka, gak nyaman dgn keluarga sendiri. Makin kesini makin lelah mental karna toxic family belum terputus sampai saat ini ��

    ReplyDelete
    Replies
    1. sama kita bang :( saling sharing yok bang melalui telegram :)

      Delete
    2. semangat ya buat kamu. Well, soal pandemi ini, memang swmuanya kena dampak. Tapi bukan berarti kita tidak bisa menciptakan peluang usaha baru. COba gali lagi dari segala lini, mana yang sekiranya bisa dilakukan. Susah dapat kerja? Ciptakan lapangan kerja baru. Tidak selalu butuh modal kok. Adakalanya, modalnya cukup isi kepala aja dan kemauan aja. semangat!

      Delete
  28. Jadi ngerasa bersalah banget ke anak. Kadang kalau orangtua nyindir2 saya, saya ga berani "berontak" ke mereka krn takut dicap anak durhaka, dan saya lampiaskan dg memarahi anak saya. Ortu saya sering membebankan semua kesalahan ke saya. Memanipulasi pikiran saya bahwa sayalah yg salah hingga saya dan suami bercerai dg cara yg tidak baik-baik. Sejak kecil saya dilarang ini itu. Ortu selalu menanamkan pemikiran kpd saya bahwa saya harus bs membahagiakan dan membanggakan mereka krn mereka merasa berjasa telah mengadopsi dan membesarkan saya. Waktu pulang kampung saya ingin sekalian menengok bapak kandung saya dan ziarah ke makam almarhumah ibu kandung saya, tp ortu melarang. Ingin pisah dr ortu dan menjalani kehidupan single parent sendiri, tp karena finansial saya blm mampu untuk berpisah dr mereka saya terpaksa masih hidup bersama mereka dan menerima berbagai toxic sampai sekarang. Padahal di luar, ortu terlihat sangat flexible dan memberikan kesan kpd orang2 bahwa saya sangat beruntung menjadi anak mereka. Namun saya tidak merasakan demikian, sebaliknya saya merasa tersiksa, kalau sudah terlalu kepikiran, vertigo saya sampai kambuh. Kadang migrain juga.
    Semua "arah jalan" jadi terasa salah..

    Btw, nama kita samaan mbak 😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo Mbak Lely, salam kenal ya..

      Well, kalau di Islam, orangtua angkat tidak akan pernah berubah menjadi orangtua kandung. Jadi, sebetulnya mereka tidak ada hak untuk melarang mbak bertemu bapak kandung mbak.

      Kalau untuk kasus yang tidak berani tinggal sendiri karena masalah finansial, ini cuma mindset aja mbak. Jadi single parent itu pasti berat. Tapi kan Allah sudah jamin rizki untuk masing-masing hamba-Nya. Jadi, jangan khawatir soal finansial ya mbak. Ada Allah kok. Selama kita mau usaha, pasti ada jalannya.

      Saya doakan masalah mbak cepat selesai dan bisa ketemu solusinya. Intinya sih, mbak harus kumpulkan keberanian untuk mengambil keputusan sendiri.

      Delete
  29. Saya sudah punya dua anak dewasa, kuliah semua. Tapi sampai detik ini masih menyimpan luka batin thd ayah saya. Di usianya yang senja dan sakit2an begini masih sering mengeluarkan caci maki buat orang2 di sekitarnya. Padahal dulu dia tidak pernah ada saat saya membutuhkan figur ayah. Dulu ayah benar2 mengabaikan keluarga, melakukan kekerasan verbal. Sekarang pun saya hanya dianggap sebagai dana pensiun yang harus memenuhi semua kebutuhan nya. Kekerasan verbal masih ada hingga sekarang, padahal ayah sudah sakit2an dan sangat tergantung untuk kegiatan sehari-hari nya.
    Saya bertahun-tahun berusaha mengingatkan dengan lemah lembut, tapi ujung-ujungnya selalu "kenapa ndak kau racun sekalian ayahmu ini"
    Akhir2 ini saya sering tertekan setiap kali mengunjungi orangtua. Saya merasa lelah..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Astaghfirullah.. sabar ya mbak. Semoga kesabaran mbak diganjar pahala yang luasnya tak terkira.

      Karna seburuk apapun orangtua kita, mereka tetap punya hak atas bakti kita.

      Kalau mbak merasa lelah, bisa kasih jeda dulu ke diri sendiri untuk tidak bertemu sementara waktu. Atau, mbak bisa batasi waktu kunjungannya. Tidak terlalu lama.

      Delete
  30. Kak sama kayak keluarga saya semua ny toxic. Gak ibu, kakak cewek atau kaka cowok seperti itu semua. Sepeninggaln bapak saya bukan malah berubah biar keluarga harmonis malaj tambah hancur sifat2 mereka. Kadang saya merasa putus asa dgb keluarga saya seolah2 dunia ni gak ada memihak ke saya. Saya mudah tertekan, emosi, pendendam, marah. Kadang2 saya luapkan dgn menangis. Itu saja msh membuat saya rasa ny seperti gila dan pengen cepat mati. Kak bisa ksh solusi untuk saya gak biar bisa bertahan dikondisi keluarga hancur gini. Cuman saya dgn bapak saya aja kk saya merasa tenang. 🙁🙁🙁🙁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kakak lk sm pr jg mengalami toxic dr ibu?jgn tinggal 1 rumah,cari wkt buat nenagkan diri me time stp hari. spt minep d hotel sendiri dll semoga cepat bertemu self love

      Delete
    2. Kalau saran saya sih ambil waktu untuk diri sendiri dulu. Menjauh dari orang-orang yang bikin mbak pusing sambil menenangkan diri.

      Napas dulu. Sembuhkan diri sendiri dulu. Baru mikir mereka mau diapain.

      Kalau mbak butuh bantuan tenaga profesional, jangan ragu untuk kontak mereka ya..

      Delete
  31. Saya juga punya ibu yang toxic.. saya blokir semua akses komunikasi dengan ibu saya setelah saya menikah, dan sekarang hidup saya menjadi lebih baik. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tapi non, itu ibu sendiri lho. Seburuk apapun kita masih punya kewajiban berbakti ke beliau.

      Menjauh sejenak untuk napas dan nyembuhin diri itu oke. Tapi kalau memutus hubungan, apalagi dengan ibu sendiri itu ya tidak baik.

      Delete
  32. saya juga merasakan hal serupa bahkan di usia saya yang ke 29 ini, orang tua semakin menjadi jadi mengeluarkan kata kata yang membuat hati tidak nyaman. Sering membatin merasa dilema serba salah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nggak perlu didengar kalau memang tidak ingin mendengarkan. Abaikan aja.

      Delete
  33. Alhamdulillah bca ini jd ad tenangny n sedihny jg campur aduk.. aplg bca yg curcol it ad yg sma kya yg aq alami tp ad jg yg bkin aq jd ngerasa trnyta ad yg lbh prah dr yg aq alami rasany campur aduk .. smoga bs mnghadapiny dgn tetap sabar ...mkasih artikelny.. mkasih yg udh pd maw crita sharing.. yg msalahny msh berat smoga d ksh jln kluar...

    ReplyDelete
  34. "Udahlah, jadi PNS aja. Hidupnya lebih terjamin. Iya sih gajinya kecil, tapi ada terus."
    Ah makasih mbak sudah au sharing hal ini sangat bermanfaat bagi saya. Cerita sedikit saya jg pernah disuruh jadi PNS aja karena hidupnya terjamin. Tapi disisi lain saya ingin berkliah, btw jurusan kuliah itu emang sudah saya idam-idamkan karena jurusan ini merupakan jurusan yang mulia menurut saya

    Dan setelah saya berbicara kepada mereka , zonk!
    Mereka ngelarang:( Dalih dalih bilang buat apa jurusan itu nggak bakal jadi apa-apa alias pengangguran
    Sedih banget sumpah dilarang kayak gitu kak :( Saya bingung bangett , mencoba berdamai dan sabar mungkin satu-satunya jalan ya

    huaaa jadi pen nangis saya klo ingat itu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sabar ya kak...

      Kalau lagi keinget, coba tarik napas dalaaam. Lalu, keluarkan perlahan. Napas lagi, keluarkan.

      Gitu terus sampai mbak merasa tenang.

      Kenapa saya sarankan gitu? Karna kita nggak bisa ngerubah kondisi orangtua atau apapun yang sudah terjadi. Tapi, kita bisa mengendalikan diri supaya bisa menghadapi semua ujian yang Allah kasih.

      Delete
  35. Saya juga mengalami luka batin sebagai anak yg di besarkan oleh ibu yg toxic. Dan sangat mengefek ke hal lain dalam hidup saya, jadi tidak bersemangat, rasanya ingin pergi jauh tp tidak berani, apa solusinya adalah menikah dan ikut suami? Sementara saya ingin berbakti dan membahagiakan ortu selagi masih single tapi malah toxicnya menjadi membuat luka masa kecil teringat kembali di tambah luka luka baru dewasa ini . Tidak ada yg paham dan mampu memahami diri ini, hanya di pendam saja

    ReplyDelete
    Replies
    1. Menikah itu bukan cara kita untuk lari dari orangtua mbak.

      Mbak nggak bisa menjadikan ini sebagai ajang pelarian. Repot sendiri nantinya.

      Segala desakan pasca menikah dari ortu makin besar karna merasa ditinggal anaknya. Adaptasi dengan suami. Adaptasi dengan mertua. Banyak.

      Kalau tidak diselesaikan, pusing sendiri nanti.

      Solusi dari masalah mbak adalah menerima dulu. Terima kondisi ortu dan diri sendiri.

      Dari situ, mbak bisa memaafkan dan memaklumi kenapa sih belaiu begitu. Dengan cara ini juga, mbak jadi bisa lihat sisi baik yang selama ini ketumpuk oleh sisi negatif beliau.

      Delete
  36. Ibu NPD itu sangat mematikan mentalku. Pengaruhnya kental dan sangat melekat. Betapapun aku antipati dg prilaku beliau, pengaruh beliau menghantui dan tidak jarang aku melakukan prilaku toxic juga. Aku membenci diriku sendiri. Aku tidak tau bagaimana memutus rantai setan ini.

    ReplyDelete
  37. Gimana caranya kita bisa mengekspresikan diri ke apa yang kita suka atau sesuatu yang kita inginkan kalao kita dibatasi, contohnya saya hanya bisa akses wa dan browsing khusus pelajaran sedangkan youtube twitter instagram dll di lock... Adik saya juga bermain game satu jam akan dimarahi bahkan disakiti fisik... Apa yang harus saya lakukan saat saya merasa ingij menyakiti orang laij bahkan diri sendiri?

    ReplyDelete
  38. Izin curcol, kakak. Saya merasakan hal yang sama. Penyebab yang kentara adalah karena bapak berselingkuh dan yang disoroti ibu saya hanya uang nya saja yang lari ke entah siapa namanya. Dulu waktu sekolah saya masih struggle buat bantu ibu cari tahu siapa si selingkuhan itu. Pasca itu ada kejadian dramatis. Untung saja saya memilih kos. Pas tinggal terpisah dengan orang tua itu lah saya perlahan-lahan bisa menerima kalau keluarga kami sudah hancur.

    Sayangnya ibu saya 6 tahun berjalan ini belum bisa menerima hal itu. Sehingga bahasan-bahasan itu saja yang selalu keluar dari mulutnya. Dan setiap uang yang didapatkan dari bapak saya sedikit, selalu dituduhkan lari ke selingkuhannya. Ya, walaupun memang saya pernah dengar bapak dan selingkuhannya telponan. Haha.

    Tapi, di sini saya sudah menerima itu. Pernah saya coba minta ibu untuk Nerima, tapi katanya bakalan sampai terbawa mati. Di situlah saya sudah bodoh amat dengan permasalahan mereka. Sebab tiap bertemu hanya bertengkar.

    Saya seringkali jadi lampiasan kemarahan ibu saya. Selain karena wataknya yang keras, juga ya begitu. Gak mau saya pergi jauh. Tapi teman-teman saya lebih tepatnya relasi saya selalu mendorong saya untuk mengeksplor dunia luar.

    Saya 4 tahun ke belakang ini jadi takut akan dunia. Namun kondisi mental saya akhir-akhir ini lebih memburuk, dan saya putuskan untuk meluapkannya dengan cara saya, seperti self-talk, menangis, marah-marah di medsos rahasia, nulis diary, nulis di tembok kamar, dengerin podcast mental health atau cari video TikTok yang komentar netizennya selalu memberikan virtual hug. Itu cukup menenangkan saya.

    Dan ada kalanya keinginan bangkit dari zona toksik ini, seperti menata hidup kembali, tetap dikomentari yang gak nyambung.

    Persoalan dengan bapak saya, sudah tidak saya lihat sebagai imajinasi bapak yang baik. Apalagi akhir-akhir ini beliau sakit-sakitan dan saya sih wajar aja. Kadang masih perhatian juga, sebab ibu saya cuma bisa marah-marah walau ya tetap diobati. Efeknya kadang kalau bapak merasa badannya gak enak atau ada masalah di tempat kerja, lebih terbuka ke saya daripada ibu saya.

    Sedangkan untuk ibu saya, saya tidak tahu harus bersikap seperti apa. Sudah saya suruh nerima, tapi bertekad mendendam sampai mati.

    Tetangga saya pun selalu bersimpati penuh kepada ibu saya. Sehingga bila saya keluar agak lama, orang sekampung saya sudah mencari, katanya saya gak kasihan sama ibu saya.

    Di titik ini, saya malas keluar dari kamar, karena setidaknya kamar adalah secuil rumah itu sendiri. Saya pingin tumbuh dan itu pun harus diam-diam dalam kamar. Saya masih berjuang dengan cara itu. Karena saya memutuskan mau hidup, setelah suicidal thoughts sempat melanda.

    Lebaran kemarin pun sama saja sejak pertama kali keluarga kami broken home. Bapak saya selalu pergi dan tidak terlalu mau bertemu dengan orang-orang. Awalnya dulu saat sekolah saya sependapat sama ibu saya, karena bapak saya malu dengan tetangga. Tapi setelah 6 tahun ini, saya pun risih dengan drama yang ada. Tetangga mencari bapak yang pergi, ibu saya menjawab sekenanya, direspon cuma yang sabar dan geraman sejenak disertai pesan saya jangan meninggalkan ibu saya. Sayangnya di lebaran kemarin, saya sudah malas menghadapi drama seperti itu. Setelah beberapa tetangga berkunjung, saya memutuskan masuk kamar, mengurung diri dan menangis, yang hanya bilang saya ke kamar karena mengantuk. Bagi saya, lebaran tidak ada maknanya. Dan saya lelah, memasang topeng bahagia.

    Sekian.

    Terima kasih atas artikel penguatnya, kakak. Terima kasih telah menyediakan ruang cerita ini.

    ReplyDelete
  39. Tugas kita banyak ya, memutus rantai generasi sandwich, memutus rantai kepo kapan nikah punya anak dll serta memutus rantai supaya nggak jadi toxic parent karena ortu bukan dana darurat dan anak bukan dana pensiun, kita harus bisa lebih baik lagi aamiin

    ReplyDelete
  40. Memaafkan? Aku saja tidak bisa memaafkan diri sendiri. Menerima apa adanya? Aku saja tidak bisa menerima diri ini sendiri apa adanya. Setiap ingin berusaha, selalu dipatahkan oleh ortu sendiri. Aku bingung... aku tau aku sudah di tahap butuh bantuan psikologi. Tapi di lingkungan terdekat ku tidak percaya tugas atau kebutuhan ke psikologi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. pergi sendiri. selamatkan diri sendiri. tidak perlu menunggu orang lain.
      kalau memungkinkan untuk bisa pergi dari rumah, pergi saja.

      Delete
    2. aku juga ingin pisah rumah/keluar dari rumah, aku ingin punya kehidupanku sendiri

      Delete
  41. Gimana ya solusinya mengahadapi toxic parent? Saya memiliki ibu yg pilih kasih. Saya tujuh bersaudara. Sejak anak2 kecil, ibu sdh mengotak-kotakan anak2nya yg dianggap unggul dan tidak. Bahkan ibu saya punya anak emas perempuan dan anak emas laki2. Buat saya ga masalah ibu punya anak emas asalkan tidak sering mengumbar-umbar sumpah serapah ke anak2nya yg tidak diunggulkan. Berbuat salah sedikit, langsung tersinggung dan ujung2nya keluar sumpah dr mulutnya. Sering mengadu domba anak yg satu dg yg lain. Dan saat ini kami semua sdh menikah dan memiliki rmh masing2. Ibu sering mempermasalahkan kalau ada di antara kami yg tidak memberinya jatah bulanan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nggak ada solusi lain selain minta Allah untuk melembutkan hati beliau dan anon sendiri. Allah yang punya hati kalian. Allah yang bisa bantu kamu untuk bisa memaafkan dan menerima beliau. Allah juga yang mampu merubah beliau.

      Delete
  42. Kadang ngerasa kalo ngelawan salah. Tapi kalo diem aja depresi :v. Blm lagi bullyan dari temen temen sekolah yang bikin kena mantal. Rumah dan orang tua yang seharusnya menjadi tempat untuk menenangkan diri dari masalah di luar sana justru sama kacaunya seperti neraka :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. sabar ya...
      kamu nggak sendiri kok. kalau nggak ada manusia yang bikin hatimu tenang dan nyamman, masih ada Allah yang kamu punya

      Delete
  43. saya sudah menikah dan tinggal seatap dengan orangtua,karena anak saya yang merawat adalah ibu saya ketika saya bekerja..
    banyak omongan dan perlakuan dari ibu saya yang membuat hati saya sakit..
    perlakuan antara saya dan adik saya sangat berbanding terbali..
    apapun yang dilakukan adik saya dianggap benar..
    sedang apapun yg saya lakukan jika ada salah sedikit,langsung keluar omongan yang menyayat hati..
    saya rasa mental saya semakin tidak sehat di rumah,ingin rasanya pindah tapi terkendala pandemi>>
    saat ini keinginan saya hanyalah pisah dari orang tua..
    rasanya perlakuan ibu saya kepada saya sudah tidak bisa dirubah..
    memang jalan terbaik adalah pisah dari orangtua..

    andai ibu saya tau, andai ibu saya memberikan kesempatan saya untuk berbicara,saya mau bilang
    "bu..aku udah ngga kuat,ibu ngerasa nggak kalo perlakuan ibu ke aku sama ke adek beda,,ibu ngersa nggak kalo semua yang ibu katakan selama ini menyakiti hatiku,,aku tau ak di rumah ini sudah ngga ada hak hiidup,aku tau ibu sekarang nganggap ak numpang di rumah,tapi semua yang dilakukan ibu ke aku itu rasana sakit bu..semua udah ak lakuin,beres beres rumah sampe pekerjaan berat berat semua ak yang lakuin,tapi kenapa ibu jahat banget sama aku,,sabarlah sedikit bu..tunggu pandemi selesai dan aku menemukan tempat penitipan untuk cucumu,,akubakal keluar dari rumah ibu"

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga selalu diberikan kekuatan keikhlasan dan kemudahan ya mba Aamiin

      Delete
    2. semangat mbak. konflik sama orang tua, apalagi ibu sendiri itu emang nggak enak banget.

      semoga Allah mudahkan mbak biar bisa tinggal di rumah sendiri ya. aamiin

      Delete
  44. hai ka, aku mau sharing. sekarang umur aku 19 tahun dan 19 tahun aku hidup bersama ortu yang mnrt ku toxic. setiap aku membuat kesalahan selalu mendapatkan perilakuan fisik kepada ku, entah melempar gelas kaca ke kepala, kursi besi ke badan ku dll. pekerjaan rumah sudah aku pegang 100 persen. tp dr aku kecil sampai skrng pekerjaanku, hasilku, penghargaanku ga pernah di hargai. aku capek ka, aku gatau harus gmn lg. sering sekali aku ingin self harm, sering bgt terlintas buat bundir. perlakuan ortuku hanya ke aku saja ka. aku seharusnya ngekost untuk kuliah tp sedang ada pandemic. aku udh sering nyemangatin diri aku sendiri, tp skrng aku capek sekali ka, gatau sampe kapan aku bisa bertahan. terimakasi ka udh baca sharing aku.

    ReplyDelete
    Replies
    1. kalau capek, coba tarik napas dalam-dalam, tenangkan diri.

      kamu boleh nangis kalau kamu mau.

      banyakin istighfar sama minta kekuatan ke Allah. kamu akan bisa bertahan melalui semuanya karna Allah, bukan kalimat penyemangat dari aku atau siapapun itu.

      Delete
  45. Saya mengalami tumbuh di bawah kendali toxic parent, yaitu ibu saya sendiri. Pas kecil sampe SMA,saya merasa beruntung punya sosok ibu karena ibu saya seimbang antara dunia dan akhirat. Kalo minta saran udah kayak teman. Cuman, makin ke sini, apalagi pas pemilu dan pandemi, ibu saya keliatan menampilkan sifat aslinya yg toxic. Ibu saya gak percaya vaksin, saya sudah nasihatkan, sudah saya carikan lokasi vaksinasi dan saya ingin temani, tetapi beliau menolak. Di satu sisi, beliau pengen umroh. Cuman kan kalo mau umroh mesti vaksin dulu. Lalu, ibu saya pernah kena covid sampe masuk RS, kemudian Allah kasih sembuh. Harusnya mah kalo bersyukur, ibu saya jaga kesehatan dengan cara vaksin karena sudah diwanti wanti oleh dokter kalo kena lagi bisa lebih parah. Sudah disindir juga oleh perawat kenapa ibu saya tidak mau vaksin, padahal dia adalah seorang muballigh/guru ngaji. Puncaknya, saya nasihatin kalo gak vaksin, nanti bisa ketahuan teman temannya yg sudah vaksin, lalu dijauhi. Saya malah dilempar gelas beling. Punggung saya hampir kena, tapi alhamdulillah masih selamat. Ibu saya menganggap kalo saya doakan dia mati, makanya dia lempar gelas biar saya aja yg sekalian mati. Padahal, siapa sih anak yg mendoakan orang tuanya mati? Gak ada. Saya hanya bilang kalo belum divaksin, nanti bisa dijauhi jamaah. Trs, hati2 dengan segala omongan nyinyir ttg pandemi, karena khawatir kena batunya. Saya hanya mengingatkan, tapi ibu saya translate di otaknya kalo saya mendoakan dia gak ada. Gak sama sekali. Semenjak itu, saya jadi ketakutan buat speak up bahkan memutuskan untuk berobat ke psikiater karena kesehatan mental saya terganggu

    ReplyDelete
    Replies
    1. mungkin, ibu mbak berubah karna dia pun tertekan dengan banyak hal. bisa jadi, beliau pun takut ini itu, bahkan takut vaksin. tappi, dia nggak bisa speak up.

      ketakutannya, banyk orang yang push dia juga, akhirnya bikin ibu mbak berubah jadi sulit mengontrol diri.

      aku tahu, di mbak juga jadinya gak mudah, apalagi mbak sampai butuh penanganan profesional, tapi mungkin mbak bisa lihat dari sisi lain untuk bisa memperbesar legowo dengan kondisi mbak saat ini.

      Delete
  46. Sejak bayi saya dibesarkan oleh org tua angkat (tante om sendiri dr pihak bapak) aq menyadari mereka sangat toxic setelah usiaku 35th, sbnrnya sejak kecil aq sdh merasakannya, ketidaknyamanan hidupku bersama mereka, tp mau gman, pasrah kran mereka adl orang tuaku, sampai ketika usiaku 14 th aq sampai berdoa minta jodoh supaya bsok aq bisa cepat menikah dan meninggalkan kehidupanku.. lucu memang (br aku tahu, aku berdoa begitu krna aq selalu tertekan dr kecil) aku menikah muda alhamdulillah suamiku baik sekali dng semua keadaanku. Singkat cerita, dr awal pernikahan orang tua angkatku itu sllu mengatur hidupku, apalagi ttg keuangan kami, mau beli rumah ga boleh, dimaki2 tp malah disuruh beli mobil, 1th kemudian mobil diauruh jual ntk beli mobil baru patungan yg lbh bagus, sampai akhirnya 15th pernikahanku kami jual rumah(rumah kami sendiri bukan warisan) uang diminta dipakai beli rumah di daerah asal ibu angkatku notebene jauh dr tempat kami tinggal sekarang, akhirnya 2 th kami tinggal bareng dan akhirnya kami diusir dan mau ga mau kami beli rumah lagi meskipun dng sangat berat jg secara finansial. Saat ini kami masih terua berjuang, doakan ya teman2 saya dan suami selalu bersatu padu, anak2 sehat, kami ikhlas dan diberikan kemudahan Aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. masya Allah mbaak...

      semangat ya mbak. semoga Allah mudahkan semua urusan mbak.

      btw, mbak nggak harus nuruti semua mau mereka lho. mbak juga punya hak untuk memilih mau apa dan gimana. sampaikan baik-baik keputusan mbak dan suami.

      kalau nggak berhassil, ya udah. biarin aja mau ngomong apa, tutup kuping aja, lama-lama juga capek

      Delete
  47. Hai kak. Aku mau cerita sekaligus tanya pendapat kalian.
    Jadi aku anak pertama adeku 3 kita cewe semua. Dlu memang ayah kerja enak keuangan terjamin. Tpi semenjak anak ke 4 lahir mulai ada masalah keuangan. Dan aku dri lulus SD sampai lulus SMA gak pernah diajak diskusi masalah nerusin sekolah dimana. Jadi aku terima beres masuk sekolah yg daftarin ayah.
    Beberapa bulan sebelum lulus SMA aku sadar klo gak mungkin kuliah karena biaya. Tpi gak pernah ada omongan dri ortu. Sampai pengumuman lulus 100% baru aku tanya ke ortu dan mereka baru bilang aku gak kuliah, aku dibukakan usaha konter pulsa. Tpi itu yg pegang ayah ku, aku cuma jaga toko aja. Beberapa bulan aku mulai bosan karena untungnya gak keliatan dan aku jga harus ngelakuin pekerjaan rumah karena emang konternya di teras rumah aja. Aku cape aku mutusin kerja di luar setiap dapat info loker harus sesuai kriteria ortu,yg buat susah dapat kerja. Akhirnya aku kerja dan dapat gaji hasil kerja ku. Tpi itu semua diminta ortu, bukan aku yg ngasi ikhlas tpi ortu yg minta buat bayar cicilan. Aku ikhlasin dan ngalah saat aku ingin sesuatu.
    Terus mendadak disuruh berhenti kerja dengan alasan ada tawaran kerja kantor dri keluarga. Tpi ternyata ga jalan usahanya dan aku nganggur 6 bulan. Aku udah nyari kerja tpi gak pernah di iyakan, selalu bilang ita nanti, nanti tunggu ayah, nanti aja. Akhirnya aku putusin kabur dri rumah. Terus Tinggal di rumah kakek selama sebulan aku jga kerja ala kadarnya.

    ReplyDelete
  48. capeee bgt rasanya pnya ibu yg toxic...capeeee..capeeee..lelaaahhh tp ak harus bangkit utk keluarga kecilku, ak hrs sehat, kuat..ada suami dan anak2 yg membutuhkanku..

    ReplyDelete
    Replies
    1. semangat ya, I feel the same. harus kuat dan tetep waras.

      Delete
  49. MasyaAllah..taun 2022 bru baca ini dan semuanya ngeuna bgt..ibu sy releate syeukalee begini..semuamuanya..makasih yaa mbak..kadang sy sbgai anak perempuan prtma down bgt ngadepin toxic mama..untung ada bpk yg selalu nguatin dan emang ngambil jarak itu alias gk serumah efektif bgt buat sy..

    ReplyDelete
  50. wah, sangat membantu kondisiku saat ini, aku merasakan setiap point yang mba bahas. saat ini sedang berusaha untuk tetap tenang mengahadapi toxic parent. capek banget, bener2 gak nyaman ada dirumah pengen pisah rumah tapi keadaan yang belum mendukung. beberapa kali samapai lepas control, jadi saling menyakiti. terlalu capek dicampuri setiap urusan dan selalu ingin di nomor satukan bahkan dalam urusan pribadi anak, menuntut hak, menuntut imbalan, berasa yang ,mereka berikan itu jadi gak tulus. bener kata mba kita gak bisa merubah ortu dan mereka gak bsa tiba-tiba berubah. aku berharap mereka bisa memahami bahwa anak punya hak atas hidupnya, punya hak untuk memilih mana yang terbaik untuknya dan pilihan mana yang ingin dijalaninya. bismillah semoga aku dan ortuku bisa menjadi lebih baik. Aamiin.

    ReplyDelete
  51. rumah adalah tempat tidur, rumah sangat tidak nyaman untuk ditinggali. saat lelah dan ingin pulang rumah bukan tempat yang dituju. lalu kemana aku harus pergi?

    ReplyDelete