Apr 25, 2018
Perempuan dan Pendidikan
Ada hal menarik yang saya temukan saat mencari gambar Fatimah Al Fihri, seorang cendikiawan muslim yang mendirikan universitas Islam pertama di dunia.
Gambar tersebut membandingkan bagaimana nasib perempuan dengan aturan Barat dan aturan Islam dengan perbedaan yang amat besar. Gambar tersebut yang kemudian bikin saya jadi pingin kepo-kepo lagi tentang sejarah perempuan pada tahun 1800-an.
sumber: pinterest |
Tahun 1800-an bisa dibilang adalah tahun-tahun penuh perjuangan para perempuan di Barat untuk memperoleh hak pendidikan yang sama dengan laki-laki. Sekolah-sekolah yang ada hanya dikhususan untuk para lelaki saja. Sedangkan jika perempuan yang nekat untuk sekolah akan dipandang rendah oleh masyarakat.
Perempuan tak diizinkan memperoleh pendidikan karena perannya di dalam rumah. Mereka diminta untuk mengurus semua keperluan keluarga, membesarkan anak-anak mereka, serta melayani suami. Perempuan bertanggung jawab untuk memberikan pelajaran aturan kehidupan kepada anak-anak mereka.
Seiring berjalannya waktu, kesadaran pentingnya pendidikan pada kaum peremuan pun muncul. Para perempuan kemudian berjuang keras untuk mendapatkan pendidikan yang layak agar mampu membesarkan anak-anak mereka dengan pengetahuan. Dari perjuangan itulah sekolah-sekolah khusus perempuan itu muncul.
Jauh sebelum perempuan Barat mendapatkan edukasi dan sekolah putrinya. Di masa Khilafah, kita mengenal sosok Fatimah Al-Fihri dan perannya dalam dunia pendidikan. Fatimah Al-Fihri adalah seorang puteri dari keluarga bangsawan yang amat kaya. Ayah Fatimah adalah Muhammad Al-Fihri, seorang pengusaha sukses di kota Tunisia yang kemudian bermigrasi ke Fes, Maroko. Keluarga Al-Fihri meskipun kaya raya, tapi tidak sombong. Mereka justru memiliki jiwa sosial yang tinggi.
Fatimah memiliki saudara perempuan bernama Maryam. Keduanya adalah puteri-puteri yang shalihah dan berpendidikan. Kecintaan mereka pada ilmu agama Islam dan sains yang menjadikan mereka perempuan-perempuan yang terus menerus mengkaji serta memperdalam pengetahuan mereka.
Setelah melakukan perjalanan dengan ayah mereka dan menetap di distrik barat kota Fes, Maroko, Fatimah dan Maryam membentuk komunitas studi untuk memajukan masyarakat di kota tersebut. Mereka bergaul dengan masyarakat tanpa mengenal kelas sosial. Mereka sadar bahwa pusat-pusat studi keagamaan haruslah ada untuk menjaga pengetahuan Islam dan mengembangkan masyarakat intelektual. Untuk mewujudkan hal itu, mereka rela untuk menyumbangkan kekayaan merekan untuk pembangunan pusat studi.
Maryam memutuskan untuk memberikan sebagian warisannya untuk membangun masjid Agung Al-Andalus. Sedangkan Fatimah membangun masjid yang diberi nama Al-Qarawiyyah pada tahun 859. Masjid ini sekaligus madrasah yang telah memainkan peran besar dalam menyebarkan pengetahuan dalam peradaban Islam. Madrasah tersebut kemudian berkembang menjadi universitas yang menjadi pusat penting pendidikan pada abad ke-12. Universitas itu pun merupakan universitas Islam dan paling bergengsi pertama di dunia.
Universitas Al-Qarawiyyin (sumber: islamindonesia.id) |
Guiness Book of World Records telah mencatat kampus ini sebagai kampus tertua di dunia. Ilmuwan-ilmuwan terkemuka pun sudah banyak dihasilkan oleh universitas ini, diantaranya Ibn Rushayd Al-Sabti, Mohammed Ibn Al-Hajj Al-Abdari Al-Fasi, Abu Imran Al-Fasi, Allal Al-Fasi, Leo Africanus, dan masih banyak tokoh-tokoh lain.
Kisah Fatimah dan Maryam Al Fihri hanyalah salah satu dari sekian banyak cendikiawan-cendikiawan muslim dalam masa keemasan Islam. Mereka ada dengan semangat untuk menjalankan kehidupan Islam yang kaffah. Pendidikan untuk perempuan dibuka lebar untuk mengupgrade pengetahuan perempuan yang tentu akan sangat amat dibutuhkan dalam menjalankan perannya, baik peran dimestik sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, maupun perannya di dalam masyarakat.
Begitulah keindahan Islam ketika dia mengatur dan memimpin peradaban manusia. Semuanya diberikan hak sesuai dengan porsi masing-masing. Namun tetap diberikan kemudahan untuk menjalankan kewajiban masing-masing. Negara punya fungsi tidak hanya sebagai penyalur tapi sebagai pengayom sekaligus pelindung bagi masyarakat. Kesejahteraan dijamin, akses pendidikan diberikan secara gratis, pun demikian dengan jaminan kesehatan.
Peradaban Islam dengan aturan-aturan Allah yang ditegakkan di bumi, tidak hanya mampu menghasilkan individu yang shalih dan shalihah, pun juga cendikiawan muslim yang menghasilkan karya-karya yangg sungguh luar biasa untuk umat manusia.
Surabaya, 25 April 2018
Ⓒlellyfitriana
Surabaya, 25 April 2018
Ⓒlellyfitriana
Apr 23, 2018
Miras Lagi, Miras Lagi
"Mbak... Mbak.. Mbak.. Lihat deh. Wuiiih... botol mirasnya banyak banget," panggil Ibu ketika melihat berita tentang miras yang tengah dihancurkan oleh pihak kepolisian.
"Iya, wajar. Mau Ramadhan," jawab saya.
Sore itu kami sedang santai menikmati tayangan tentang pengungkapan produsen miras di Kota Bandung. Dalam tayangan tersebut, lokasi pembuatan miras oplosan diungkap.
"Itu ya Mbak, kalau gazeboonya dibuka akan muncul ruang rahasia di bawah tanah," cerita ibu antusias.
"Kok Ibuk tau?"
"Iya, soalnya Ibuk udah nonton."
Kemudian ibu heboh sendiri menunjukkan bagaimana bungker pembuatan miras oplosan itu dibuka. Sebuah gazeboo berukuran cukup besar digeser dengan mudahnya. Kemudian dia menunjukkan tangga menuju ruang bawah tanah. Ini persis seperti yang ada di film-film action. Saya sendiri cukup terpukau dengan bungker bawah tanah yang di area pekarangan rumah pemilik pabrik miras oplosan itu. Sisa-sisa kerdus untuk menyimpan dan mendistribusikan miras oplosan itu maaih nampak di dalam bungker. Berbagai jenis miras oplosan yang dijual dengan aneka kemasan. Ada yang dikemas dalam botol plastik air mineral, ada yang dikemas dalam jurigen-jurigen, pun ada yang dikemas dalam kemasan plastik seperti kemasan es yang biasa dijual pedagang kaki lima.
sumber: kompas.tv |
Perda telah dihadirkan untuk meminimalisir beredarnya miras oplosan. Segala macam bentuk operasi untuk meminimalisir miras pun sudah dilakukan. Nyawa yang terus melayang akibat miras oplosan juga terus ada. Belum lagi dampak lain yang ditimbulkan dari minum-minuman keras ini. Tapi kenapa ya miras-miras ini masih saja menjamur?
Jawabannya sebenarnya sederhana. Karena pabrik miras masih ada di negeri ini. Selama pabrik miras ini masih ada dan tetap memproduksi miras, maka botol-botol mihol pun akan terus mengalir dan tersebar ke seluruh penjuru negeri. Harga yang tak mampu dijangkau oleh pecandu kelas menengah ke bawah pun memunculkan ide-ide penjualan hingga produksi miras oplosan. Maksud hati sih, mewadahi yang tidak mampu beli. Tapi yang terjadi malah justru membunuh peminumnya.
Penutupan pabrik miras yang selama ini ada hanyalah pabrik-pabrik kecil semacam bungker di bawah gazeboo tadi saja. Sedangkan produsen yang lebih besar lagi dibiarkan terus beroperasi.
Akhirnya, kita bisa sama-sama mempertanyakannya.
Kenapa sumber masalah itu tidak dicabut saja badan hukumnya? Kenapa tidak ditutup saja? Bukankah Islam telah mengahramkan peredarannya?
Lalu, siapa yang bisa melakukannya?
Tentu ini adalah tanggung jawab negara. Sayangnya, peredaran miras yang legal masih menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang tentu akan terus dipertahankan. Seakan tak peduli dengan dampak yang ditimbulkan oleh miras.
Begitulah bagaimana sistem kapitalisme bekerja. Semua akan diukur berdasarkan mana yang mampu menghasilkan uang dalam jumlah besar. Produsen kelas teri. Tangkap! Produsen kelas kakap. Legalkan! Aneh.
Kasus miras tidak akan pernah bisa diselesaikan secara tuntas bila semua masalah masih diselesaikan dengan cara kapitalis. Sudut pandang penyelesaian masalah pun perlu diubah dalam kacamata syariat. Selanjutnya, bukan ormas atau individu yang berhak untuk memberangus peredaran miras ini. Tapi negara. Sudah sangat jelas bila negara ingin solusi tuntas mengenai hal ini, tentu harus sistem Islam yang diterapkan, bukan yang lain.
Surabaya, 23 April 2018
©lellyfitriana
Apr 22, 2018
Dilema Nikah Muda dan Seks Bebas
"Ya Allah, Mbak, kemarin itu lho ada anak SMP di berita yang ngotot minta dinikahkan. Alasannya juga aneh, cuma karena takut tidur sendiri," begitulah curhatan Ibuk ke saya semalam.
"Kan mereka nikah juga gak papa, Bu?" tanya saya.
"Tapi kalau misal mereka nikah cuma karna kepingin aja lho, itu kan ya nanti malah jadi masalah sendiri, Mbak. Itu anak istrinya mau dikasih makan apa? Jangan-jangn setelah menikah malah jadi beban orang tuanya. Kan yo malah nambah masalah kalau seperti itu," jawab Ibuk.
"Cuman repot ya, kalau gak dinikahkan malah terjerumus ke pergaulan bebas. Akhirnya ngeseks," tambah Ibuk.
Ibuk baper sendiri dengan remaja zaman now yang isi kepalanya kalau gak nikah ya seks.
"Masa sih, Bu?" tanya saya.
Kemudian Ibuk bercerita bagaimana murid-muridnya yang masih duduk di bangku SMP sudah mencicipi pacarnya. Ciuman di dalam kelas, bekas bibir di leher, pelajar yang kecanduan seks dari SD dulu, hingga kasus hamil di luar nikah. Ngeri.
Tapi begitulah fakta tentang pergaulan remaja hari ini. Mereka terlalu berani dan bebas bergaul tanpa mengenal dan melihat batasan norma-norma yanb ada. Isi kepala mereka juga penuh dengan urusan pacaran, galau, gak mau jomblo, sampai kepingin nikah saja. Alih-alih memikirkan kontribusi apa yang bisa dia lakukan, malah memikirkan dinner romantis apa yang bisa dilakukan dengan pacarnya. Liburan romantis seperti apa yang bisa mereka rancang berdua.
Bila isi kepala mereka hanya dipenuhi oleh hal-hal semacam itu. Sibuk dengan bergaul sana-sana. Sibuk pesta sana-sini. Sibuk kongkow-kongkow sana-sini. Bisa dibayangkan bagaimana nasib generasi yang akan datang bila calon orang tuanya saja begitu.
Seperti yang ibu saya sampaikan pula, pernikahan pun tak mampu menjadi satu-satunya solusi di tengah-tengah muda-mudi zaman sekarang. Seks edukasi di sekolah-sekolah menengah pun tidak cukup. Saya jadi ingat celetuk guru SMA saya ketika mengetahui salah satu teman satu SMA saya hamil di luar nikah.
"Makanya, pelajaran reproduksi itu jangan diajarin di kelas 2. Jadinya ya begitu itu, kelas 3 dipraktikkan."
Pernikahan memang sebuah solusi yang ditawarkan Islam untuk meminimalisir pergaulan bebas. Tapi solusi ini juga akan menjadi tidak tepat jika hanya disodorkan begitu saja tanpa ada edukasi lebih mengenai persiapan menjalani kehidupan berumah tangga. Betapa banyak muda-mudi yang menikah muda tanpa ilmu kemudian mengakhiri pernikahannya pada usia pernikahan yang baru seumur jagung?
"Mencintai itu butuh ilmu. Menikah pun demikian."Sebelum memutuskan untuk menikah, calon pasangan harus sepakat tentang visi misi rumah tangga yang akan dibangun nanti akan dibawa kemana. Bagaimana bila nanti punya anak, akan diasuh bagaimana. Hak dan kewajiban suami dan istri, apakah masing-masing sudah memahami? Ilmu komunikasi antara suami dan istri sudah kah mempersiapkannya?
"Banyak ya yang harus dilakukan?"
Iya banget. Makanya harus serius mempersiapkannya.
"Oke, Lel. Aku masih belum siap. Terus harus apa nih?"
Puasalah. Begitulah yang dianjurkan Rasulullah kepada mereka yang belum siap menikah.
Banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengendalikan segala gejolak yang muncul di dalam dada teesebut. Bisa dengan fokus pada prestasi di sekolah/kampus/tempat kerja. Atau bisa juga memfokuskan diri dengan ibadah. Menambah hafalan Quran. Rajin-rajin mengkaji Al Quran. Berdakwah. Semua itu adalah pilihan yang bisa dipilih untuk mengalihkan semuanya.
Target hafalan, atau pemahaman untuk objek dakwah yang akan memicu kita untuk lebih banyak berjuang hingga dengan virus merah jambu tadi.
Perjalanan menuju Sidoarjo, 22 April 2018
©lellyfitriana
Apr 21, 2018
Mencabut Masalah Hingga ke Akar
Saya diam. Saya memilih mendengarkan teman saya yang berapi-api dengan masalah yang pernah dia hadapi.
"Kamu gak bisa dong bilang ini riba, haram. Lalu kamu gak ngasih solusi buat orang-orang yang butuh duit untuk berjuang bersama penyakitnya atau butuh yang lain dengan dana besar," lanjutnya.
Saya akui bahwa saya memang tidak pernah mengalami hal serupa. Saya juga bukan anak yang lahir dari keluarga miskin yang harus berjuang begitu keras hanya untuk mencari sesuap nasi. Alhamdulillah, Allah memberikan saya penghidupan yang jauh lebih layak dibanding saudara-saudara kita yang kurang beruntung. Itu sebabnya saya memilih untuk diam dan mendengarkan, hingga dia selesai bercerita.
Memori saya lompat pada obrolan saya dengan teman saya yang lain. Ibunya pernah sakit parah yang mengharuskan Beliau dirawat inap dan operasi. Biaya yang dikeluarkan sangat amat besar. Tabungan yang dia dan suaminya miliki telah habis digunakan untuk pengobatan Ibunya.
"75 juta. Malam itu saya harus bisa membayar biaya operasi ibu saya agar Beliau segera ditindak. Sementara saya dan suami benar-benar tidak ada uang segitu. Suami saya yang luar biasa. Dalam kondisi seperti itu, dia masih tetap bersikukuh untuk tidak menggunakan sesuatu yang sifatnya ribawi."
"Terus gimana, Bu?"
"Ya bilang sama petugas rumah sakit. Kami gak punya uang segitu. Kami minta ibu kami dioperasi dengan jaminan BPKB motor. Waktu itu kami belum ada mobil, Bu. Itu rasanya gak masuk akal ya, Bu. Tapi alhamdulillah pihak rumah sakit mau menerima. Besoknya ibu saya dioperasi."
Oooo... Ternyata memang bisa kalau kita memang mau mengusahakan untuk tetap berpegang pada syariah. Begitulah yang ada pada benak saya. Maklum, selama ini sudah terlalu banyak input yang masuk ke kepala saya.
"Ini jamannya udah beda, gak mungkin lah kalau kita jadi orang yang sekaku itu sama halal haram."
Ya kan? Kalau tentang statement di atas. Saya rasa bukan saya saja yang mengalaminya. Tapi banyak.
Kita memang perlu sadar bahwa hari ini kita sedang hidup dalam kondisi yang amat sangat tidak ideal yang membuat kita untuk taat saja pada aturan Allah itu susahnya bukan main. Masalah biaya kesehatan yang besar sekali seperti contoh kasus di atas sering menjadikan orang putus asa, kemudian terpaksa mengambil jalan singkat. Riba.
Banyak cerita-cerita lain yang saya dengar dari rekan-rekan kerja saya. Ada yang terpaksa mengambil riba, kemudian setengan mati dia berjuang keras untuk segera lepas darinya. Ada yang benar-benar menghindari, mengambil alternatif lain. Ada juga yang tetap mengambilnya karna menganggap ya cuma itu caranya.
Semua orang tentu mengharapkan sebuah solusi. Siapa sih yang kepingin terjerat dosa besar? Siapa pun pasti tidak menginginkannya.
Cerita yang disampaikan teman saya yang kedua tadi adalah solusi untuk bisa tetap taat pada perintah Allah. Iya, cara tersebut memang bisa menyelesaikan masalah.
Cara lain seperti penggalangan dana bantuan kesehatan yang dilakukan individu atau pun lembaga sosial pun bisa dijadikan alternatif solusi singkat. Dan tidak ada yang salah dengan hal itu, bahkan akan menjadi amal jariyah yang akan memperberat timbangan amal mereka di akhirat nanti.
Tapi kita pun perlu memikirkan bagaimana cara keluar dari lingkaran masalah yang terus berulang. Jaminan kesehatan yang tidak bisa dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Sebuah lingkaran masalah yang mengharamkan orang miskin untuk sakit. Bagaimana ya lingkaran itu bisa diputus hingga kejadian yang serupa tak lagi berulang.
Bila kita bicara mengenai bagaimana agar mereka bisa mendapatkan penjaminan yang layak, tentu kita butuh tidak hanya peran dari individu atau lembaga masyarakat untuk menyelesaikannya. Kita butuh institusi yang lebih besar dan punya pengaruh yang jauh lebih besar, yaitu negara. Aturan Allah harus dikembalikan pada posisinya masing-masing untuk pengaturan rakyat. Bukan untuk ditawar, bukan untuk divoting, bukan untuk diperdebatkan di ranah dewan. Tapi untuk dilaksanakan tanpa tapi.
"Gimana caranya, Lel? Kita ini cuma remah-remah rengginang yang suaranya gak bakal ngefek di atas sana."
Memang. Kalau hanya saya yang bersuara, atau kamu saja yang berbicara. Sedangkan kita ini masih sama-sama anak kemarin sore ya memang gak bakal didengar. Tapi bagaimana bila aku, kamu, kita bersatu memperjuangkan hal yang sama?
Ingat aksi bela Islam yang sudah terjadi kan?
Tau bagaimana reaksi dan impact yang terjadi saat itu kan?
Kita bisa. Kita bisa bila terus menyampaikan kebenaran, memperjuangkan kebenaran bersama-sama. Saya saja gak akan bisa. Kita butuh berjuang sama-sama.
Perjalanan menuju Malang, 21 April 2018
©lellyfitriana
sumber gambar: pinterest
Apr 20, 2018
Pembinaan Masyarakat ala Rasulullah
"Kebangkitan masyarakat tidak dilihat dari seberapa kaya masyarakatnya, seberapa maju teknologinya, tapi dilihat dari bagaimana cara pandangnya terhadap seluruh permasalahan kehidupan."
***
Sumber : pinterest |
"Mereka yang ilmu agamanya banyak itu cuma bisa ngomongin teori aja. Pada dasarnya juga gak ngerti-ngerti banget gimana caranya nyelesaikan masalah orang-orang miskin itu."
Itu obrolan sore tadi dengan salah satu dosen senior yang mendadak ngajakin saya makan siang bareng. Beliau cerita kalau dari SMA sudah sering ketemu orang yang super miskin punya penyakit yang mematikan dengan vonis dokter yang seram-seram.
Itu obrolan sore tadi dengan salah satu dosen senior yang mendadak ngajakin saya makan siang bareng. Beliau cerita kalau dari SMA sudah sering ketemu orang yang super miskin punya penyakit yang mematikan dengan vonis dokter yang seram-seram.
"Kamu tau gak Lel, mereka itu orang-orang yang putus asa dengan hidupnya. Gak bisa kita cekokin Islam ke mereka kemudian mereka disuruh meninggalkan asuransi atau kredit. Hari ini, hal-hal macam gitu itu yang jadi satu-satunya solusi buat mereka."
Saya salut dengan perjuangan Beliau dalam membantu orang-orang miskin. Beliau benar-benar membina masyarakat menengah bawah agar memperoleh penghidupan masing-masing, mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
"Kalau kamu dakwah cuma nyampaikan ayat tanpa berusaha membina mereka. Itu omong kosong."
Begitulah kira-kira yang Beliau sampaikan pada saya sore itu. Pandangan semacam ini tidak hanya muncul dari satu dua orang saja. Tapi banyak. Mereka menganggap bahwa membina masyarakat artinya mengentaskan mereka dari masalah. Ya kemiskinan, ya kesehatan.
Beliau tau bahwa Islam pun menawarkan segala macam solusi mengenai masalah ekonomi. Permasalahannya adalah menurut Beliau itu gak konkret untuk menyelesaikan masalah mereka hari ini. Beliau sepakat dengan dakwah. Orang-orang semacam itu memang perlu untuk disentuh dakwah karna akan sangat amat berbahaya sekali. Misionaris datang membawa solusi bagi mereka. Doa dan bantuan.
Entah kenapa pikiran saya jadi menerawang kepada metode dakwah Rasulullah ketika membina para sahabat. Tak semua sahabat yang awal masuk Islam adalah golongan dari orang yang terpandang. Bahkan ada yang masih menjadi budak. Mereka kesulitan dalam sisi ekonomi, bahkan melebihi orang miskin hari ini. Tak hanya miskin, mereka bahkan tak punya hak atas diri mereka. Tapi kenapa mereka mau menjalankan syariat Islam secara kaffah? Kenapa mereka begitu taat dengan segala risalah yang disampaikan oleh Rasulullah?
Mereka miskin. Mereka dihimpit dengan segala macam persoalan hidup, tapi tak sedikit pun dalam benak mereka untuk mencicipi segala hal yang dilarang oleh Allah. Apa kuncinya?
Dakwah.
Begitulah Islam sampai pada mereka. Metode dakwah yang dilakukan Rasulullah tidak dengan membawa sembako kesana kemari tapi membangkitkan pemikiran masyarakat Mekkah pada saat itu. Landasan akidah dibangun dari proses pemikiran atas manusia, kehidupan, dan alam semesta. Tentang konsep ketauhitan, selayaknya Nabi Ibrahim yang menemukan Tuhan. Landasan akidah dibangun dengan begitu kokoh hingga yakin bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta sekaligus pengatur kehidupan. Selanjutnya, pelaksanaan hukum syara' dilaksanakan sebagai konsekuensi iman mereka.
Apakah masalah kemudian selesai ketika setiap individu taat sendiri? Tidak.
Kesulitan dialami oleh mereka ketika tidak ada institusi yang menaungi mereka. Sama halnya dengan hari ini.
Bagaimana caranya agar kita bisa benar-benar terbebas daei riba? Ya kebijakan pemerintah yang perlu diatur agar sesuai syariat.
Bagaimana caranya agar dana negara bisa mengkover seluruh biaya pendidikan dan kesehatan rakyat? Tentu sistem ekonomi Islam yang harus diterapkan. Pengelolaan sumber daya alam harus dikelola oleh negara secara utuh kemudian dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pendidikan dan kesehatan gratis.
Sistem ekonomi Islam pun tak akan bisa berjalan tanpa sistem politik Islam. Dan semua itu hanya akan bisa terlaksana bila ada sebuah institusi yang mau menjalankan seluruh syariat Islam secara sempurna, yaitu Khilafah.
Surabaya, 20 April 2018
©lellyfitriana
Tanpa Manual Book
Ada cerita dibalik calculator scientific dan mahasiswa. Jadi mahasiswa teknik tentu sadar bahwa memiliki calculator scientific itu semacam tools wajib setelah laptop. Banyak hitungan matematis dari tugas-tugas yang diberikan dosen yang butuh dihitung dengan kalkulator ini untuk efisiensi waktu. Fitur yang diberikan oleh kalkulator semacam ini bervariasi. Semua tergantung dari tipe dan harga. Makin mahal, biasanya fitur hitung yang ditawarkan semakin kompleks lagi. Penyelesaian aljabar, trigonometri, integral, turunan, bilangan komplek, hingga matriks semuanya bisa saja diselesaikan oleh kalkulator ini.
Sayangnya, dari sekian banyak mahasiswa yang punya kalkulator semacam ini, tak semua bisa menggunakan seluruh fungsi-fungsinya dengan baik. Bahkan untuk menghitung bilangan kompleks saja, masih harus kasak kusuk di belakang. Bagaimana cara merubah dari polar ke rectangular atau sebaliknya mereka kesullitan
"Silahkan diselesaikan," begitulah saya meminta mahasiswa untuk maju ke depan menyelesaikan soal. Di depan mereka sudah ada kalkulator tentu saja. Saya pun sudah menjelaskan bagaimana cara menyelesaikannya. Intinya, mereka tinggal menghitung saja.
"Berapa hasilnya?"
Mereka masih menundukkan kepala, sibuk dengan kalkulator masing-masing. Berulang kali saya tanyakan hal serupa. Tapi jawaban tak kunjung terdengar dari mereka.
Kenapa?
Gatau caranya. Mereka berkutat dengan kalkulator mereka sendiri. Pencet ini itu, berharap pencerahan.
Padahal, solusinya mudah. Download manual book kalkulator seri yang dimiliki, baca caranya, ikuti.
Manusia sama halnya dengan kalkulator. Sesuatu yang diciptakan. Dia pun dilengkapi dengan manual book ketika release ke dunia, yaitu Al Quran. Sayangnya, tak semua mau menggunakan untuk menyelesaikan seluruh masalah hidupnya. Alih-alih menggunakan Al Quran, dia memilih coba-coba. Macam mahasiswa saya tadi yang mencoba pencet ini itu di kalkulatornya.
Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?
Makin pusinglah dia dengan ulahnya sendiri. Bingung. Resah. Galau.
Seperti mahasiswa saya yang resah dan gelisah ketika absen atau NRP nya sudah saya sebut untuk maju ke depan. Sedangkan solusinya belum dia dapati.
Manual book untuk barang ciptaan dilengkapi tidak hanya untuk pemanis kardus atau koleksi di rak buku. Dia ada untuk dibaca dan dijalankan isinya. Dia ada untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.
Maka, sudahi saja pencarian tanpa petunjuk. Baca manual book dari penciptanya, jalani.
"Baca Al Quranmu, terapkan dalam seluruh kehidupanmu."
Surabaya, 18 April 2018
©lellyfitriana
Subscribe to:
Posts (Atom)