Assalamu'alaikum!

Perkenalkan, nama saya Aprilely Ajeng Fitriana. Kalian bisa panggil saya Lelly. Saya lahir di Malang pada tanggal 22 April 1991. Saat ini, saya tinggal di Bogor bersama suami dan anak saya. Blog ini adalah tempat saya mencurahkan segala pemikiran saya dari berbagai peristiwa. Bagaimana saya menghadapinya dan apa saja hikmah yang saya peroleh.

Miras Lagi, Miras Lagi

Apr 23, 2018

"Mbak... Mbak.. Mbak.. Lihat deh. Wuiiih... botol mirasnya banyak banget," panggil Ibu ketika melihat berita tentang miras yang tengah dihancurkan oleh pihak kepolisian.
"Iya, wajar. Mau Ramadhan," jawab saya.

Sore itu kami sedang santai menikmati tayangan tentang pengungkapan produsen miras di Kota Bandung. Dalam tayangan tersebut, lokasi pembuatan miras oplosan diungkap. 

"Itu ya Mbak, kalau gazeboonya dibuka akan muncul ruang rahasia di bawah tanah," cerita ibu antusias.
"Kok Ibuk tau?"
"Iya, soalnya Ibuk udah nonton."

Kemudian ibu heboh sendiri menunjukkan bagaimana bungker pembuatan miras oplosan itu dibuka. Sebuah gazeboo berukuran cukup besar digeser dengan mudahnya. Kemudian dia menunjukkan tangga menuju ruang bawah tanah. Ini persis seperti yang ada di film-film action. Saya sendiri cukup terpukau dengan bungker bawah tanah yang di area pekarangan rumah pemilik pabrik miras oplosan itu. Sisa-sisa kerdus untuk menyimpan dan mendistribusikan miras oplosan itu maaih nampak di dalam bungker. Berbagai jenis miras oplosan yang dijual dengan aneka kemasan. Ada yang dikemas dalam botol plastik air mineral, ada yang dikemas dalam jurigen-jurigen, pun ada yang dikemas dalam kemasan plastik seperti kemasan es yang biasa dijual pedagang kaki lima.


sumber: kompas.tv


Perda telah dihadirkan untuk meminimalisir beredarnya miras oplosan. Segala macam bentuk operasi untuk meminimalisir miras pun sudah dilakukan. Nyawa yang terus melayang akibat miras oplosan juga terus ada. Belum lagi dampak lain yang ditimbulkan dari minum-minuman keras ini. Tapi kenapa ya miras-miras ini masih saja menjamur?

Jawabannya sebenarnya sederhana. Karena pabrik miras masih ada di negeri ini. Selama pabrik miras ini masih ada dan tetap memproduksi miras, maka botol-botol mihol pun akan terus mengalir dan tersebar ke seluruh penjuru negeri. Harga yang tak mampu dijangkau oleh pecandu kelas menengah ke bawah pun memunculkan ide-ide penjualan hingga produksi miras oplosan. Maksud hati sih, mewadahi yang tidak mampu beli. Tapi yang terjadi malah justru membunuh peminumnya.

Penutupan pabrik miras yang selama ini ada hanyalah pabrik-pabrik kecil semacam bungker di bawah gazeboo tadi saja. Sedangkan produsen yang lebih besar lagi dibiarkan terus beroperasi. 

Akhirnya, kita bisa sama-sama mempertanyakannya.

Kenapa sumber masalah itu tidak dicabut saja badan hukumnya? Kenapa tidak ditutup saja? Bukankah Islam telah mengahramkan peredarannya?

Lalu, siapa yang bisa melakukannya?

Tentu ini adalah tanggung jawab negara. Sayangnya, peredaran miras yang legal masih menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang tentu akan terus dipertahankan. Seakan tak peduli dengan dampak yang ditimbulkan oleh miras. 

Begitulah bagaimana sistem kapitalisme bekerja. Semua akan diukur berdasarkan mana yang mampu menghasilkan uang dalam jumlah besar. Produsen kelas teri. Tangkap! Produsen kelas kakap. Legalkan! Aneh.

Kasus miras tidak akan pernah bisa diselesaikan secara tuntas bila semua masalah masih diselesaikan dengan cara kapitalis. Sudut pandang penyelesaian masalah pun perlu diubah dalam kacamata syariat. Selanjutnya, bukan ormas atau individu yang berhak untuk memberangus peredaran miras ini. Tapi negara. Sudah sangat jelas bila negara ingin solusi tuntas mengenai hal ini, tentu harus sistem Islam yang diterapkan, bukan yang lain.



Surabaya, 23 April 2018

©lellyfitriana

Comments