Kalau pertanyaan semacam ini ditanyakan pada saya 10 tahun yang lalu, mungkin saya akan sangat bingung menjawabnya. Apa yang bisa saya banggakan dari menjadi seorang muslim? Apa yang membuat saya unggul dibanding memilih agama-agama yang lain?
Saya bingung karena saya sendiri belum mengenal Islam lebih dalam. Saya bingung menjawabnya karena saya sendiri menjalankan kewajiban juga masih ala kadarnya, bahkan cenderung lalai.
Virus Islamophobia
Dulu, saya belajar agama hanya sebatas sholat dan membaca Alquran. Saya bisa sholat, saya bisa mengaji. Tapi saya tak mampu menjadikan Alquran sebagai petunjuk hidup saya. Bagi saya saat itu, tak ada bedanya Alquran dengan buku-buku yang lain. Sekali lagi, karena saya tidak paham isinya.
Waktu SMA, isu pergerakan dakwah yang menyeramkan mulai terhembus. Banyak gerakan dakwah yang katanya siap mencuci otak orang-orang yang berinteraksi dengan mereka agar ikut ajaran yang mereka bawa. Katanya, ada sekelompok ekstrimis yang bahkan kalau kita sholat di masjid mereka, kita dianggap najis hingga harus mengepel seluruh lantai masjid.
Tahun 2009, ketika saya hendak hijrah ke Surabaya, orang tua saya berpesan agar saya berhati-hati dengan masjid kampus. Sebaiknya, tidak banyak interaksi dengan mereka.
"Kalau kamu nggak hati-hati, kamu bisa dicuci otak oleh mereka. Kita nggak pernah tahu di dalam masjid ada kelompok macam apa saja. Ada yang aman, ada yang nggak."
Sejujurnya, saya tidak paham apa yang orang tua saya maksud. Tapi pesan mereka semakin membuat saya menjauh dari masjid. Semua saya lakukan sebagai tindakan preventif.
Saya nggak bisa menyalahkan orang tua saya. Bagaimana pun juga isu semacam ini berhembus santer sekali. Media sosial yang meluruskan pandangan semacam ini juga nggak ada. Kami nerima semua berita itu bulat-bulat, tanpa punya kesempatan untuk tabayun.
Saya yakin, saya bukan satu-satunya orang yang merasa demikian. Ada jutaan muslim yang mungkin ngeri untuk memperdalam agamanya. Ngeri untuk mengenal lebih dalam agamanya. Ngeri untuk sepenuhnya menjadi taat.
"Jadi muslim yang biasa-biasa aja lah. Nggak usah yang terlalu kaku."
Dulu, saya mengamini ini. Saya percaya jadi ekstrimis itu hanya akan memperburuk citra Islam. Belum lagi pandangan-pandangan aneh mereka ketika menyikapi sesuatu. Ah, semua begitu tak masuk akal di benak saya.
Ta'aruf dengan Islam
Hingga negara api menyerang....
Nggak deng, bukan negara api. Tapi Allah bukakan pintu hidayah untuk saya. Allah lembutkan hati saya ketika mencuri dengar salah satu liqo' di mushola kampus.
Iya, itu adalah awal mula saya belajar Islam. Saya belajar untuk meyakini bahwa Allah itu ada. Allah yang menciptakan dan mengatur segalanya. Saya belajar bagaimana menjadikan Alquran sebagai petunjuk hidup saya. Memahami konsekuensi dari syahadat yang setiap kali sholat saya ucapkan.
اَشْهُدُ اَنْ لَا اِلهَ اِلَّا اللهُ
"Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah."
Mengenal Islam menjadikan diri saya tak lagi sama seperti dulu. Saya mulai merasakan nikmatnya hidup dalam Islam, meskipun saya belum siap untuk menjalankan semuanya secara utuh. Ada pergolakan batin yang besar yang saya alami kala itu sebelum saya berusaha menjalankannya secara menyeluruh.
"Kenapa ya mau jadi baik aja susah?"
"Kenapa ya mau taat aja susah banget?"
"Kenapa ya mau nurut Allah aja kok masih banyak tapi?"
Hijrah
Tidak selamanya proses belajar saya itu berjalan mulus. Ada masa di mana saya menyerah dengan semuanya dan memilih untuk menjadi pribadi yang sama. Saya pikir itu adalah pilihan terbaik untuk saya. Saya akan bahagia dan nyaman menjalani semuanya.
Ternyata saya salah.
Tahu dan tidak melaksanakan justru menjadi boomerang untuk saya. Ada aneka ragam perasaan yang berkecamuk terus menerus yang mendorong saya untuk taat. Tapi ya itu, sekali lagi hawa nafsu saya mengatakan jika saya belum siap. Saya belum cukup percaya diri.
Perjalanan hijrah secara serius pun saya jalani. Saya mulai mencari tahu Islam lebih dalam. Belajar dari satu guru ke guru yang lain. Mencari satu hal yang betul-betul memuaskan akal dan perasaan saya. Mencari satu kekuatan yang mampu mendorong saya untuk tak lagi menunda taat.
Nggak sebentar perjalanan yang saya tempuh hingga saya mau berubah setahap demi setahap. Aneka ragam ujian pun mulai datang dari kanan kiri saya. Tak jarang deraian air mata bercucuran karena tak tahan dengan apa yang mereka sampaikan. Tapi saya berhasil bertahan untuk tidak kembali ke masa lampau. Saya bertahan untuk terus memperbaiki diri.
Kenal Dulu Kalau Mau Sayang
Saya nggak pernah menyangka sebelumnya, jika saya bisa duduk di depan forum untuk menyampaikan Islam. Saya nggak pernah menyangka sebelumnya, jika saya bisa merindukan peradaban Islam kembali berjaya.
Hari ini ketika saya mendengar mereka yang takut dengan Islam, memandang Islam sebelah mata, menyudutkan Islam, bagi saya mereka begitu hanya karena mereka belum mengenal Islam. Ketika mereka kenal Islam lebih dalam, belajar Islam lebih dekat, bukan hanya katanya ini dan itu, saya yakin rasa sayang itu akan muncul.
Sama seperti rasa sayang di antara kita, ada ketika kenal satu sama lain.
with love,
Wowww, keren banget mbk. Sampai nggak bisa berkata-kata saya. Saya pun juga sedang mencari sesuatu yang bisa bikin saya nggak menunda taat.
ReplyDeleteMalu sendiri baca tulisan ini😞, tapi juga memotivasi saya buat memperbaiki diri
Makasih ya mbak😁😁
semoga segera menemukan ya mbak. coba aja dengerin kajian-kajian di youtube, terus kalau ada kajian terdekat bisa ikut. semoga daei sana muncul jalan.
Deletesama-sama mbak