“Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang jujur dan terpercaya: Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya diperut ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara: menetapkan rizkinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya. Demi Allah yang tidak ada Ilah selain-Nya, sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka. sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadist di atas merupakan proses penciptaan yang terjadi dalam perut ibu yang sedang mengandung. Bagaimana setetes mani yang hina kemudian berubah menjadi setetes darah, lalu berubah lagi menjadi segumpal daging. Setelah itu, di 40 hari ketiga, yaitu 120 hari, Allah tiupkan ruh ke dalam janin itu. Bukan hanya itu, segala ketetapan yang terjadi padanya pun telah Allah tuliskan di Lauhul Mahfudz.
Setelah tahu hadist ini, saya cuma bisa terkagum-kagum dengan kebesaran Allah setiap kali kontrol kandungan. Bagaimana mungkin janin yang belum bernyawa ini punya detak jantung dan mampu bergerak di dalam perut saya. Selama ini, saya hanya tahu bahwa makhluk yang tak bernyawa itu diam tak bergerak. Tapi ini tidak. Ruhnya saja masih belum melekat padanya, tapi semuanya itu terjadi.
Subhanallah...
Ustadz Adi Hidayat dalam salah satu tausiyahnya pernah berpesan kepada jama’ah, bahwa setelah usia kandungan 4 bulan, calon orang tua sudah harus betul-betul serius dalam menjaga segala macam hal yang memungkinkan masuk ke dalam diri janin. Makanan dijaga dari yang haram. Pendengaran juga dijaga dari sesuatu yang tidak baik. Kalau kita ingin anak kita dekat dengan Alquran, maka semasa hamil itu harus terus menerus diperdengarkan Alquran. Dari ibunya, dari ayahnya, bergantian. Kalau kondisinya tidak memungkinkan, maka perdengarkan murotal Quran. Setelah lahir pun demikian.
Hal menarik yang ternyata relate dengan ini adalah pendengaran bayi mulai berkembang sejak usia 18 minggu. Pada masa itu, janin sudah mulai bisa mendengar dan akan semakin sempurna, bahkan bisa mulai merespon pada usia 24 minggu.
Saat-saat seperti itulah yang sebetulnya menjadi masa terbaik bagi calon orang tua untuk mendidik anak dari janin. Kata Ustadzah Euis Sufi, pada masa ini justru enak-enaknya menanamkan segala macam nilai ke janin. Kenapa? Karena mereka nggak akan bisa nolak. Ini beda ceritanya ketika mereka sudah lahir. Ada distraksi sana-sini. Pengen main lah, inilah, itulah. Sedangkan janin? Dia tidak akan menolak input yang masuk dalam kepalanya.
Stimulus-stimulus yang dilakukan oleh ibu dalam rangka mendidik bayi ini, ternyata sangat amat membantu perkembangan otaknya. Makin banyak stimulus yang didapatkan, otaknya akan semakin diasah. Ketika dia lahir, maka mengajarnya juga akan menjadi jauh lebih mudah lagi.
“Itu kan setelah lewat 4 bulan. Kalau masih trimester pertama gimana nih?”
Bayi sudah bisa belum sih diajak ngobrol? Ssudah bisa belum sih dikasih stimulus tertentu? Ini mau diajarin apa nih? Itu yang mungkin ada di benak kita sebagai ibu yang baru aja hamil anak pertama. Bingung mau ngajarin apa dulu.
Well, kita nggak perlu galau sih sebenernya, karena Rasulullah sudah memberikan tuntunan untuk kita tiru. Pada usia kandungan 1-4 bulan, memang belum ada stimulus apa pun yang bisa kita berikan kepada bayi. Pendengaran belum bisa. Ruh juga bekum ada. Tapi, bukan berarti kita diam aja bengong nungguin 4 bulan lewat.
Dalam Alquran, Allah sudah memberikan panduan pendidikan janin yang pertama kali harus dilaukan oleh orang tua. Ini bukan hanya ibunya saja ya. Tapi ayahnya pun harus ikut berperan. Apa itu? Doa, memohon agar janin yang dikandung ini menjadi anak yang sholih.
Itu yang saya lakukan. Sebelum usia kandungan menginjak 4 bulan, doa agar keturunan saya menjadi anak sholih itu terus menerus diucapkan.
Apa cuma begitu saja?
O tentu tidak. Mumpung tugas mendidiknya masih doa dulu, sebetulnya ada beberapa hal yang bisa saya siapkan sebelum masuk ke fase berikutnya. Upgrade ilmu sudah pasti. Selain ini, ada 3 hal yang juga saya lakukan di trimester pertama ini dalam rangka mempersiapkan pendidikan untuk janin.
1. Membangun kebiasaan baik
Semua proses sebetulnya sudah saya mulai sejak saya belum menikah. Tapi semuanya menjadi semakin serius setelah saya tahu bahwa saya hamil. Waktunya sudah semakin dekat. Ibaratnya nih, semester baru sudah ada di depan mata. Kalau kemarin-kemarin belajar, setelah ini waktunya real action.
Pada trimester pertama ini, saya betul-betul kerja keras bagai kuda untuk membentuk kebiasaan yang baik. Ini jelas tidak mudah. Sholat tahajjud itu baik, tapi untuk bangun dan melawan gaya gravitasi kasur itu luar biasa. Apalagi malamnya sempat sulit tidur karena punggung sakit atau aneka ketidaknyamanan yang lain. Tilawah setiap hari itu juga baik. Lebih baik lagi kalau bisa satu juz sehari. Tapi ternyata, realitanya tak semudah yang dibayangkan. Pagi-pagi, lapar. Setelah lapar, makan, muncul mual. Setelah itu lemas tak berdaya. Jangankan satu juz, beberapa lembar saja itu sudah bagus.
Pernah ibu saya menegur saya terkait amalan-amalan harian saya yang berantakan ini. Beliau ingatkan kembali bahwa saya sedang hamil, sudah semestinya untuk terus PDKT sama Allah. Apa yang saya lakukan juga nantinya akan jadi pendidikan untuk anak saya. Jadi, saya nggak boleh sembrono.
Andai beliau tahu sekeras apa usaha saya untuk mengupayakan semuanya. Saya pernah galau segalaunya karena kesulitan membangun kebiasaan baik ini. Usia janin saya terus bertumbuh. Artinya, masa yang ditunggu akan segera tiba. Kapan saya harus memulai pendidikan untuknya juga semakin dekat. Sementara saya pribadi masih segini-gini aja.
Pertanyaan saya tentang kesulitan saya mengupayakan kebiasaan baik ini, kemudian terjawab. Allah yang tuntun mata dan telinga ini untuk mendengarkan tausiyah Oki Setiana Dewi. Dalam tausiyah itu, Mbak Oki bilang begini, “kita tahu keutamaan ibadah itu, tapi kenapa ya kok tetep aja susah dilakukan? Ini waktunya kita sadar, jangan-jangan kita sulit untuk melakukannya karena dosa-dosa yang sudah kita perbuat.”
Jleb!
Pingin nangis rasanya. Seketika itu juga saya banyak-banyak muhasabah diri. Mengingat-ingat dosa-dosa yang sudah saya lakukan.
Di sisa-sisa Ramadhan kemarin, saya benahi kembali diri saya. Banyak-banyak mendekatkan diri dan mohon ampun pada Allah. Alhamdulillah, kemudahan itu datang. Mulai tuh bangun di sepertiga malam terakhir sendiri tanpa jam beker. Mulai mudah untuk tilawah. Mulai mudah untuk datang ke majelis-majelis ilmu juga.
Kalau kemudahan itu sudah datang, selanjutnya tinggal menjemput dan mengupayakannya menjadi kebiasaan yang melekat pada diri ini. Nggak bisa dibilang mudah juga. Meski Allah sudah bukakan jalan, pada akhirnya kita juga yang harus bertarung melawan diri sendiri untuk bisa terus istiqomah.
2. Komunikasi dengan pasangan
Di kampus, sebelum mulai semester baru, sambil bagi-bagi mata kuliah, biasanya dosen-dosen rapat dulu untuk membentuk kesepakatan terkati proses belajar mengajar yang akan dijalani. Di rumah pun semestinya juga begitu. Nggak harus rapat seserius di kampus juga. Sama pasangan sendiri mestinya bisa lebih woles. Waktunya juga fleksibel. Tapi tujuan dari komunikasi itu tercapai.
Kalau saya, biasanya akan memulai obrolan ringan tapi berbobot ini dengan sharing knowledge dulu. Saya tahu ini, saya share ke suami. Saya tahu itu, saya share ke suami. Nggak jarang juga sih suami kasih PR untuk mendetaili suatu perkara.
Sharing knowledge ini penting sih agar pandangan kita dan pasangan bisa satu dalam menyikapi suatu hal. Samakan dulu frekuensinya. Kalau ada perbedaan pendapat dalam menyikapi informasi yang dibagikan, ini justru jadi kesempatan untuk lebih banyak belajar lagi dan memperdalam ilmu. kalau kami, biasanya memang jadi lebih banyak cari tahu gara-gara beda pendapat. Hingga akhirnya, kami bisa menyimpulkan sikap apa sih yang bisa kami ambil terkait hal ini.
3. Menyusun kurikulum pendidikan untuk janin
Pada usia kandungan 1-4 bulan, Alquran mengajarkan kita untuk memperbanyak doa kepada Allah, memohon segala hal yang baik-baik untuk anak yang sedang dikandung. Mumpung segala ketetapan belum ditetapkan oleh Allah, ini saat yang pas banget untuk PDKT sama Allah dan minta yang baik-baik. Rizkinya, terkait ajalnya, amal-amalnya, serta kebahagiaannya hidupnya.
Setelah usia kandungan 4 bulan, ini sudah bukan hanya doa saja yang berperan. Ayah dan ibunya sudah punya peran untuk membentuk karakter anak sejak dalam kandungan. Kita bisa lho menanamkan pada anak untuk cinta pada Alquran. Kita juga bisa mengajarkan tauhid pada anak sejak dia dalam kandungan. Sholat, pengenalan huruf dan angka, tauhid, dan sebagainya. Itu bisa. Ada caranya. Tinggal kita mau yang mana nih yang jadi prioritas.
Pada masa kandungan, informasi yang kita berikan itu akan direkam oleh bayi. Memori-memori yang didapatkan selama masa kandungan ini, akan memudahkan anak untuk menangkap materi serupa setelah mereka lahir. Jadi, kalau dia jadi lebih cerdas itu bukan bim salabim terus jadi. Tapi ada ikhtiar selama berminggu-minggu untuk mendidik anak selama dalam kandungan. Rela jadi orang aneh yang suka ngobrol sama perut demi memasukkan informasil awal ke otaknya.
Di trimester awal, sebelum eksekusi secara langsung kurikulum ke janin di usia 4 bulan ke atas, perlu banget nih kita buat kurikulumnya dulu. Dari hasil ngobrol bareng pasangan, kita sudah bisa tahu tujuan pendidikan ke anak ini apa sih. Kalau tujuannya sudah tahu, mudah juga kita menyusun materi-materi ajarnya, kapan mau diajarkan, bagaimana cara mengajarkannya, dan lain sebagainya.
Lebih bagus lagi kalau kurikulum ini dibuat bersama pasangan. Jadi, ketika menjalani proses pendidikan itu keduanya, baik suami maupun istri, sudah sama-sama sepakat. Ini anak mau dibawa ke mana sih? Ini anak mau diapain sih?
Itu tadi 3 hal terkait persiapan untuk mendidik janin. Buat saya, ini penting sekali untuk dipersiapkan sedini mungkin. Begitu tahu hamil, bukan hanya memperbanyak doa saja, tapi juga mulai menyiapkan amunisi terbaik sebelum eksekusi langsung ke janin.
Buat yang sedang hamil muda, semoga dimudahkan untuk mempersiapkan pendidikan janinnya. Buat yang sudah kelewat masa trimester pertamanya, nggak ada salahnya untuk nyusun dari sekarang. Kalau udah nggak hamil lagi, semoga dimudahkan untuk hamil lagi. Semangat buibu sekalian. Jadi madarasah ula untuk anak itu memang nggak mudah, tapi juga bukan suatu yang mustahil. Banyak upaya yang bisa kita lakukan untuk menjadi ibu yang mampu melahirkan generasi Islam terbaik.
with love,
makasih sharingnya bermanfaat
ReplyDeletesama-sama mbak
DeleteMasyaallah. Terimakasih infonya, mbak. Semoga kita diberikan anak-anak yang cerdas dan juga shalih-shaliha. Aamiin.
ReplyDeleteaamiin ya rabbal alamiin
DeleteMbak Leli adakah contoh kurikulumny. ? Mungkin berkenan di share ke email saya nurdiana1391@gmail.com. . Syukron mbak
ReplyDeleteadakah contoh kurikulumnya kak?
ReplyDelete