Rasanya,
nggak ada manusia yang hidup tanpa masalah. Susah atau nggaknya juga nggak bisa
disamakan. Allah sendiri yang bilang kalau Dia akan menguji hamba-Nya sesuai
dengan batas kemampuan masing-masing.
By the way,
pernah nggak sih kepikiran gini, kenapa ya ada orang yang depresi dan ada yang
biasa aja dengan ujian yang Allah kasih? Kan, ujian yang dikasih Allah sudah
disesuaikan dengan kapasitas masing-masing. Nggak ada yang berlebihan.
Sebetulnya
saya baru kepikiran itu sih. Sebelum jawab pertanyaan itu, saya mau cerita
perjalanan hidup saya dalam menghadapi penyakit mental yang disebut sebagai
psikosomatis.
Apa sih Psikosomatis itu?
Psikosomatis
itu adalah penyakit mental yang bikin penderitanya sakit cukup parah. Tapi,
setelah pemeriksaan medis ini itu ternyata semuanya normal. Nggak ada masalah
komplikasi yang berlebihan.
And, This is My Story
Waktu SMA,
saya pernah punya keinginan untuk bunuh diri untuk alasan yang kalau saya
pikir-pikir lagi, itu receh banget. Kenapa bisa begitu? Mungkin, karena saya
nggak benar-benar punya teman cerita untuk berbagi uneg-uneg saya.
Waktu itu,
saya lebih nyaman mendengarkan teman saya cerita dibanding harus cerita masalah
pribadi saya. Di rumah, saya juga tidak terlalu dekat dengan kedua orang tua
saya hingga saya nyaman curhat ke mereka. Bahkan, sampai rumah saya tidur.
Jarang sekali interaksi dengan mereka. Malahan, saya menghindari berbicara
dengan mereka. Saya lelah terus disalahkan dan dimarahi.
Gejala psikosomatis
mulai saya rasakan sejak saya kuliah. Awalnya, saya juga nggak tahu apakah itu
psikosomatis atau sakit betulan. Intinya, saya lumayan sering sakit selama saya
kuliah.
Anehnya,
tiap kali saya menjalani pemeriksaan, semuanya normal. Tes darah normal. Tapi
sakitnya nano-nano. Badan demam tinggi, perut sakit, kepala pusing, badan
lemas. Pernah beberapa kali dikira typus, tapi ternyata dari hasil cek darah
normal.
Hingga suatu
kali, Ibu bilang, "kamu nggak sakit."
Lalu, saya
dibawa ke psikolog. Menurut ibu, bukan fisik saya yang sedang sakit. Saya hanya
sedang stress berat yang berakibat ke sakit yang macem-macem tadi.
Ada denial
dalam diri ini ketika saya dibawa ke psikolog. Saya merasa saya baik-baik saja.
Saya tidak stress. Saya tidak gila. Kenapa saya harus dibawa ke sana?
Ya, saya
belum siap untuk bertemu dengan psikolog. Karena itu juga, nggak ada diagnosa
apapun yang disampaikan. Saya hanya diberikan pil kecil sekali. Dosis sekali
minum juga cuma separuh. Sepertinya itu obat anti depresan.
Kondisi
terburuk saya justru ketika saya pacaran dengan sahabat saya sendiri. Nggak
tahu kenapa, setelah status kami berubah jadi pacar, semuanya berubah.
Sudah nonton
video klipnya adu rayu? Posisi saya ya macem Mbak Velove dengan Mas Chiko. Dia
minta saya ini itu, tapi dia sama sekali tidak pernah berjuang untuk
mempertahankan saya. Maunya enak sendiri. Maunya dilayani.
Mirisnya,
saat saya sakit. Dia bahkan tidak peduli dengan itu. Mungkin, itu yang akhirnya
memperburuk kondisi saya.
Gejala-gejala
baru mulai saya rasakan. Kali ini bukan hanya demam, tapi saya mulai merasa
sesak napas. Dan itu tidak hanya terjadi sekali dua kali, cukup sering.
Saya kira,
saya terkena asma. Tapi ternyata tidak. Kata dokter, nggak bunyi ngik-ngik saat
saya bernapas. Artinya, paru-paru saya baik-baik saja.
"Sesak
napas ini bisa karena asam lambung, bisa juga karena jantung. Ada riwayat
keluarga yang terkena jantung?"
Kebetulan
memang ada. Meski bukan secara langsung. Ada adik kakek yang meninggal karena
jantung. Sisanya, kebanyakan terkena stroke.
"Kalau
saya mau tahu lebih detail bagaimana, dok?"
"Ya
harus rontgen dulu."
Saya nggak
pernah cerita ke orang tua saya terkait hal ini. Saat itu juga saya tidak
menjalani tes rontgen karena terkendala biaya. Namanya juga mahasiswa, mana
sanggup, kan? Saya cuma bisa berdoa bahwa saya baik-baik saja.
But, I'm Not Okay
Kasus
perceraian Marshanda dan penyakit bipolar disorder yang dia alami membuat saya
tersadar bahwa saya tidak baik-baik saja. Beberapa gejala yang dialami oleh
Marshanda, juga saya alami. Meskipun, saya belum berani bilang secara pasti
bahwa saya mengidap penyakit itu.
Satu hal
yang pasti. Kondisi mental saya, tidak sedang baik-baik saja. Saya punya
penyakit mental yang saya tidak tahu mana yang lebih sesuai untuk saya.
Beberapa referensi saya baca. Tidak semua gejala Bipolar Disorder saya alami.
Jadi, rasanya bukan itu.
Saya baca
penyakit-penyakit mental lain. Tapi semua seperti merujuk ke kondisi kejiwaan
yang akut. Sedangkan, saya masih jauh dari hal yang semacam itu.
Kapan Saya Tahu?
Setelah
lulus S2 dan mulai bekerja sebagai dosen, baru saya tahu bahwa saya terkena
psikosomatis. Saat itu, saya bertemu dengan seorang teman yang punya pengalaman
serupa. Dia sering sakit, tapi setelah diperiksakan ternyata semuanya normal.
Saya nggak
tahu kenapa saya bisa begitu. Bisa jadi karna saya tidak punya teman bicara
yang siap mendengarkan saya. Bisa jadi juga karna trauma masa kecil yang
menjadikan saya pribadi yang semacam itu. Semua peluang memungkinkan.
Upaya untuk Melawan Psikosomatis
Penyakit ini
memang nggak muncul terus menerus dalam hidup saya. Tapi, sekali kambuh ya
begitu itu. Ada beberapa upaya yang saya lakukan untuk melawan penyakit ini.
1. Menulis untuk Kesembuhan
Jauh sebelum
saya tahu bahwa saya terkena psikosomatis, hal ini sudah saya lakukan. Saya
tidak tahu harus menceritakan masalah pribadi saya kepada siapa. Saya bahkan
merasa tidak ada orang yang siap untuk betul-betul mendengarkan saya. Padahal,
saya butuh itu.
Satu-satunya
media yang bisa saya pakai untuk menuangkan segala uneg-uneg saya ya dengan
menulis. Saya punya banyak tulisan di notepad yang saya dokumentasikan per
tanggal. Selama kurang lebih 2 tahun saya melakukan itu.
Tidak selalu
ini berhasil. Tidak selalu saya merasa semakin lega setelah menulis. Adakalanya
justru sebaliknya. Karna saat menulis, saya jadi harus membongkar memori
menyakitkan yang pernah saya rasakan untuk dipindahkan ke tulisan. Sakit sekali
rasanya. Tidak nyaman, itu pasti.
2. Sholat Malam
"Jika
tidak ada telinga yang siap mendengarmu, ada sajadah tempatmu mengadu."
Maka, di
situlah saya setiap malam. Curhat sama Allah. Kata-kata saya bahkan tidak lagi
seperti doa, tapi lebih seperti seorang yang sedang mengadu pada sahabat
terbaiknya. Semuanya saya ceritakan.
Saya tidak
selalu memohon sesuatu. Saya hanya ingin didengar. Dan saya tahu, Allah pasti
akan mendengarkan saya. Meski saya tidak mampu menjangkaunya.
Curhat sama
Allah membuat hidup saya jadi jauh lebih tenang dari sebelumnya. Saat saya
terhimpit masalah, kemudahan dari Allah juga dapat saya rasakan secara nyata.
3. Menjalani Proses Pembinaan Islami
Buat saya
yang jarang punya kesempatan cerita ke orang lain, proses pembinaan itu
betul-betul membantu saya. Saya nggak cuma belajar Islam dari yang paling dasar
saja, tapi bagaimana saya menyelesaikan masalah demi masalah dengan cara Islami
juga dibantu. Saya yang dulunya nggak punya temen cerita, sekarang jadi punya.
Dulu, saya
merasa kalau konflik sama teman kuliah dan pacar itu masalah yang berat sekali
buat saya. Tapi seiring bertambahnya usia, konflik dalam hidup juga makin
kompleks, penyelesaian Islami itu betul-betul bikin hati tenang. Lepas dari
segala kesulitan yang saya alami, selama saya berusaha keras untuk terus lurus
dalam koridor syariat Islam, pasti ada aja kemudahannya.
Saya sering
banget ngalamin ini. Ketika saya udah nggak tahu lagi mau ngapain, mau ikutin
sekitar itu nabrak syara', nggak ikutin itu jalannya udah mentok. Pas udah
pasrah sepenuhnya, hadiah dari Allah itu beneran nyata.
Kesimpulan
Kita
sebetulnya perlu banget bersyukur bahwa hari ini banyak sekali pihak yang
peduli ada kesehatan mental diri sendiri dan orang lain. Banyak orang yang
berbagi pengalaman untuk bisa lepas dari segala depresi, anxiety, atau
penyakit-penyakit mental yang lain.
Ini mungkin
beda dengan apa yang dialami oleh orang tua kita. Mereka depresi atau nggak,
mereka nggak tahu. Apalagi cari penanganan yang tepat. Akhirnya, anak juga yang
jadi korban.
Apa sih
akibatnya? Ya trauma masa kecil yang bikin seseorang jadi rapuh. Terlihat tegar
tapi sebetulnya cuma dipakai untuk nyembunyiin betapa rapunya dia.
Kalau kamu
yang baca ini merasa ada yang nggak beres sama kamu. Cara pertama yang harus
kamu lakukan adalah stop denial. Terapi macam apapun, konsultasi ke psikolog
terkenal sekali pun, nggak akan bikin kamu sembuh.
Penyakit
mental sejatinya cuma bisa sembuh ketika kita bisa memaafkan apa yang melukai
kita di masa lampau. Menerima bahwa semua itu adalah takdir terbaik dari Allah
untuk kita. Lalu bangkit untuk mengadapi semuanya.
assalamualaikum mba, sya dian 22 tahun. senang rasanya membaca blig mba ttg ini, sya tdk merasa sendiri sekarang, saya juga sdg mengalami hal yang sama tapiiii sya masih selalu gelisah bahkan hingga tdk tidur berhari2, makasih ya mba sudah shareing ttg ini❤️
ReplyDeleteassalamualaikum mbaa, makasihhhh bgt udah shareing ttg ini❤️
ReplyDeleteWa'alaikumsalam, sama-sama mbak. :)
DeleteAssalamualaikum mba salam kenal,terus terang saya agak sedikit tenang setelah membaca tulisan mba..sekarang saya sedang memgalami doa kan saya semoga bisa melaluinya..
ReplyDelete