Assalamu'alaikum!

Perkenalkan, nama saya Aprilely Ajeng Fitriana. Kalian bisa panggil saya Lelly. Saya lahir di Malang pada tanggal 22 April 1991. Saat ini, saya tinggal di Bogor bersama suami dan anak saya. Blog ini adalah tempat saya mencurahkan segala pemikiran saya dari berbagai peristiwa. Bagaimana saya menghadapinya dan apa saja hikmah yang saya peroleh.

Dealing with Psikosomatis

Sep 7, 2019

Psikosomatis

Rasanya, nggak ada manusia yang hidup tanpa masalah. Susah atau nggaknya juga nggak bisa disamakan. Allah sendiri yang bilang kalau Dia akan menguji hamba-Nya sesuai dengan batas kemampuan masing-masing.

By the way, pernah nggak sih kepikiran gini, kenapa ya ada orang yang depresi dan ada yang biasa aja dengan ujian yang Allah kasih? Kan, ujian yang dikasih Allah sudah disesuaikan dengan kapasitas masing-masing. Nggak ada yang berlebihan.

Sebetulnya saya baru kepikiran itu sih. Sebelum jawab pertanyaan itu, saya mau cerita perjalanan hidup saya dalam menghadapi penyakit mental yang disebut sebagai psikosomatis.

Apa sih Psikosomatis itu?


Psikosomatis itu adalah penyakit mental yang bikin penderitanya sakit cukup parah. Tapi, setelah pemeriksaan medis ini itu ternyata semuanya normal. Nggak ada masalah komplikasi yang berlebihan.

And, This is My Story


Waktu SMA, saya pernah punya keinginan untuk bunuh diri untuk alasan yang kalau saya pikir-pikir lagi, itu receh banget. Kenapa bisa begitu? Mungkin, karena saya nggak benar-benar punya teman cerita untuk berbagi uneg-uneg saya.

Waktu itu, saya lebih nyaman mendengarkan teman saya cerita dibanding harus cerita masalah pribadi saya. Di rumah, saya juga tidak terlalu dekat dengan kedua orang tua saya hingga saya nyaman curhat ke mereka. Bahkan, sampai rumah saya tidur. Jarang sekali interaksi dengan mereka. Malahan, saya menghindari berbicara dengan mereka. Saya lelah terus disalahkan dan dimarahi.

Gejala psikosomatis mulai saya rasakan sejak saya kuliah. Awalnya, saya juga nggak tahu apakah itu psikosomatis atau sakit betulan. Intinya, saya lumayan sering sakit selama saya kuliah.

Anehnya, tiap kali saya menjalani pemeriksaan, semuanya normal. Tes darah normal. Tapi sakitnya nano-nano. Badan demam tinggi, perut sakit, kepala pusing, badan lemas. Pernah beberapa kali dikira typus, tapi ternyata dari hasil cek darah normal.

Hingga suatu kali, Ibu bilang, "kamu nggak sakit."

Lalu, saya dibawa ke psikolog. Menurut ibu, bukan fisik saya yang sedang sakit. Saya hanya sedang stress berat yang berakibat ke sakit yang macem-macem tadi.

Ada denial dalam diri ini ketika saya dibawa ke psikolog. Saya merasa saya baik-baik saja. Saya tidak stress. Saya tidak gila. Kenapa saya harus dibawa ke sana?

Ya, saya belum siap untuk bertemu dengan psikolog. Karena itu juga, nggak ada diagnosa apapun yang disampaikan. Saya hanya diberikan pil kecil sekali. Dosis sekali minum juga cuma separuh. Sepertinya itu obat anti depresan.

Kondisi terburuk saya justru ketika saya pacaran dengan sahabat saya sendiri. Nggak tahu kenapa, setelah status kami berubah jadi pacar, semuanya berubah.

Sudah nonton video klipnya adu rayu? Posisi saya ya macem Mbak Velove dengan Mas Chiko. Dia minta saya ini itu, tapi dia sama sekali tidak pernah berjuang untuk mempertahankan saya. Maunya enak sendiri. Maunya dilayani.

Mirisnya, saat saya sakit. Dia bahkan tidak peduli dengan itu. Mungkin, itu yang akhirnya memperburuk kondisi saya.

Gejala-gejala baru mulai saya rasakan. Kali ini bukan hanya demam, tapi saya mulai merasa sesak napas. Dan itu tidak hanya terjadi sekali dua kali, cukup sering.

Saya kira, saya terkena asma. Tapi ternyata tidak. Kata dokter, nggak bunyi ngik-ngik saat saya bernapas. Artinya, paru-paru saya baik-baik saja.

"Sesak napas ini bisa karena asam lambung, bisa juga karena jantung. Ada riwayat keluarga yang terkena jantung?"

Kebetulan memang ada. Meski bukan secara langsung. Ada adik kakek yang meninggal karena jantung. Sisanya, kebanyakan terkena stroke.

"Kalau saya mau tahu lebih detail bagaimana, dok?"
"Ya harus rontgen dulu."

Saya nggak pernah cerita ke orang tua saya terkait hal ini. Saat itu juga saya tidak menjalani tes rontgen karena terkendala biaya. Namanya juga mahasiswa, mana sanggup, kan? Saya cuma bisa berdoa bahwa saya baik-baik saja.

But, I'm Not Okay


Kasus perceraian Marshanda dan penyakit bipolar disorder yang dia alami membuat saya tersadar bahwa saya tidak baik-baik saja. Beberapa gejala yang dialami oleh Marshanda, juga saya alami. Meskipun, saya belum berani bilang secara pasti bahwa saya mengidap penyakit itu.

Satu hal yang pasti. Kondisi mental saya, tidak sedang baik-baik saja. Saya punya penyakit mental yang saya tidak tahu mana yang lebih sesuai untuk saya. Beberapa referensi saya baca. Tidak semua gejala Bipolar Disorder saya alami. Jadi, rasanya bukan itu.

Saya baca penyakit-penyakit mental lain. Tapi semua seperti merujuk ke kondisi kejiwaan yang akut. Sedangkan, saya masih jauh dari hal yang semacam itu.

Kapan Saya Tahu?


Setelah lulus S2 dan mulai bekerja sebagai dosen, baru saya tahu bahwa saya terkena psikosomatis. Saat itu, saya bertemu dengan seorang teman yang punya pengalaman serupa. Dia sering sakit, tapi setelah diperiksakan ternyata semuanya normal.

Saya nggak tahu kenapa saya bisa begitu. Bisa jadi karna saya tidak punya teman bicara yang siap mendengarkan saya. Bisa jadi juga karna trauma masa kecil yang menjadikan saya pribadi yang semacam itu. Semua peluang memungkinkan.

Upaya untuk Melawan Psikosomatis


Penyakit ini memang nggak muncul terus menerus dalam hidup saya. Tapi, sekali kambuh ya begitu itu. Ada beberapa upaya yang saya lakukan untuk melawan penyakit ini.

1. Menulis untuk Kesembuhan

Jauh sebelum saya tahu bahwa saya terkena psikosomatis, hal ini sudah saya lakukan. Saya tidak tahu harus menceritakan masalah pribadi saya kepada siapa. Saya bahkan merasa tidak ada orang yang siap untuk betul-betul mendengarkan saya. Padahal, saya butuh itu.

Satu-satunya media yang bisa saya pakai untuk menuangkan segala uneg-uneg saya ya dengan menulis. Saya punya banyak tulisan di notepad yang saya dokumentasikan per tanggal. Selama kurang lebih 2 tahun saya melakukan itu.

Tidak selalu ini berhasil. Tidak selalu saya merasa semakin lega setelah menulis. Adakalanya justru sebaliknya. Karna saat menulis, saya jadi harus membongkar memori menyakitkan yang pernah saya rasakan untuk dipindahkan ke tulisan. Sakit sekali rasanya. Tidak nyaman, itu pasti.

2. Sholat Malam

"Jika tidak ada telinga yang siap mendengarmu, ada sajadah tempatmu mengadu."

Maka, di situlah saya setiap malam. Curhat sama Allah. Kata-kata saya bahkan tidak lagi seperti doa, tapi lebih seperti seorang yang sedang mengadu pada sahabat terbaiknya. Semuanya saya ceritakan.

Saya tidak selalu memohon sesuatu. Saya hanya ingin didengar. Dan saya tahu, Allah pasti akan mendengarkan saya. Meski saya tidak mampu menjangkaunya.

Curhat sama Allah membuat hidup saya jadi jauh lebih tenang dari sebelumnya. Saat saya terhimpit masalah, kemudahan dari Allah juga dapat saya rasakan secara nyata.

3. Menjalani Proses Pembinaan Islami

Buat saya yang jarang punya kesempatan cerita ke orang lain, proses pembinaan itu betul-betul membantu saya. Saya nggak cuma belajar Islam dari yang paling dasar saja, tapi bagaimana saya menyelesaikan masalah demi masalah dengan cara Islami juga dibantu. Saya yang dulunya nggak punya temen cerita, sekarang jadi punya.

Dulu, saya merasa kalau konflik sama teman kuliah dan pacar itu masalah yang berat sekali buat saya. Tapi seiring bertambahnya usia, konflik dalam hidup juga makin kompleks, penyelesaian Islami itu betul-betul bikin hati tenang. Lepas dari segala kesulitan yang saya alami, selama saya berusaha keras untuk terus lurus dalam koridor syariat Islam, pasti ada aja kemudahannya.

Saya sering banget ngalamin ini. Ketika saya udah nggak tahu lagi mau ngapain, mau ikutin sekitar itu nabrak syara', nggak ikutin itu jalannya udah mentok. Pas udah pasrah sepenuhnya, hadiah dari Allah itu beneran nyata.

Kesimpulan

Kita sebetulnya perlu banget bersyukur bahwa hari ini banyak sekali pihak yang peduli ada kesehatan mental diri sendiri dan orang lain. Banyak orang yang berbagi pengalaman untuk bisa lepas dari segala depresi, anxiety, atau penyakit-penyakit mental yang lain.

Ini mungkin beda dengan apa yang dialami oleh orang tua kita. Mereka depresi atau nggak, mereka nggak tahu. Apalagi cari penanganan yang tepat. Akhirnya, anak juga yang jadi korban.

Apa sih akibatnya? Ya trauma masa kecil yang bikin seseorang jadi rapuh. Terlihat tegar tapi sebetulnya cuma dipakai untuk nyembunyiin betapa rapunya dia.

Kalau kamu yang baca ini merasa ada yang nggak beres sama kamu. Cara pertama yang harus kamu lakukan adalah stop denial. Terapi macam apapun, konsultasi ke psikolog terkenal sekali pun, nggak akan bikin kamu sembuh.

Penyakit mental sejatinya cuma bisa sembuh ketika kita bisa memaafkan apa yang melukai kita di masa lampau. Menerima bahwa semua itu adalah takdir terbaik dari Allah untuk kita. Lalu bangkit untuk mengadapi semuanya.

Comments

  1. assalamualaikum mba, sya dian 22 tahun. senang rasanya membaca blig mba ttg ini, sya tdk merasa sendiri sekarang, saya juga sdg mengalami hal yang sama tapiiii sya masih selalu gelisah bahkan hingga tdk tidur berhari2, makasih ya mba sudah shareing ttg ini❤️

    ReplyDelete
  2. assalamualaikum mbaa, makasihhhh bgt udah shareing ttg ini❤️

    ReplyDelete
  3. Assalamualaikum mba salam kenal,terus terang saya agak sedikit tenang setelah membaca tulisan mba..sekarang saya sedang memgalami doa kan saya semoga bisa melaluinya..

    ReplyDelete