Itu adalah nasehat ibu saya selama sekian tahun saya kuliah. Awal kuliah saya masih kekeuh dengan idealisme saya sebagai wanita karier. Ada keinginan menjadi perempuan yang menggunakan pakaian kerja mentereng, sepatu high heels, tas keren. Hingga akhirnya saya menjadi salah satu tim pemandu LKMM di kampus saya. Dari situlah keinginan menjadi pengajar muncul.
Saya menikmati sorotan mata yang mendengarkan apa yang saya sampaikan. Saya suka mengajar. Saya menikmati perubahan wajah mereka yang saya ajar, dari bingung sampai jelas. Semua tergambar dalam wajah-wajah mereka.
Menjadi pengajar artinya menjadi public speaker. Pada akhirnya, saya harus banyak berbicara dengan publik. Saya bersyukur sekali bahwa kampus saya dulu amat sangat mewadahi keinginan saya ini. Pelatihan khusus yang diberikan kepada tim pemandu adalah ilmu-ilmu tentang public speaking. Di luar pelatihan itu, pernah ada beberapa pelatihan lain. Pengetahuan saya tentang public speaking pun terasah.
Lulus kuliah D4, saya memutuskan untuk langsung melanjutkan pendidikan saya. Saya kuliah S2 dengan jurusan yang sama, Elektro. Bukan karna saya suka sekali elektro, tapi karna saya suka sekali mengajar. Akan lebih mudah untuk menjadi dosen bila saya kuliah lagi. Begitu pikir saya.
Alhamdulillah, sebelum saya lulus kuliah S2 saya sudah punya kesempatan menjadi dosen di salag satu kampus swasta di Surabaya. Banyak pengalaman mengajar secara real yang saya dapatkan dari kampus itu. Tak hanya mengajar, tapi kesempatan lain untuk berbagi pun saya dapatkan dari sana.
Lulus S2, saya keluar dari kampus swasta dan berusaha untuk mencari kampus lain. Alhamdulillah, 3 bulan setelah saya keluar dari kampus lama, saya diterima di kampus yang baru. Mahasiswa lebih banyak, saya pun belajar memahami lebih banyak lagi karakter di sana.
Hinggaaa...
Saya menikah.
"Bu, jadi perempuan itu sebaiknya tidak perlu kuliah tinggi-tinggi ya? Toh, pada akhirnya ikut suami juga."
Saya tersenyum. Mahasiswa saya galau ketika saya memutuskan untuk keluar dari kampus untuk ikut suami. Mungkin mereka mengira bahwa cita-cita saya harus terkubur hanya karna saya ikut suami. Padahal tidak.
Saya ingin menjadi pengajar. Tapi saya lebih ingin mengajar untuk anak-anak saya, merancang kurikulum terbaik untuk anak-anak saya kelak. Justru menjadi pengajar di luar rumah itu hanya sebagai sampingan untuk saya.
Untuk mempersiapkan diri menjadi pengajar di rumah, banyak hal yang telah saya siapkan, bahkan dari sebelum menikah. Saya perkaya diri dengan banyak ilmu-ilmu. Saya belajar ilmu parenting, saya coba terapkan pada mahasiswa saya. Saya belajar ilmu kerumahtanggaan. Dan tentu saja yang tidak kalah penting, saya memilih laki-laki yang siap dengan cita-cita saya.
Adakalanya saya ingin segera melahap semua ilmu itu. Semakin bertambah usia saya, semakin gelisah lah saya. Saya khawatir amanahitu datanh sebelum saya siap merancang segalanya. Meski saya begitu ingin seoranb bayi hadir dalam rumah tangga kami.
Sabaaarr...
Menuntut ilmu itu juga perlu kesabaran. Tak hanya butuh kemauan dan kesungguhan dalam menggapainya. Sabar dalam setiap proses.
Hari ini, saya sedang menikmati setiap proses yang saya jalani. Proses menjadi calon ibu, proses menjadi istri yang baik untuk suami saya. Saya sungguh berharap saya mampu menjadi pengajar yang baik untuk anak-anak saya, bahkan saya bisa membaginya tak hanya untuk keluarga saya sendiri. Tapi untuk masyarakat yang lebih luas.
Semoga Allah meridhoi niat ini. Aamiin..
Comments