Assalamu'alaikum!

Perkenalkan, nama saya Aprilely Ajeng Fitriana. Kalian bisa panggil saya Lelly. Saya lahir di Malang pada tanggal 22 April 1991. Saat ini, saya tinggal di Bogor bersama suami dan anak saya. Blog ini adalah tempat saya mencurahkan segala pemikiran saya dari berbagai peristiwa. Bagaimana saya menghadapinya dan apa saja hikmah yang saya peroleh.

Ketika Perpisahan Menjadi Sebuah Pilihan

Oct 26, 2020

Perceraian


Wih, judulnya ngeri ya. Saya kepingin nulis ini untuk menyalurkan segala rasa yang terpendam. Beberapa hari ini, saya mendengar kabar perceraian dari lingkup pertemanan saya. Betul-betul mengejutkan. Tapi, kalau tahu cerita mereka dari awal, saya nggak bisa menyayangkannya. Semacam, ya itu keputusan terbaik untuk mereka.  

Pandangan Terhadap Perceraian  

Cerai


Dulu, saya agak skeptis soal perceraian. Ini karena saya kebanyakan nonton infotainment. Tahu sendiri kan artist-artist itu banyak sekali yang bercerai. Seolah pernikahan bukan sesuatu yang amat sakral hingga dengan mudahnya diakhiri. Apalagi, mereka bilang alasan perceraiannya karena tidak bisa bersama lagi. Ini tentunya memunculkan prasangka lain, apa iya tidak bisa dibenahi? Jangan-jangan karena mereka saja yang tidak sabar.  

Pandangan ini kemudian berubah ketika saya bertemu seorang janda sekian tahun lalu. Dia ceritakan alasannya bercerai dengan suaminya. Ini sama sekali bukan masalah yang sepele.  

"Seminggu setelah menikah, suamiku ngencingin aku. Aku kaget banget. Tapi dari situ, aku tahu kalau dia punya gangguan jiwa. Sesuatu yang tidak disampaikan oleh pihak keluarga atau siapapun yang tahu akan hal ini."  

Huaaah.. Nyesek banget. Sudah menikah, baru tahu kalau suaminya begitu. Please, jangan menuduh karena mereka ta'aruf. Jangan. Realitanya, ada juga kasus serupa dari orang yang sudah kenal dekat cukup lama. Pernah pacaran lama, lalu bertaubat dan memutuskan untuk menikah. Ini juga ada.  

Selama pacaran, tidak ada tanda-tanda gangguan kejiwaan. Baru setelah menikah, tanda-tanda itu muncul. Innalillahi wa innalillahi rajiun. 

Saya sama sekali nggak bisa membayangkan bagaimana rasanya ada di posisi mereka.  Gangguan jiwa yang dialami oleh pasangan ini yang membuat mereka mendapatkan penyiksaan fisik ketika pasangan mereka hilang akal. Ini bukan lagi tampar menampar ya. Tapi, sudah sampai pada percobaan pembunuhan.  

"Aku nggak berani geletakin pisau sembarangan, Lel. Aku takut pas suamiku kumat terus pakai pisau itu."  

Apa cuma itu? Nggak. Ada lagi. Sesuatu yang lumayan bikin diri terhenyak. Berat sekali cobaan mereka, Ya Allah.  

Cerita-cerita yang amat real ini yang mengubah pandangan saya terhadap perceraian. Nggak semua orang bercerai hanya karena masalah ekonomi. Nggak semua orang bercerai dengan alasan amat sederhana, "kita sudah tak sejalan lagi."   

Nggak semuanya begitu!  

Realitanya, ada masalah-masalah yang terlalu rumit untuk dijelaskan. Jadi, ya memang benar, perceraian adalah salah satu solusi yang Allah berikan kepada kita dalam mengarungi kehidupan. Meskipun, hal ini adalah sesuatu yang Allah tidak sukai pula.  

Artinya apa? Selesaikan dulu masalahnya, bangun kembali keharmonisan keluarga dulu. Pelajari ilmunya. Tapi, kalau memang ada kondisi yang memang tidak bisa ditawar lagi, contohnya ya pasangan yang hilang akal tadi, perceraian bisa menjadi solusi.  

Jalan Terbaik Pun Butuh Penyesuaian  

Cerai


Setiap memasuki fase kehidupan baru, penyesuaian itu pasti ada. Untuk babak baru yang menyenangkan dan begitu diharapkan, seperti pernikahan dan punya anak saja, ada fase berderai air mata di awal. 

Menyesuaikan diri dengan pasangan, status baru, anggota keluarga yang baru, keriwehan yang baru. Padahal, dulunya kita begitu menginginkan hal ini.   

Kalau untuk menjalani kehidupan pernikahan dan punya anak saja begitu, apalagi ketika kita harus berhadapan dengan perpisahan. Ini semacam petir di siang bolong sih kalau menurut saya. Meskipun, kita tahu bahwa itu adalah pilihan terbaik yang paling mungkin diambil, tetap saja tidak akan mudah menjalani semuanya. Tanpa ada anak saja sudah sulit. Apalagi, kalau ada anak dari buah pernilahan sebelumnya. Ya Allah, saya betul-betul tidak bisa membayangkan.  

Kaki yang mulai terbiasa berjalan beriringan, kemudian salah satunya harus diambil. Sulit sekali untuk bisa berjalan tegak dengan satu kaki. Menopang badan sendiri saja sulit, apalagi membawa beban lain. Sudah pasti jauh lebih sulit. Tapi, bukan berarti mustahil. Ini hanya soal waktu.  

Pada akhirnya, saya hanya mampu melambungkan doa agar orang-orang ini bisa menemukan jalan untuk bisa terus melangsungkan hidup. Punya teman yang bisa merangkul dan menggandeng tangannya untuk menjalani babak baru kehidupan. Semoga Allah pun segera menghapus luka di hatinya dan mendatangkan sosok pasangan hidup baru yang jauh lebih baik dari sebelumnya.  

Membuka Lembaran Baru, Mungkinkah?  

Cerai


Dalam doa yang saya panjatkan untuk mereka, saya sungguh berharap teman-teman saya ini bisa dipertemukan dengan pengganti suaminya. Sosok yang jauh lebih baik dan waras dalam menjalani hidup. Sosok yang mau bertanggung jawab dengan keluarganya. Tapi, kemudian saya tersadar bahwa membuka lembaran baru itu tidak mudah.  

Saya masih ingat ketika dulu baru saja gagal menikah. Ada perasaan dibuang oleh mantan dan keluarganya. Rasanya, tidak ada orang lain yang sanggup memahami dengan amat baik, kecuali saya dan keluarga. Tamparan itu saja rasanya sudah amat keras. Saya sempat limbung dan tidak tahu harus apa.   

Ada rasa ingin segera dipertemukan dengan orang baru. Tapi, di sisi lain saya takut untuk gagal kembali. Ketakutan itu yang mungkin membuat saya jadi amat selektif ketika memilih pasangan hidup.   

Itu saya yang gagal menikah. Apalagi mereka yang pernikahannua gagal, ini mungkin akan jauh lebih sulit.  Membuka lembaran baru sebetulnya tidak selalu sulit kalau Allah sudah berkehendak. Ini hanya butuh proses untuk menghadapi semua. Ada luka yang butuh disembuhkan terlebih dahulu. Ada langkah kaki yang butuh dikuatkan untuk menjalani hari.   

Kenapa dulu saya begitu cepat untuk bangkit, sementara mantan saya tidak? Padahal, dia yang meninggalkan saya.   
Jawabannya, ada di doa. Ketika masalah itu mulai datang, saya tahu bahwa bibir ibu saya tidak pernah basah untuk mendoakan saya. Beliau mohonkan agar saya diberi kekuatan untuk menghadapi apapun yang akan terjadi.  

Saya pun melambungkan doa yang sana.  Saya sendiri tidak tahu dari mana datangnya kekuatan itu. Kalau dipikir-pikir lagi, kegagalan itu cukup menjadi alasan bagi saya untuk tidak mencoba membuka hati dalam waktu lama. Nyatanya tidak demikian. Saya cukup mudah untuk move on.  

Saya yakin bahwa bibir ibu dari teman-teman saya ini tidak pernah basah mendoakan anak-anaknya. Bahkan, deraian air mata pun akan tercucur dalam doa-doa mereka. Memohon dengan amat sangat untuk kebahagiaan anaknya.   

Realitanya, ada juga teman yang alhamdulillah bisa move on dan mendapatkan pengganti yang mau menerima dia apa adanya. Saya betul-betul bahagia ketika akhirnya kabar bahagia itu datang. Pasalnya, kehidupannya pasca bercerai itu juga tidak mudah. Alhamdulillah, akhirnya dia nemu juga.   

Penutup  


Sebetulnya, saya bingung ingin mengakhiri tulisan ini dengan apa. Realitanya, tulisan ini memang ditulis untuk menyalurkan segala hal yang terpendam di dalam dada. Dapat curhatan yang macam gini tuh menguras energi sekali, kepikiran terus. Jadi, saya sekalian mau mohon maaf kalau ada curhatan yang tidak saya balas. Terutama segala jenis curhat yang masuk dari artikel toxic parents. Masya Allah, kadang saya juga nggak sanggup menanggapinya.  
Well, perpisahan itu berat sekali. Saking beratnya, ada yang mungkin mulai terganggu kesehatan mentalnya. Mulai mengalami depresi hingga menyakiti diri sendiri. Kalau sudah ada di fase ini, please minta tolong ke ahlinya. Berdoa iya, minta tolong iya.   
Sayangi diri sendiri dulu. Kasih perhatian ke diri sendiri dulu, sebelum akhirnya kasih ke orang lain, entah itu anak atau orang tua. Karena, gimana kita bisa ngasih kalau kita nggak punya?  
With love,

Comments

  1. Bicara soal perpisahan rasanya nggak aneh lagi karena keluarga dekat ada yang pernikahannya bukan hanya sekali gagal, melainkan beberapa kali dan bukan hanya satu orang. Berat bicara soal ini dan berdoa semoga kita selalu dijauhkan.

    Tapi, yang paling pengen dikomentari adalah blognya udah baruuuu...cakeep. Sama-sama lahir di Malang ternyata kita, Mbak. Bulannya pun sama...kwkwk *receh banget nih komen minta dikeplak :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. nyesek banget kalau tahu soal ini. Berasa lebih nyata dari sinetron atau drama korea. Nggak ada yang mau pastinya. Semoga kita dih8ndarkan dari ini. Aamiin..

      wkwkwk.. iyaaa.. kita memang lahirnya samaan. terus blogku juga baru. wkwkwk

      Delete