Assalamu'alaikum!

Perkenalkan, nama saya Aprilely Ajeng Fitriana. Kalian bisa panggil saya Lelly. Saya lahir di Malang pada tanggal 22 April 1991. Saat ini, saya tinggal di Bogor bersama suami dan anak saya. Blog ini adalah tempat saya mencurahkan segala pemikiran saya dari berbagai peristiwa. Bagaimana saya menghadapinya dan apa saja hikmah yang saya peroleh.

Berkonflik Sehat dengan Mertua

Sep 21, 2020

mertua menantu


"Emang kaya gitu ya kalau sama mertua? Aku baik-baik aja tuh."

"Iya, belum. Tunggu aja sensasinya."

Gitu kata teman saya setelah mereka curhat tentang mertua masing-masing. Bagaimana mereka akhirnya bisa menerima mertuanya. Bagaimana dulunya derai air mata selalu mengucur tiap kali bertemu dengan mertua. Sementara itu, saya tidak merasakannya.

Mungkin, karena waktu itu saya memang baru saja menikah. Kami juga tidak tinggal serumah dengan mertua atau orangtua saya. Tapi, satu hal yang saya rasakan. Rasanya amat sangat tidak nyaman menginap di rumah mertua. Bukan, bukan karena perlakuan beliu yang tidak menyenangkan. Saya hanya belum terbiasa.

Berjalan satu tahun pernikahan bisa dibilang saya tidak pernah melalui konflik dengan mertua. Semuanya tetap baik-baik saja. Saya senang ketika mertua datang. Meskipun, biasanya posisi aneka rupa peralatan dapur jadi bergeser. Saya biarkan saja. Setelah mereka pulang, baru saya kembalikan seperti semula lagi. Mungkin mereka bosan kalau tidak melakukan apapun.

Konflik dengan mertua mulai saya rasakan sejak Ghazy hadir ke dunia ini. Ibu mertua saya punya banyak sekali harapan ke Ghazy. Ingin dia bisa begini begitu yang belum bisa beliau lihat dari anaknya sendiri. Seolah berkata, "kalau anakku nggak bisa begitu, paling tidak cucuku."

Hanya saja, beliau ini maksanya bukan main. Ini belum lagi di luar perbedaan pandangan pengasuhan antara saya dan ibu. Apa yang beliau minta, tidak saya lakukan. Apa yang beliau larang justru saya lakukan. Saya pernah memberi alasan, "kata dokter nggak boleh." Tapi beliau tidak bisa menerima. Malah bilang kalau beliau ini sudah pengalaman membesarkan anak.

Hmmmm... Kalau sudah begini, mari kita iyakan saja.

Mertua saya cukup baperan. Beliau ini sensitif dan suka overthinking. Sementara itu, saya ini agak males berurusan dengan orang yang mudah baper. Biasanya saya cuekin saja. Sungguh kontradiktif, tapi kan nggak bisa dibiarkan. Tentu, ini jadi masalah baru. 

Akhirnya, saya coba untuk mengurangi memberikan informasi yang sekiranya bisa membuat ibu overthinking. Video-video perkembangan Ghazy saya filter dulu sebelum kirim. Video yang sekiranya menimbulkan komentar beliau, saya tidak kirimkan. Saya cuma kirim ke ibu saya saja. Ini juga masalah lagi.

Ibu mertua tidak suka ibu saya menggunakan foto Ghazy sebagai profil whatsapp. Beliau juga iri kalau saya kirim video ke ibu. Tapi, kalau saya kirim video serupa, biasanya respon yang muncul adalah aneka rupa bentuk kasihan atau larangan. Saya yang kesal bukan main kalau sudah dibeginikan. 

"Kasihan. Itu anaknya digendonglah."
"Kasihan, jangan digituinlah."

Dan, lain-lain.

Tentang konflik dengan mertua, saya tidak sendiri. Rasanya ini sudah jadi topik yang amat umum dirasakan oleh para menantu. Tidak semua memang. Tapi banyak.

Boleh dibilang, konflik dengan mertua itu adalah satu hal yang tidak bisa dihindarkan. Jangankan dengan mertua, dengan orangtua sendiri saja bisa. Permasalahannya bukan pada akan ada konflik atau tidak. Tapi, bagaimana kita bisa menyikapi konflik itu supaya tidak berlarut-larut.

Konflik yang Terjadi Antara Mertua dan Menantu

mertua menantu
sumber: Canva


Di atas tadi, saya cerita bagaimana konflik yang terjadi antara saya dengan mertua. Ini didominasi karena cucu. Ada harapan yang besar dan perbedaan pandangan pola asuh yang membuat kami sering sekali selisih pendapat. Lalu, bagaimana dengan orang lain? Ada beberapa hal yang biasanya menjadi pemicu konflik antara mertua dan menantu

1. Tekanan untuk memiliki anak

Saya pribadi tidak merasakan hal ini. Mertua saya dulu justru banyak sekali mendoakan saya supaya bisa segera memiliki momongan. Tidak ada tekanan lebih. Meskipun, kami harus menunggu 7 bulan lamanya.

Saya cukup beruntung dengan ini. Realitanya, ada pasangan yang ditekan untuk memiliki anak. Serangan pertanyaan kapan punya anak ini justru lebih sering datang dari keluarga sendiri. Bagi saya, ini jauh lebih melelahkan dibanding harus menjawab aneka rupa pertanyaan dari kerabat.

2. Dosis keterlibatan mertua dalam rumah tangga

Ini biasanya terjadi kalau kita tinggal dengan mertua. Sedikit atau banyak pasti akan ada keterlibatan beliau. Saya sendiri merasa tidak nyaman ada di dapur saat ada mertua saya di rumah. Banyak tata letak yang diubah. Cara memasak pun berbeda.

Lama kelamaan, saya biarkan. Kami bergantian menggunakan dapur untuk meminimalisir konflik. Ini sudah terjadi secara alamiah. Kalau saya lagi masak di dapur, mertua saya mundur. Begitu juga kalau mertua yang masak, saya mundur.

Ini masih urusan dapur. Beberapa rumah tangga justru mengalami masalah yang jauh lebih berat lagi. Semuanya diatur. Harus begini, harus begitu.


3. Perbedaan cara mengasuh anak

Nah, ini yang saya alami. Konflik ini biasanya muncul setelah ada cucu. Perbedaan cara mengasuh anak sering menjadi perdebatan tersendiri. Apalagi kalau sudah ada cocoklogi muncul, wadidaw diiyain ajalah. 

Saya pernah curhat ke ibu sendiri terkait hal ini. Ibu saya bilang, diiyain aja. Toh, saya tidak tinggal dengan mertua. Toh, kami hanya berkirim kabar melalui Whatsapp. Lain ceritanya kalau kami tinggal bersama.

4. Ketergantungan finansial

Sejujurnya, saya agak tidak paham dengan hal ini. Mungkin, ini karena baik mertua maupun orangtua saya tidak pernah bergantung secara finansial ke anak-anaknya. Kalaupun minta bantuan, pasti nanti akan diganti.

Kedua, saya sendiri memegang prinsip bahwa ibu mertua saya masih menjadi kewajiban suami. Jadi, ketika beliau punya masalah secara finansial, suami saya punya kewajiban memberi beliau nafkah. Mungkin, karena ini juga, ketika mertua saya cerita butuh uang, saya bisa santai saja menanggapinya. Toh, kalau memberi mertua, nanti pasti akan dicukupkan. Meski begitu, konflik karena hal ini nyata adanya.

5. Perbedaan budaya dan tata krama

Ini tidak saya alami sendiri. Saya melihat bahwa orang tua saya itu mirip sekali dengan mertua. Pekerjaan mereka saja sama. Tapi, ini terjadi pada teman-teman saya.

Perbedaan budaya dan tata krama yang seringkali membuat salah paham antara mertua dan menantu. Mertua bilang A, menantu sudah tersinggung duluan. Padahal, di sana ucapan tersebut biasa. 

Konflik semacam ini hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Baper di awal itu pasti adanya. Tapi, lambat laun pasti akan membaik. Menantu yang sering berkunjung lama-lama juga akan paham akan hal ini.

Penyebab Konflik antara Mertua dan Menantu

mertua menantu
sumber: Canva


Tak ada asap, kalau tidak ada api. Konflik antara mertua dan menantu juga tidak akan terjadi kalau tidak ada sebabnya. Konflik antara mertua dan menantu biasanya terjadi karena antara yang satu dengan yang lain butuh waktu untuk saling beradaptasi. 

Setelah anaknya menikah, mungkin ibu mertua akan merasa posisinya akan sedikit tergeser dengan kehadiran menantu. Kalau dulu semua perhatian anaknya hanya ada pada dia, sekarang harus ada perempuan lain. Bukan berarti mertua tidak senang, tapi ya itu tadi. Butuh waktu untuk bisa sepenuhnya menerima keadaan.

Konflik juga biasa terjadi karena mertua masih ingin punya andil besar dalam kehidupan anaknya. Memberikan saran A-Z yang tidak jarang agak memaksa. Buat saya, ini wajar adanya. Bagi orang tua, berapapun usia anak, dia tetap akan menjadi anak. Khawatir ini itu, berharap ini itu, pasti ada. Ini akan jadi semakin besar ketika karakter bawaannya memang sudah suka mengatur.

Kebetulan juga, saya memang juga suka mengatur. Jadi, sedikit banyak saya bisa memahami hal ini. Meskipun, ketika konflik terjadi, saya nggondok juga. Wkwkwk..

Selain itu, konflik antara mertua dan menantu juga terjadi karena menantu yang bingung menentukan sikap. Mau begini begitu, semuanya seolah ada aja kritiknya. Ini saya rasakan juga sih. Terutama, ketika baru saja melahirkan. Begini salah, begitu salah. Semua jadi serba salah.

Tips Menjaga Hubungan Baik dengan Mertua

mertua menantu
sumber: Canva


Seperti yang sudah saya sebut di awal, konflik antara mertua dengan menantu adalah satu hal yang tidak bisa dihindarkan. Mau sering atau jarang. Mau lama atau sebentar. Pasti ada. Jangankan dengan mertua, dengan orang tua sendiri pun kita memungkinkan untuk berkonflik. Apalagi ini orang yang notabene tidak melahirkan kita.

Meski ada konflik di tengah-tengah kita, ini tidak akan menjadi pemutus kewajiban kita untuk berbakti pada mertua juga. Ingat, setelah menikah kewajiban kita bertambah. Mau bagaimanapun juga, bakti suami yang pertama ya ke orangtuanya.

Nah, supaya konflik tidak semakin memanas dan hubungan baik bisa terus berjalan. Ada beberapa tips yang disampaikan oleh Saskhya Aulia Prima, M.Psi, Psikolog yang bisa kita jalani sama-sama.

1. Jalin komunikasi berkala yang konsisten dengan mertua

Dalam salah satu QnA, Aji Nur Afifah pernah cerita kalau dia memang rajin sekali untuk menghubungi mertuanya. Hal ini dia mulai sejak awal menikah. Menurutnya, rasa canggung dengan mertua itu seiring berjalannya waktu akan menghilang kalau memang sudah terbiasa untuk ngobrol bareng. Saya sendiri sepakat, meski belum bisa menjalani seperti yang Apik lakukan.

Ini masuk akal. Komunikasi yang rutin akan menghilangkan gap antara mertua dan menantu. Satu sama lain akan saling memahami. Kalau mertuanya begini, menantu akan paham. Sebaliknya, kalau menantu begitu, mertua pun paham.

Dengan cara ini, bukan berarti tidak ada konflik sama sekali. Tidak. Tapi semuanya bisa diminimalisir dan diselesaikan dengan cara baik-baik. 

2. Berikan porsi keterlibatan pada pengasuhan anak

Nggak ada salahnya lho memberikan porsu keterlibatan pada pengasuhan anak. Asal bukan yang krusial aja. Misal, memilihkan baju anak, mainan, atau hal lain yang menyenangkan. Dengan cara ini, mertua juga lebih dihargai.

3. Bangun koneksi emosional

Kedekatan emosi ini bisa terbentuk kalau kita bisa rutin menjalin komunikasi dengan mertua. Selain rutin menghubungi beliau, coba tanyakan kabar, masak apa, atau hal-hal lain. Mengirim foto cucu juga bisa digunakan untuk membangun koneksi secara emosional.

4. Mengirimkan hadiah pada mertua

Tidak ada salahnya juga mengirimkan hadiah ke mertua. Tidak perlu menunggu momen khusus. Misal, mengirimkan parsel makanan atau hadiah yang lain. Biasanya mereka akan merasa diperhatikan oleh kita.

5. Buat aturan dengan suami terkait keterlibatan mertua

Dalam kasus mertua yang terlalu terlibat, ini perlu ada komunikasi lebih lanjut dengan suami. Buat aturan dan batasan sampai mana orang tua boleh terlibat. Ini perlu dibuat kesepakatan di awal. Bagaimana cara mensiasati keadaan juga harus dibicarakan. Kalau ini sudah ada, menjalani konflik jadi jauh lebih mudah.

Penutup


Ada satu quote menarik yang ingin saya pakai untuk menutup tulisan ini.

"A mother give you a lifa, a mother in-law give you her life." - Amit Kalantri

Artinya, bukan hanya kita yang kesulitan untuk menyesuaikan diri. Beliau pun bisa jadi demikian. Karakter yang berbeda, budaya yang berbeda, dan banyak hal lain yang berbeda. Sama seperti kita yang diminta untuk berbakti padanya, beliau pun harus dipaksa untuk menerima dan menyayangi kita seperti anak sendiri. Padahal, sebelumnya kita tidak saling kenal, dibesarkan tidak, apalagi dilahirkan.

Comments