Assalamu'alaikum!

Perkenalkan, nama saya Aprilely Ajeng Fitriana. Kalian bisa panggil saya Lelly. Saya lahir di Malang pada tanggal 22 April 1991. Saat ini, saya tinggal di Bogor bersama suami dan anak saya. Blog ini adalah tempat saya mencurahkan segala pemikiran saya dari berbagai peristiwa. Bagaimana saya menghadapinya dan apa saja hikmah yang saya peroleh.

Memaafkan itu (Memang) Butuh Proses

Mar 22, 2021

memaafkan


"Udah, nggak usah diinget-inget," gitu kata Pak Su.

Mmm... Gimana ya. Maunya sih nggak diingat-ingat. Tapi keinget terus. Gimana dong?

Tahun 2021 ini kebetulan saya dapat konflik baru yang lumayan bikin oleng. Hampir tiap hari batin saya itu menggerutu dan ngomong judes ke orang yang menyakiti saya. Tapi, itu cuma dalam hati. Saya tidak menyampaikannya langsung.

Kenapa?

Ya ngapain? Kata-kata yang disampaikan dalam kondisi marah amat sangat memungkinkan untuk menyakiti orang lain. Dan, saya nggak mau seperti itu. Kalau saya lakukan, artinya, saya sama aja sama dia.

Di sisi lain, menyakiti orang lain juga akan punya dampak ke diri sendiri. Hari ini, ketika saya nulis ini saja, kondisi saya belum sepenuhnya pulih. Betapa bodohnya diri ini kalau membuat luka baru di tempat yang lain. Bertingkah layaknya korban, tapi di sisi lain saya mempertahankan belati itu untuk terus menyakiti diri sendiri.

Memaafkan Adalah Bentuk Mencintai Diri Sendiri

mencintai diri


Sejak saya menulis tentang toxic parents, saya banyak menerima email curhatan dari banyak anak yang mendapati perlakuan tidak menyenangkan dari orangtuanya. Ada yang berusaha untuk memaafkan diri sendiri. Ada yang berusaha untuk tetap berbuat baik dengan orangtuanya. Ada juga yang merasa bahwa dirinya terlalu baik untuk memaafkan mereka, mengingat segala bentuk kekerasan yang sudah dia terima.

Saya tidak bilang bahwa proses memaafkan itu mudah. Saya sendiri butuh proses panjang untuk akhirnya bisa memaafkan orangtua saya dan memaklumi mereka. Bahkan, menerima kehadiran mereka lagi. 

Iya, saya pernah ada di fase sama sekali tidak ingin bertemu mereka. Fase terparah adalah saya mulai mempertanyakan diri saya apakah saya akan lebih bahagia ketika mereka tidak ada. 

Sayangnya, semakin saya berharap mereka menghilang dari kehidupan saya, saya justru yang semakin terluka. Saya jadi jauh lebih sensitif ketika kontak dengan mereka. Bahkan, saya sering sekali mengalami psikosomatis. Sakit yang nggak jelas.

Saya bahkan tidak berharap orangtua saya ada di samping saya ketika saya melahirkan. Saya justru takut mereka semakin membebani pikiran saya ketika saya melahirkan Ghazy. Saya enggan disalah-salahkan dalam moment yang krusial dalam hidup saya.

Tapi, Allah punya rencana lain. Justru itu yang menjadi titik balik agar kata maaf terucap dari bibir saya. Agar kedua belah pihak mau sedikit menurunkan egonya dan memahami satu sama lain.

Hubungan kami tidak langsung membaik, tapi kehadiran Ghazy memang bisa menjadi pencair suasana di antara kami. Perlahan, rasa sakit atas segala hal yang orangtua saya lakukan, menghilang. Semua berubah menjadi pemakluman. 

Apa rasanya? Saya merasa hidup saya lebih enteng.

Dari apa yang saya alami, saya belajar bahwa ternyata maaf itu bukan untuk siapa-siapa. Ketika kita memaafkan orang lain, bukan berarti kita terlalu baik untuk mereka. Tapi, ini murni untuk diri sendiri. Menjaga diri sendiri agar pikiran bisa tetap sehat dan jauh dari penyakit hati.

Belajar Memaafkan dari Kisah Nabi Yusuf

memaafkan

Semakin belajar parenting, saya semakin tahu banyak kesalahan yang dilakukan oleh orangtua saya dalam mendidik saya. Banyak dampak yang membuat saya harus jatuh dalam lubang gelap berulang kali.

Saya menyalahkan segalanya. Saya marah. Bahkan, saya sering menangis sesenggukan ketika merasa bahwa diri ini adalah produk gagal dari pendidikan dan pengasuhan.

Sampai akhirnya, saya mendengar tausiyah Ustadz Salim Fillah tentang inner child. Beliau menyampaikan tentang kisah Nabi Yusuf. Ini kisah masa kecil yang begitu kelam. Hampir dibunuh saudara sendiri. Setelah selamat, bukan diasuh malah dijual. Bahkan, setelah itu masih difitnah dan masuk penjara meski terbukti benar.

Luka batin yang beliau rasakan bisa jadi tidak sebanding dengan apa yang saya rasakan. Saya tidak sampai hampir mati karena orangtua saya. Saya juga tidak diperjualbelikan oleh siapapun. Bahkan, saya tidak mendapatkan fitnah dari orangtua angkat saya. 

Kehidupan saya jauuuh lebih baik. Dalam segala luka batin yang pernah dialami, Nabi Yusuf mampu mengulurkan tangan untuk memaafkan saudara-saudaranya dengan ikhlas. 

Jujur, saya cukup tertampar dengan kisah ini. Kita pasti sering mendengar kisah Nabi Yusuf. Tapi, mana pernah terpikir oleh kita bahwa ini adalah role model untuk bangkit dari inner child. Role model untuk memaafkan segala kesalahan orang lain yang sudah jahat kepada kita.

Cara Memaafkan Orang Lain

memaafkan

Kisah Nabi Yusuf memberi banyak sekali pelajaran untuk memaafkan setiap orang yang menyakiti saya. Mengikhlaskan segala peristiwa dan mengambil hikmah darinya. So, kali ini saya ingin berbagi bagaimana cara saya untuk memaafkan mereka.

Well, saya tidak bilang bahwa saya bisa mudah untuk memaafkan. Tapi, setidaknya saya mau berproses untuk memaafkan orang-orang ini. Sekali lagi, ini bukan untuk mereka, tapi untuk kebaikan diri sendiri.

1. Beri Hadiah

Ini agak kontradiktif sih memang. Tapi ada keajaiban dari hadiah. Kasih aja ke orang yang pernah nyakitin kita. Lakukan dengan ikhlas. Memberi hadiah mampu menghapus benci menjadi cinta. Membasuh luka dengan kasih sayang.

Ingat, kita tidak sedang berusaha memaafkan untuk orang lain. Tapi, ini untuk diri sendiri. Tidak ada kata "terlalu baik". Ini untuk kebaikan sendiri.

2. Biar Allah dan Kita yang Tahu

Kita nggak perlu kok repot-repot bilang memaafkan, kalau itu hanya akan membuka luka lama. Biarin aja mengalir begitu aja. Biar Allah dan kita yang tahu kalau hati kita sudah memaafkan mereka.

Penutup

Saya nggak akan capek buat ngingetin semuanya bahwa memaafkan itu bukan untuk orang lain. Bukan karna kita terlalu baik untuk orang lain. Menyimpan sakit hati hanya akan menyakiti diri sendiri. Kalau mereka yang membuat kita sakit hati bisa hidup dengan lebih baik. Kenapa kita harus terus melukai diri sendiri dengan terus menerus menyimpan luka?

Comments

  1. Wah, benar sekali Mba. Dulu aku juga pernah seperti itu. Tapi justru perasaan kita yg semakin tertekan kalo liat tuh orang. Terus mulai belajar memaafkan. Sudah bisa dan benar jadi merasa ringan perasaan ini. Tapi untuk memberi hadiah? Duh, enggak dulu kali ya... hahahaha

    ReplyDelete
  2. Dear mbak Lelly,
    Saya sempat mengatai diri ini adalah produk gagal dari pengasuhan orang tua, rasanya susah gitu membikin emosi mereda ketika berhadapan dengan anak yg sedang berbuat sesuatu tidak pada tempatnya. Walaupun kelihatan anak hanya melakukan kesalahan sepele, tapi saya tidak bisa untuk tidak membentak atau mencubit kalau saya sudah terlanjur gemas. Saya rasa semua emosi yg saya punya karena tabiat orang tua saya (terutama Ibu) yang juga tak bisa kontrol emosi dalam hal berkarir dan mengasuh anak.
    Tapi saya beruntung punya suami yg bisa menyeimbangkan emosi saya, jadi saya belajar untuk tidak terbakar emosi saat berhadapan dengan anak. Sayapun belajar dari mertua yang dekat dengan anak-anaknya. Membuat saya punya harapan besar agar anak tumbuh tak seperti saya yang emosian, pun makin memotivasi untuk selalu menjadi sabar dan penyayang saat jadi orang tua.
    Semoga mbak Lelly tetap terus diberi kesabaran ^^

    ReplyDelete
  3. meski memaafkan bukan hal yang mudah tapi harus dilakukan ya Mbak, niatkaan semuanya kembali ke kita, kita menjadi baik dan lebih baaik lagi.
    ikhlas memaafkan pastinya akan membuat kita merasa tenang jugaa ya, meskipun sekali lagi mungkin bagi sebagian orang memaafkan tidak semudah yang kita katakan :)

    ReplyDelete
  4. Semoga Mbak Lelly sudah lega dan menjadi lebih baik setelah menuliskan kisah ini, ya.
    Saya sendiri sangat antusias belajar tentang ilmu yg berhubungan dengan pikiran dan mindset dan pernah baca bahwa di otak kita memang gak ada tombol "melupakan" seperti tombol delete di komputer. Makanya, kita bisa aja kadang ingat lagi masa lalu yg gak kita sukai. Itu wajar. Yang harus kita lakukan adalah menetralisir rasanya, pelan-pelan dengan memaafkan. Klo rasanya sudah netral, mau ingat berapa kali sehari pun insya Allah udah gak emosi lagi. Kalem aja rasanya. 🙂

    ReplyDelete
  5. Saya juga setuju bahwa memaafkan memang butuh waktu yang nggak sebentar. Padahal Allah itu Maha memaafkan. Tapi, saya bukan Tuhan. Dan saya nggak menolak itu. Ketika saya diminta memaafkan orang yang sudah berkali-kali menyakiti saya bahkan setelah berkali-kali juga saya maafkan, meski yang minta adalah orang tua sendiri, saya bilang udah cukup. Saya nggak mau dendam, nggak mau menyimpan kesal juga, dan saya nggak mau maki-maki orang juga. Tapi, saya juga nggak bisa tiba-tiba terlihat baik-baik saja. Masih luka, lukanya masih basah, lho. Ya Allah, rasanya berat banget. Saya akan menjauh, kurangi interaksi, dan bersikap 'aku udah cukup sampai di sini' kwkwk. Malah curhat di sini, kan :(

    ReplyDelete
  6. Bener mbak, aku juga bukan tipikal orang mudah memaafkan. Terbukti masih suka terpancing emosi kalo berkaitan dengan sesuatu yang membuat kita marah atau kesel sebelumnya. Namun, memikirkan kesehatan diri juga jauh lebih penting. Sebagai diri yang sudah lebih banyak belajar, akhirnya aku mencoba untuk belajar memaafkan. Walo kadang masih suka waspada hehehe..khawatir terpancing lagi. Menerima sebuah kesalahan memang berat apalagi kesalahan dari pengasuhan mbak. Same with me..semangat mbak buat kita semua.

    ReplyDelete
  7. Terima kasih sudah berbagi mba. Ini merupakan reminder bagi saya. Salam hangat.

    ReplyDelete
  8. Saya punya inner child yang lumayan menyedihkan akibat perlakuan ortu terutama ibu. Namun, ketika saya menikah, saya berjanji dalam hati, saat jadi ibu nantinya saya tidak boleh mengulang kesalahan yang sama pada anak-anak saya nantinya. Proses itu saya sembuhkan jauh sebelum saya menikah.

    ReplyDelete
  9. ah benar sekali mbak, memaafkan memang terkadang sulit ya
    aku terus terang suka sulit memaafkan, tapi kadang bisa maafin cuma g bisa lupain, hehe

    ReplyDelete
  10. Masha Allah mba saya ikut terenyuh membaca kisah nabi Yusuf. Saya termasuk orang yang kalau sudah nggak suka sama orang apalagi pernah disakiti, dendamnya terbawa sampeee lamaaa. Meskipun nggak ada niat buat bales perbuatannya ya tapi liat mukanya aja udah males duluan. Susah bener memang memaafkan itu. Ada istilah forgiving but not forgotten, tapi harusnya kita bisa lebih ikhlas dan let it go ya.. Bismillah..

    ReplyDelete
  11. Mba Lelly makasiii udah sharing ini, ya
    Sungguh bermanfaat banget insight-nya.
    daku juga berusaha keras untuk bisa memaafkan orang lain dan (terutama) diri sendiri

    ReplyDelete
  12. relate dengan saya, Mbak.

    Hingga saat ini saya masih berjuang untuk TIDAK melakukan hal yang sama seperti orang tua lakukan. Putri saya (remaja) sudah aware dan sesekali menyentil saya kalau saya kebablasan, meminta saya bersabar atau mengingatkan saya kok mirip dengan seseorang.
    Yah, semoga Allah ridha kita terus memperbaiki diri ya, Mbak.

    ReplyDelete
  13. Kalau untuk ngasih hadiah, kok aku mikir ribuan kali ya. Lihat kasusnya. Kalau parah, justru khawatir dengan dikasih hadiah dia malah ngelunjak. Banyak lo tipe2 orang begitu. Haha. Dan ku ogah berkontribusi menyuburkan ke-ngelunjak-an nya.

    ReplyDelete
  14. Saya mudah memaafkan, tetapi sulit melupakan. Gimana tuh, Mbak? Sudah berusaha melupakan, tetapi tiap kali ketemu, kejadian yang sama berulang dan memaksa saya mengingat yang lalu-lalu.

    Saya sih bisanya cuma nangis aja. Ngga kebayang kalau saya tipikal orang yang mudah meluapkan dengan kata-kata, pasti bakal lebih buruk efeknya. Alhamdulillah, masih dibantu sama Allah dengan ngga tiap hari ketemu.

    ReplyDelete
  15. Memang engga mudah ya melupakan hal-hal yang bikin engga enak di hati. Bisa memaafkan, tapi engga lupa...Eh...apa kebalik ya...
    Tapi seiring waktu, pudar sih...Lama-lama ya lupa...

    ReplyDelete
  16. setujuuuu banget Mba Lelly. Aku juga mikir kalau memaafkan adalah bentuk perhatian kepada diri sendiri, akrena dengan memaafkan batin jadi lega dan ga ada dendam atau amarah yang justru bikin hati jadi kotor

    ReplyDelete
  17. Kisah Nabi Yusuf memang bagus banget untuk dijadikan inspirasi dalam hal memaafkan. Beliau yang begitu pedih menjalani hidup bisa begitu legowo yaa. Iya sih,butuh proses. Berkali2 saya buktikan juga setelah melewati proses itu jadi bisa lebih legaaa

    ReplyDelete
  18. Makasaih sudah sharing, Mbak Lelly. Terima kasih juga sudah bersedia memaafkan dan memperbaiki hubungan dengan orangtua. Saya sendiri sama ayah sampai sekarang berada dalam posisi tidak benci tapi juga tidak bisa mencintai. Semoga suatu saat saya bisa belajar memaafkan seperti Mbak Lelly.

    ReplyDelete
  19. Sharing yang sangat bermanfaat, mbak.
    Memaafkan itu bukan hal mudah, meski bisa dilakukan.
    Saat ini pun saya masih berusaha banyak memaafkan, bukan melupakan, tapi supaya hati lebih lega.

    ReplyDelete
  20. Betul mbak Lelly, memaafkan sebenarnya benefitnya untuk diri sendiri, agar batin lebih damai. Agar luka sembuh, kita kembali meminta kepada-Nya agar bisa berlapang dada

    ReplyDelete
  21. Terima kasih, Mbak Lelly. Saya dapat banyak pelajaran dari artikel ini. Betul, kalau kita terus-menerus menyimpan sakit hati kepada orang yang pernah menyakiti kita, yang rugi malah kita sendiri. Kalau kita memaafkannya juga untuk kebaikan kita sendiri. Salam sukses selalu.

    ReplyDelete
  22. Fase memaafkan itu memang berat sekali mba, tak semudah mengucapkannya. Apalagi jika hal yang terjadi pada diri kita sangat berat. Insya Allah niat untuk benar-benar berusaha memaakan diijabah oleh Allah sehingga nantinya diri kita akan diisi dengan banyak energi baik yang siap kita salurkan untuk orang lain.

    ReplyDelete
  23. Sulit dan membutuhkan proses yang tidak sebentar pasti yaa..
    Jeleknya, ketika kita menghindari, justru semakin banyak ujian yang dateng. Jadi konsisten melakukan satu per-satu agar bisa terlepas dari kenangan buruk masa lalu dengan siapa saja yang pernah menyakiti.

    ReplyDelete
  24. Wiwin | pratiwanggini.netApril 3, 2021 at 4:41 PM

    Bener banget, mba, memaafkan akan memberikan manfaat yang besar bagi diri sendiri. Bersyukur saya termasuk tipe orang yang mudah memaafkan orang lain. Demikian juga terhadap masa lalu yang pahit, saya memilih memaafkan.

    ReplyDelete
  25. Yang pasti memaafkan itu gak semudah menuliskannya. Kadang seolah sudah memaafkan tapi pas keinget masih kesel. Kalau uda maafin kan walau kenangan terlintas gak sakit lagi rasanya. Hehe

    ReplyDelete
  26. Masing-masing kita memiliki innerchild ya Mbak,, sy jg punya meski dg case yg berbeda. Makanya sama anak sy dan suami berusaha menerapkan pengasuhan yang bahagia agar anak² bs tumbuh di lingkungan yg bahagia pula. Nixe share Mba

    ReplyDelete
  27. Akan aku coba beri hadiah pada orang yang ngomong di belakang aku. Awalnya aku kesel banget sih, sekarang ini udah biasa aja. Karena aku mengurangi interaksi hihi

    ReplyDelete
  28. Mbak lelly ya Allah kok sama ceritanya, aku juga mau nulis begini tapi ku masih mikir2 karna aku juga lagi proses memaafkan. .masih ada luka batin yang pelan2 aku harus belajar memaafkan walau up n down

    Sungguh gak mudah, tapi itu tadi aku pernah juga dapat sharing dari kak Nandhira kalau aku juga kena inner child ku yg bikin aku seperti ini. .jalan satu2 nya emang memaafkan

    Kalau minta maaf gak tersampaikan, kita baca alfatihah dan emang terus berbuat baik kepada org tsb walaupun masih ada luka batin

    Bisa kah aku nulis pengalaman ku juga kayak begink di blog ku, hiks samaan ceritanya. .ku kira cuman aku aja

    ReplyDelete
  29. Masya Allah, tulisannya membekas banget kak. Aku yang sering menyimpan luka emang rasanya malah menyakiti diri sendiri. Bahkan pernah dititik cape banget dengan semua luka itu :")

    ReplyDelete