Assalamu'alaikum!

Perkenalkan, nama saya Aprilely Ajeng Fitriana. Kalian bisa panggil saya Lelly. Saya lahir di Malang pada tanggal 22 April 1991. Saat ini, saya tinggal di Bogor bersama suami dan anak saya. Blog ini adalah tempat saya mencurahkan segala pemikiran saya dari berbagai peristiwa. Bagaimana saya menghadapinya dan apa saja hikmah yang saya peroleh.

Unpredictable Honeymoon #3: Senyum yang Tersungging di Atas Kaki Gempor

Nov 6, 2018



“Mas, bangun Mas. Cepetan bangun.”
“Hmmm..”
“Ayoo bangun, udah subuh nih.”

Alarm saya berbunyi tepat ketika adzan subuh untuk area Bali berkumandang. Masjid tempat kami tidur semalam juga sudah dibuka. Lokasinya masuk ke dalam dari pintu gerbang. Maunya saya sih, masuknya naik mobil aja. Jadi nanti setelah sholat bisa langsung mandi di masjid. Tapi Mas menolak. Katanya, jalan saja biar lebih sehat.

“Ayooo cepetan. Aku udah kebelet pipis ini.”

Sudah menjadi kebiasaan ya. Bangun pagi minum air putih lalu buang air kecil. Kebiasaan ini rupanya terbawa bahkan ketika saya di lokasi yang tak memungkinkan semacam ini. Lokasi toilet juga bisa dibilang tidak mudah untuk dijangkau. Mau tidak mau harus jalan kaki cepat-cepat ke masjid. Bukan hanya untuk Sholat Subuh saja tapi juga untuk buang air kecil.

Pernah tidak kamu menahan pipis dalam waktu yang lama, lalu ketika sudah mau pipis tiba-tiba keluar sedikiiiit sekali. Pernah? Itu yang saya alami saat itu. Baju ganti jauh di mobil. Jamaah sholat juga sudah mulai. Beruntung saya selalu membawa celana dalam cadangan di dompet toiletries. Buru-buru saya amankan dulu sebelum sholat subuh. Setelah itu, saya mengambil air wudhu untuk sholat subuh. Sholat berjamaah subuh itu sudah hampir selesai, sedangkan saya masih wudhu. Ya sudahlah, kalau nggak kebagian sholat sendiri aja.

Eh, ternyata ada imam ganteng yang lagi nungguin saya sedari tadi. Hehehe....



“Lama ya?”
“Kenapa?”
“Celanaku kena pipis. Untung bawa cadangan tadi, kalau nggak....”
“Ya udah, abis sholat aku ambil mobil.”

Ada hikmah dari setiap kejadian. Gara-gara kena pipis, saya nggak usah balik ke depan untuk ambil baju ganti di mobil. Ada suami yang mau dengan sukarela membawakan mobil untuk parkir lebih dekat dari pintu masuk masjid.

Begitu mobil datang, saya langsung siapkan baju ganti untuk saya dan suami. Lengkap dengan perlengkapan mandi masing-masing. Ini agak drama sih, suami saya nggak ngeh kalau kami bisa mandi tanpa harus tunggu-tungguan. Padahal sebelum berangkat saya sudah tunjukkan kalau saya sudah siapkan beberapa botol kecil sabun mandi untuk kami. Akhirnya, kesiangan deh. Langit sudah semakin terang ketika kami selesai mandi dan siap berangkat ke pantai. Jadi yaaa... nggak bisa lihat sunrise. Orang udah terbit juga.

Pantai Matahari Terbit

Apa sih yang menarik dari Pantai Matahari Terbit? Ya matahari terbitnya. Nah, kalau ketinggalan kayak kami gini, apa serunya? Nggak ada. Wkwkwkwkwk.... Palingan ya cuma foto-foto bentar di sana. Tapi kalau mau menikmati keseruan lain, bisa tuh ikutin tour wisata di sana. Jadi, turis akan dibawa berkunjung ke tempat lain dengan starting point di Pantai Matahari Terbit. Saya lupa pilihan wisatanya apa saja. Emang nggak terlalu ngeh sih. 



Kami meninggalkan Pantai Matahari Terbit ketika waktu mulai menunjukkan pukul 7 pagi. Sudah lapar. Sudah bingung mau ngapain di sana. Tujuan kami selanjutnya adalah Pasar Seni Sukowati. Rencananya sih belanja sebentar di sana, sarapan di sana. Kalau kata google, estimation time arrive dari Pantai Matahari Terbit ke Pasar Seni Sukowati tidak sampai 30 menit. Tidak terlalu jauh. Harapan kami, begitu sampai sana pasar sudah buka. Tapi ternyataaaa...

Masih tutup saudara-saudara. Jadi, kami memang sengaja berangkat pagi karena ada banyak tempat yang akan kami kunjungi hari itu. Spot-spot foto yang ada di Bali Utara. Kami menyusun jadwal juga dengan browsing kapan jam buka masing-masing destinasi wisata, termasuk pasar seni ini. Katanya, pasar seni ini sudah buka pukul 07.00. Tapi ternyata informasinya sudah tidak valid saudara-saudara. Kami menanyakan ke Bapak Penjual Nasi Campur Muslim yang ada di dekat pasar.

“Pasarnya, buka jam 9 pagi.” 


Kepagian lagi. Rencana berubah. Sesampai di sana, kami cuma sarapan di Warung Nasi Muslim yang ada di sana. Lalu berangkat menuju Air Terjun Tegengungan. Lokasinya tidak jauh dari Pasar Seni Sukowati. Kami ikuti peta. Dan diantarkanlah kami pada jalur yang ditutup. Hanya motor saja yang bisa masuk ke sana. Sedangkan untuk mobil, yaaa nggak bisa masuk. Mau jalan kaki? Ada kali 4 km lebih. Tidak mungkin juga kami berjalan kaki ke sana meninggalkan mobil merah sewaan di tengah antah berantah. Areanya macam hutan-hutan begitu. Kalau di Jawa mungkin sudah jadi sarang begal.

Ada orang lewat yang bisa ditanyain. Suami saya turun untuk menanyakan jalan kepada beliau. Katanya, mobil memang tidak bisa lewat situ. Kami ditunjukkan arah menuju Air Terjun Tegenungan. Kebetulan jalan baliknya melewati Pasar Sukowati.

“Ini kayaknya udah buka nih pasarnya.” 



Duuuh... ngeselin nggak, sih? Tapi udah diniatin ke air terjun dulu, ya udah terabas aja. Pasarnya nanti dulu deh. 

Air Terjun Tegenungan

Ini adalah pemandangan yang kami ambil dari jalan menuju Air Terjun Tegenungan. Pengelola tempat wisata di sini membuat berbagai spot foto menarik untuk menarik pengunjung. Mereka membuat kerajian dari bambu yang disusun menyerupai bentuk hati dan sayap. Ada juga spot foto yang dibuat agar latar air terjun dan alam asri yang ada di sana bisa nampak jelas. Menarik.

Salah satu spot foto di Air Terjun Tegenungan

Ini bukan sekedar batu yang ditumpuk begitu saja ya


Selain itu, ada juga batu yang disusun. Sepertinya, penduduk sekitar sedang berlatih membuat patung dari batu yang disusun. Nama cabang seninya Balancing Rocks. Kalau di Jepang bentuknya tidak hanya batu yang disusun dari bagiana paling besar di bawah hingga yang terkecil di atas. Tapi batu-batu ini disusun dengan komposisi tertentu hingga punya bentuk yang menarik. Batu dengan ukuran besar bisa berdiri di atas batu kecil-kecil karena Sang Seniman telah mempertimbangkan keseimbangannya. Kerenlah.

Perjalanan dari tempat parkir menuju air terjun bisa dibilang tidak terlalu mudah ya. Ada banyaaaak sekali anak tangga di sana. kalau mau ke tempat air terjunnya sih masih oke ya. Tapi baliknya itu. Masyaa Allah. Ngelus dada bae. Jauh dan menanjak sekali. Lolos dari jeratan anak tangga itu rasanya haus banget. Maunya minum yang seger-seger, seperti es degan.

By the way, di Bali banyak anjing liar berkeliaran ya. Di tempat wisata seperti ini pun banyak sekali. Ini hal yang menyebalkan sih. Pasalnya, saya ini phobia dengan hewan-hewan berbulu, seperti anjing, kucing, dan kelinci. 



Puas berfoto-foto ria dan menikmati es degan dari batoknya langsung, kami pun kembali ke pasar untuk membeli oleh-oleh. Harapannya sih bisa beli banyak untuk keluarga. Tapi suami menolak beli kaos di sini karena pertimbangan bahan. Iya sih, bahan kainnya tidak sebagus kaos di Joger. Alhasil, kami ke sana hanya membeli daster dan mukenah Bali.

Sebelum belanja, saya sudah browsing harga dulu. Harganya berapa. Kalau mau beli di sini ditawar seberapa. Tapi waktu nawar langsung hmmmm nggak tega mau nawar sadis. Mau muterin pasar juga ogah. Kaki saya masih nyut-nyutan selepas naik tangga tadi. Jadi ya, saya beli harga final saja dengan penjual. Murah banget sih enggak. Mahal juga tidak. Lumayan lah.

Ini masih 3 tempat yang kami kunjungi, tapi rasanya sudah lelah sekali. Kaki sudah enggan diajak berjalan kaki lagi. Maunya goler-goler aja.

***

“Abis ini kita mau ke mana?”
“Museum Art.”
“Di mana?”
“Daerah Ubud.”

Di mobil saya sudah membayangkan akan berkeliling museum seni yang mungkin tidak terlalu luas. Asumsi ini masih ada hingga kami sampai di tempat tujuan. Tempat resepsionisnya tidak meyakinkan. Mewah sih meja resepsionisnya. Kamar mandinya juga mewah. Tapi banyak sekali lukisan-lukisan yang belum dipasang. Jadi mirip suasana rumah yang mau pindaha begitu.

“Ini bener museumnya? Jangan-jangan udah mau tutup nih.”
“Aku tanyain dulu deh,” kata suami saya.
Beliau pun pergi menanyakan ke resepsionis. Ini museumnya sudah buka apa belum, kalau mau masuk bagaimana, dan seterusnya. Ternyata buka saudara-saudara. Harga tiket masuknya Rp 100.000,-. Tiket ini sudah termasuk buku saku tentang museum ini dan free teh atau kopi yang bisa dinikmati di cafe.

Oiya, nama museumnya Agung Rai Museum of Art (ARMA). Di dalam buku saku itu, ada peta yang menggambarkan ruang linkup ARMA. Kaget banget. Saya kira tempatnya kecil. Ternyata luas sekali. ada banyak galeri-galeri lukisan yang di buat berdasarkan aliran lukisan masing-masing. Menarik sih. Dari lukisan tradisional sampai modern ada di sini. Teknik melukisnya pun beragam. Saya tahu sedikit-sedikit soal seni, jadi saya bisa jelaskan ke suami saya.

“Ini melukisnya pakai akrilik. Itu apa, Dek?”
“Oh, itu jenis catnya, Mas. Mudahnya, cat akrilik ini fusion antara cat air dan minyak. Hasilnya setajam cat minyak, tapi dia bisa dilarutkan menggunakan air.”
“Ini kok bisa gini ya, Dek?”
“Itu sih ngelukisnya nggak pakai kuas, Mas. Tapi pakai semacam spatula kecil begitu.”
“Ini buih-buihnya kok bisa nyata begini ya?”
“Kan cat yang dipakai kombinasi, Mas. Ada cat minyak, ada cat air juga. Sepertinya sih buihnya pakai cat air. Tahu kan kalau minyak dan air nggak bisa jadi satu. Jadinya ya begitu itu.”

Udah sok tahu tingkat dewa lah. Padahal, saya menjelaskan hanya dari apa yang sering saya lihat dari akun-akun art di Instagram atau Youtube. Berasa pakar. Padahal ya newbie. Oiya, foto lukisan yang kami jadikan topik obrolan mohon maaf tidak bisa dipasang di sini. Memang ada larangan untuk mengambil foto di dalam galeri.

Ada lukisan yang paling menarik bagi kami. Lukisannya sih sederhana. Hanya pemandangan sawah tradisional di Bali. Tapi Teknik melukisnya yang keren. Lukisan ini tidak menggunakan kuas. Catnya seperti diplotot-plototin langsung ke kanvas. Hasilnya seperti ada efek 3 dimensi yang dihasilkan. Seperti timbul begitu sawah-sawahnya.

“Gila. Ini ngelukisnya berapa tahun, ya? Mlototin cat ke kanvas begini pasti lama banget, kan?”
Saya tertawa saja mendengar komentar suami. Dia sudah jatuh hati betul dengan lukisan itu. Pingin dibeli katanya. Tapi mahal saudara-saudara. Lukisan itu terdiri dari 3 bagian lukisan yang dijadikan satu. Tiap bagian dilukis dengan teknik yang sama. Kalau meliha tingkat kerumitan lukisan itu, nggak mungkin dijual dengan harga miring. Pasti super mahal.

“Berapa duit sih? Sejuta? Dua juta?” sombong kali mas bojo ini. Nggak tahu rupanya harga lukisan bisa sama kayak harga rumah.
“Mana mungkin harganya segitu. Bisa puluhan juta kalau lukisan macem gini ini.”
“Oh, mahal, ya? Yaaa.. nggak jadi kalau gitu.”

Taman depan galeri Agung Rai Museum of Art

Agung Rai Museum of Art ini tidak hanya terdiri dari beberapa galeri lukisan saja. Tapi juga kesenian yang lain. Ada area untuk pertunjukan Tari Bali juga di sini. Ada cafenya. Ada sawahnya. Ada resortnya juga. Jadi kebayang kan luasnya area ini? Nggak usah khawatir kecapean ketika berkeliling area ARMA. Di beberapa spot area ini, sudah disediakan kursi untuk duduk. Ada di dalam galeri. Ada juga di taman depan galeri. Kalau mau lebih goler-goleran lagi, bisa ke cafe. Di sana ada tempat duduk lesehan yang bisa dipakai untuk memanjakan kaki sejenak. Masih belum cukup? Mau massage? Bisa. Di sini juga ada kok. Masih belum cukup juga? Mau kasur? Sok, ke resortnya aja. Jangan tanya harga ya. Bisa langsung cek sendiri aja di website pemesanan hotel.

Sawah di kawasan Agung Rai Museum of Art


Puas banget berkeliling museum. Kaki yang gempor juga makin nyut-nyutan gara-gara berkeliling museum seluas itu. Pas mau jalan ke cafe, ada bapak-bapak yang tersenyum kepada kami dan menunjukkan arah cafe.

"Kalau mau minum di sana ya.."

Saya nggak kenal beliau siapa. Tapi suami saya tahu.

"Pak Agung ya?"
"Iya."
"Boleh minta fotonya, Pak?"
"Boleh boleh. Silahkan."

Foto bareng Pak Agung Rai, pemilik museum


Suami saya udah foto begitu. Saya masih nggak dong bapak tadi siapa. Saya kira kenalan suami. Ternyataa...

"Itu kan tadi Pak Agung Rai. Pemilik museum ini."


Comments

  1. Skrg ada 2 anak kl musti jalan2 naek turun tangga nyerah deh.. hahahah.. dulu anak 1 masih ok, sekarang dah 2 aduuh capeeeee yg ada nanti ngga nikmatin jalan2 jadi beneran hrs di plan banget mau kemana & fasilitas buat anak2 apa kalau jalan2 :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wkwkwk... Jangankan ada anak mbaak yang bawa badan sendiri aja kewalahan. Saya didorong suami biar cepet sampek atas. Wkwkwkwk...

      Kalau bawa anak sih enakan main ke pantai sih. Tapi kalau mau ngebolang tanpa buntut ya bisa ke mana-mana.

      Delete
  2. Wah seru honeymoonnya. Semoga samawa ya mba. Saya baru tau bali ada beberapa destinasi diatas. Saya ke Bali pasti ke GWK, ubud, sanur ya situ2 aja. Mau ke tulamben aja belum kesampean wkwk. Makasih sharing destinasi wisatanya mba.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin yaa rabbal alamiin..

      Samaaa.. Eike juga baru pertama kali ke sana. Suami tuh yang nemu. Liat dari google map. Random sih. Wkwkwk..

      Delete
  3. Seruuu banget pengalaman honeymoonnya. Jadi pengen honeymoon lagi. *eh

    ReplyDelete
  4. Ya Allah, panjang ya ceritanya. Ampe ngos ngosan. Seru

    ReplyDelete
  5. Honeymoon unforgetable moment ini mah namanya
    😀😊

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak, saking banyak ngaconya sih jadi keinget terus. Wkwkwk...

      Delete
  6. Bali jadi destinasi untuk honeymoon..ah so sweet mb, jadi pengen lagik

    ReplyDelete
  7. Aaakkkk co cweettt! Suka banget gaya tulisannya mba. Sukak sukak sukakk

    Btw itu gambarnya bikin sendirikah?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasi, Mbak.

      Enggak Mbak kalau gambar, pakai sticker aja.

      Delete
  8. dari judul sudah menarik, isinya pun ngalir.... dan kayaknya baper deh pengen honeymoon hehe

    ReplyDelete
  9. Hihi seru banget bacanya Seneng lihat foto pemandangan cantik ditambah ilustrasi yang kece.

    ReplyDelete
  10. Waah, asik mbak... Pemandangannya juga kereen. Jadi pengen honeymoon lagi. Hihihi...

    ReplyDelete
  11. Ngalirrrrr baca ceritanya.. ehhh tiba2 udah abis aja hihiii...

    ReplyDelete
  12. Cuit-cuiiit..kwkwk. selama ada kamu semua tetap seru-seru aja kok :D *apa sih

    ReplyDelete