Assalamu'alaikum!

Perkenalkan, nama saya Aprilely Ajeng Fitriana. Kalian bisa panggil saya Lelly. Saya lahir di Malang pada tanggal 22 April 1991. Saat ini, saya tinggal di Bogor bersama suami dan anak saya. Blog ini adalah tempat saya mencurahkan segala pemikiran saya dari berbagai peristiwa. Bagaimana saya menghadapinya dan apa saja hikmah yang saya peroleh.

Ngapain Sekolah Tinggi Kalau Cuma Jadi IRT?

Feb 20, 2019

Ngapain Sekolah Tinggi Kalau Cuma Jadi IRT?

Kurang dari seminggu saya mau resign, ada mahasiswa yang datang ke ruangan saya. Dia ini anak bimbing saya di Program Mahasiswa Wirausaha. Jarang curhat sih. Tapi kalau sekali curhat banyak.

“Bu Lelly mau resign ya?”

“Iya.”

“Kapan, Bu?”

“Per tanggal 1 Agustus.”

Dia kemudian bercerita tentang kegalauannya untuk melanjutkan sekolah lagi. Katanya, saya adalah salah satu contoh bahwa perempuan itu tidak perlu menempuh Pendidikan yang terlalu tinggi. Pada akhirnya, perempuan akan kembali ke keluarganya. Dibilang begitu dia jadi galau. Haruskah dia melanjutkan kuliah lagi?

Saya ketawa aja dicurhatin begitu. Lalu, saya sampaikan ke dia tentang apa sih peran perempuan ketika dia menikah. Peran ini yang kemudian akan menjawab secara tidak langsung seberapa penting sih perempuan itu terdidik dan tidak. 

Support System Suami

Support System Suami


Setelah menikah, jangan dikira bahwa segalanya akan lebih mudah dibanding ketika kita masih melajang. Ada tantangan baru yang harus ditaklukkan sebelum anak lahir di tengah-tengah keluarga kecil kita, yaitu menjadi support system suami.

Seorang istri akan hadir untuk menjadi supporter terdepan suami. Dia yang akan membantu suami bagaimana sih agar bahtera itu bisa sampai ke tujuan yang diinginkan. Bagaimana menciptakan rumah agar tetap nyaman dan aman? Bagaimana mendidik anak-anak nanti? Pendidikan apa yang ingin diterapkan? Pola asuh seperti apa yang ingin dijalankan? Dan masih banyak lagi.

Besar kecilnya tugas support system ini akan amat sangat bergantung dari suami. Waktu awal saya menikah dan pindah ke Bogor, saya langsung dikader oleh suami. Saya dibawa keliling Bogor, diberikan tugas-tugas yang membantu saya untuk kenal beberapa daerah di Bogor. Ini karena suami saya tidak bisa antar jemput saya ke mana saja setiap saat. Beliau kerja di Jakarta. Setiap hari harus pulang pergi Jakarta Bogor, tidak mungkin kalau jadi sopir pribadi saya.

Sistem di dalam rumah juga kami susun bersama. Begitu saya masuk sebagai anggota dalam rumah, tentu akan ada perubahan-perubahan yang terjadi. Tidak bisa suami saya menggunakan ritme yang dulu. Begitu pula dengan saya. Maka, kami buat beberapa kesepakatan untuk memudahkan kami berdua. Ini untuk hal apa saja ya. Pembagian tugas di dalam rumah. Jadwal kegiatan kami. Bahkan perihal manajemen rumah dan keuangan kami bicarakan berdua. Jadi, kami sama-sama tahu tantangan yang dihadapi itu apa. Oya, rencana ke depan apa juga kami bicarakan.

Dalam topik yang seberat itu, biasanya kami akan berbagi ilmu yang sudah kami pelajari dulu sebelum menikah. Kami saling berbagi satu sama lain. Semuanya butuh ilmu. Semuanya butuh untuk terbiasa berpikir, menganalisa dan memecahkan masalah dari akar. Dan yang begini akan beda dengan orang yang tidak pernah menempuh Pendidikan sama sekali. 

Al Ummu Madrasatul Ula

Al Ummu Madrasatul Ula


Setelah menikah, ada amanah lain yang Allah berikan kepada kita, yaitu menjadi ibu. Ini adalah tugas besar kita. Dari seorang ibu, anak mengenal dunianya. Dari seorang ibu, anak bisa kenal Tuhannya. Dari ibu juga, anak belajar bagaimana harus bersikap hingga karakternya terbentuk dengan sendirinya.

Mungkinkah semua hal itu bisa didapatkan anak ketika ibunya sendiri fakir ilmu?

Sebelum menikah, saya banyak mengamati pola asuh anak dan perkembangan kecerdasan anak. Ini bukan ke dia bisa ngomonb umur berapa dan lain sebagainya. Tapi bagaimana kemampuan anak untuk mengidentifikasi sesuatu pada usianya.

Ternyata, orang tua yang punya kurikulum yang jelas untuk mendidik anak, hasilnya akan beda dengan mereka yang tidak punya rancangan sama sekali. Bahkan sering trial error ke anak. Itu beda.

Ada 4 komponen yang akan membantu proses berpikir manusia. Ada otak, ada alat indera, ada fakta yang terindera, dan ada informasi sebelumnya yang diberikan. Masih ingat tidak bagaimana Nabi Adam bisa mengenal semua benda? Di Alquran dijelaskan bahwa Allah-lah yang memberitahukan nama-nama benda itu. Bandingkan dengan malaikat yang tidak diberi tahu, ya nggak bakalan tahu.

Anak pun demikian. Informasi awal datang dari ibu. Seberapa besar anak punya banyak wawasan, ini tergantung dari seberapa banyak ibunya memberikan informasi tersebut. Masalahnya, orang terlalu banyak beralasan ketika menyentuh ranah ini.

“Aku bukan Nia Ramadhani yang punya banyak pembantu yang bisa handle ini itu.”

Baiklaaah… terserah sih. Setiap ibu punya prioritas yang berbeda. Kalau saya sih, anak yang lebih penting. Mau dia jadi kotor atau ruman berantakan itu nomor sekian. Hal yang paling penting adalah memastikan bahwa dia belajar dari berbagai macam aktivitas bersama ibunya.


Paradigma di Masyarakat

Paradigma di Masyarakat


Sebetulnya, saya dulu termasuk orang yang menyangsikan hal tersebut. Bua tapa kamu kuliah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya jadi ibu rumah tangga. Kenapa? Karena begitulah yang saya lihat di lingkungan sekitar saya. Orang yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga, maka berhenti pula aktivitas publiknya. Apa yang dia urus hanya soal dapur, sumur, kasur. Kalau semacam ini, ya memang buat apa punya Pendidikan tinggi.

Soal Pendidikan anak? Saya nggak lihat itu juga sih. Setelah anak tumbuh agak besar dan bisa dimarahi, maka anak yang jadi korban. Sabetan, pukulan, cacian masuk semua ke telinga anak tanpa ada jeda sedikit pun.

Dari segi bagaimana memecahkan permasalahan juga beda lho. Kebayang kan? Ibu-ibu yang menyelesaikan masalah antar tetangga dengan ghibah sana sini atau ngeoabrak. Itu kan elegan banget.

Lalu, muncul pembandingnya. Wanita karier. Anaknya punya Pendidikan yang baik. Ketika menyelesaikan masalah juga nggak keburu emosi. Mungkin saking seringnya berhadapan dengan masalah.

Pandangan ini yang bikin ibu rumah tangga tampak tidak keren di mata dunia. Bukan karena statusnya yang tidak keren, tapi pelakunya yang membuat status ini jadi nampak nggak wow gitu.

Beberapa tahun kemudian, saya kenal dengan sosok ibu rumah tangga yang lain dari biasanya. Sosok yang begitu menginspirasi sekitarnya. Sosok yang layak untuk dijadikan role model. Tugas utama perempuan, yaitu al-umm wa rabbatul bayt (ibu sekaligus pengatur rumah tangga) dia jalankan dengan baik.

Pandangan saya pun berubah. Bukan statusnya yang penting. Tapi bagaimana seseorang menempatkan dirinya itu yang paling penting. Mau jadi wanita karier atau hanya berkarier di rumah, Pendidikan itu wajib didapatkan oleh perempuan. Proses ini tentu tidak hanya berhenti di bangku sekolah saja. Dia juga harus mau belajar ke segala penjuru negeri untuk memperkaya wawasannya dalam menjalankan amanah besar dari Allah.

Jadi, dari sini kita bisa sama-sama belajar. Seberapa penting pendidikan bagi ibu rumah tangga itu tergantung dari peran yang dia pilih dan ingin dijalani. Kalau hanya sekedar dapur, sumur, kasur, ya betul tidak butuh kok berpendidikan tinggi. Semua juga bisa menjalaninya. Tapi lain kalau kita ingin menjadi support system yang baik dalam keluarga dan ibu yang mampu mendidik anak-anaknya dengan baik. Semua itu butuh ilmu. Semuanya butuh pembiasaan untuk berpikir, menganalisa, dan menyelesaikan masalah secara tepat.

Kita boleh belajar dari mana saja. Tidak harus memang punya ijasah untuk membuktikan bahwa kita terdidik. Bukan legalitas hitam di atas putih sih yang penting. Tapi bagaimana sikap kita itu yang nantinya akan menunjukkan apakah kita orang yang berpendidikan atau tidak.



with love,



Comments

  1. Menarik mbak. Betul semua butuh ilmu, bahkan saya ikut komunitas agar ilmu makin terasah dan terarah dalam mendidik anak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, di komunitws kita jadi banyak banget masukan ilmu sih. semangat mbak :)

      Delete
  2. Saya juga yang termasuk merasa 'underrated' saat memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga. Banyak yang bilang gelar sarjana jadi nganggur kalo cuma di rumah doang. Mungkin maksudnya karena nggak dipake kerja kali ya, jadinya sayang. Semua kembali ke diri kita masing-masing sih, bagaimana kita menjalani peran kita sehari-hari. Dan menurutku perempuan nggak boleh berpendidikan terlalu tinggi (kemudian ada embel-embel biar laki-laki nggak sungkan) itu sih udah nggak jaman buanget hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, semua ilmu yang kita punya itu tergantung dari gimana kita makenya. kalau punya ilmu nggak dipakai ya buat apa.

      nah, kalau soal statement terakhir itu. itu sih buat laki-laki yang emang gamau belajar lebih aja. jadi dia macem udah ngepir duluan liat ceweknya yang ilmunya kece badai. terus minta ceweknya yang nurunin standar diri. lah ngapain?

      one day, kalau jodoh juga bakal nemu yanb bisa nyeimbangin dan diajak lari kok. ya kaaan?

      Delete
  3. Jangan salah, kerja di rumah ngurus anak itu tugas berat.. Jauh lebih berat dari deadline di kantor.. Jujur mbak, saya itu lebih baik disuruh lembur 2 hari 2 malam, daripada ngurus anak full 1 harian.. Karena emang pekerjaan itu tidak mudah..

    Saya berfikir, wanita emang lebih mulia di rumah.. Dan alhamdulillah, istri juga lebih suka di rumah.. Walaupun nantinya akan usaha kecil-kecilan tapi saya agak ridho bener kalau istri bekerja di kantor T.T

    Tapi saya sepakat untuk wanita menimba ilmu sebanyak-banyaknya untuk diterapkan di rumah..

    Cuma ya itu pandangan saya wahahahaha..

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mas, betul. intinya sih semua ilmu yang ditimba bisa diterapkan sebanyak-banyaknya.

      Delete
  4. Banyak yang mengira kuliah, apalagi sampai S2 itu hanya untuk cari kerja. Padahal, kuliah itu membentuk pola pikir. Ibu rumah tangga lulusan finance kan nggak bingung soal naruh duit di deposito, yang lulusan teknik akan terbiasa dengan alur kerja terstruktur ... dan yang penting, ibu-ibu kuliahan terbiasa dengan kebiasaan belajar (kerja kelompok, bikin paper, skripsi, kegiatan kampus) yang mana itu ditularkan pada anak-anaknya. Bukan berarti ibu yang nggak kuliahan nggak bisa mendorong anaknya menjadi berpendidikan ya. Tapi kalau sudah jadi kebiasaan selama 3-4 tahun, biasanya lebih mudah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. betul, pendidikan akan membentuk kebiasaan untuk berpikir. kemampuan ini juga yang bisa diturunkan ke anak. dulu, waktu saya kerja saya biasa menyusun kurikulum untuk mahasiswa. setelah menikah yang disusun adalah kurikulum keluarga. kebawa.

      Delete
  5. Yes
    Suka sama kesimpulannya
    Tindakan kitalah yg menunjukkan kita terdidik atau enggak
    Btw, suka sedih lhoh di zaman sekarang yg notabene kerja dr rumah tuh dah mulai mainstream, masih ada aja yg punya opini ngapain sekolah tinggi kalau... hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. karena adu agenda global sih mbak, untuk membuat ibu sibuk dengan dunianya dan meninggalkan keluarga. keberhasilan ditentukan semata-mata dari materi dan gimana dia bisa show off ke publik.

      Delete
  6. Awalnya sy ngajar di SD mba yg full day, tp ketika menikah sy pindah k SD negeri yang half day, jd maaih bisa mengurus rumah .Smpai anak k 2 msh di stu, stlh anak k 3, sy ngajar di kampus, tapi ambil jam malam, alasannya , biar anak2 kepegang, dan gantian jagain nya saat sy ngajar.

    ReplyDelete
    Replies
    1. boleh juga nih mbak. saya lagi kepikiran buat balik ngajar. tapi masih entah.
      makasi ya mbak

      Delete
  7. Keren bunda tulisannya... Jadi mau mewek lagi, saya pernah merasakan di awal-awal resign. Saya tidak ingin jadi IRT yang tidak bisa bermanfaat.

    Oleh karena itu, saya berusaha mencari komunitas yang mendukung hal itu. Alhamdulillah sekarang lebih merasa bermanfaat bagi keluarga dan berbagi sedikit-sedikit sesuai kemampuan yang dipunyai

    Terima kasih untuk reminder-nya lagi ya bunda

    ReplyDelete
    Replies
    1. sama-sama bun. jadi IRT itu nggak mudah. apalagi dengan pandangan masyarakat yang masih banyak melabeli IRT itu pengangguran tingkat dewa. kalau udah yang begitu itu, senyumin aja sih.

      Delete
  8. Stigma ini yang sangat saya rasakan ketika lulus, tetapi memutuskan untuk menjadi IRT. Keluarga banyak yang menentang, apalagi para perempuan di keluarga kami sebagian besar bekerja sebagai ASN.

    ReplyDelete
    Replies
    1. ini masalah sejuta IRT. sedih memang awal-awal memilih jalan hidup sebagai IRT. keluarga pasti mendesak banyak hal. saya bahkan pernah kepikiran untuk mengembalikan uang kuliah saya ke orang tua saya. wkwkwk...

      Delete
  9. Bagi kita, gak ada yang sia-sia ya mbak, apalagi ilmu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. betul. memang tidak ada yang sia-sia. apalagi belajarnya serius

      Delete
  10. Mamaku banget nih sekarang semenjak aku resign dan jd IRT tiap kali nelp nyindir gitu mulu huhu. Dulu baper sekarang aku bangga aku bilang blogger. Content writer hehe. Setuju mba kita support system suami dan madrasah pertama anak-anak

    ReplyDelete
    Replies
    1. samaaaa... makanya aku menghindari pulang sendiri. wkwkwk

      Delete
  11. Saya awal2 nikah juga dibilang gitu mba, bahkan sampai dinasehati, katanya sia2 ijazahnya cuma disimpan di lemari keluarga dekat lagi yang bilang, tapi lama lama gak ku urusin sih hehehehe. Memang benar sih cara didik dan pola pikir orang yang berpendidikan (bukan yang berijazah loh ya) pasti tetap berbeda mba , bagaimana menyikapi persoalan pasti juga berbeda

    ReplyDelete
    Replies
    1. ya kalau diurusin ya lelah mbak. hahaha..
      bukan mereka yang menjalani hidup kita. bukan mereka juga yang mempertanggungjawabkan semuanya. tapi kita.

      Delete
  12. setuju mbak, seorang ibu harus profesional dalam menjalankan amanahnya baik di ranah publik maupun di ranah domestik. Dan ketika seorang ibu memilih menjadi IRT pun tetap harus belajar berbagai ilmu untuk bekal dia membersamai anak, pun ketika seorang ibu memilih menjadi wanita karir juga tetap menyediakan kualiatas waktu untuk membersamai anaknya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. ya dong. semuanya itu butuh ilmu. ilmu yang membuat kita bisa memilih dengan bijak, mau jadi apa.

      Delete
  13. saya juga sempat mengalami ini ketika memutuskan untuk berkarier di rumah sebagai IRT. Tapi saya sudah niat lillahi ta'ala, ya sudah saya jalani saja dengan senang hati. Pasti tidak ada yang sia-sia dalam pandangan-Nya.

    ReplyDelete
  14. "Tapi bagaimana sikap kita itu yang nantinya akan menunjukkan apakah kita orang yang berpendidikan atau tidak.."

    Suka kalimat terakhirnya.
    Titik. hehheeehee

    ReplyDelete
  15. Pandangan ini yang bikin ibu rumah tangga tampak tidak keren di mata dunia. Bukan karena statusnya yang tidak keren, tapi pelakunya yang membuat status ini jadi nampak nggak wow gitu.

    Dari dulu saya selalu mencari alasan kenapa paradigma ibu rumah tangga itu tidak keren, mungkin pernyataan kalimat mbak Lely di atas bener banget. I know it now.

    ReplyDelete
    Replies
    1. karna memang ada IRT yang cuma kumpul di tetangga buat gosip ini itu. hidupnya hanya seputar dapur, sumur, kasur. tapi ada juga yang melakukan banyak hal. merancang kurikulum untuk anak, sibuk mengupgrade diri, dan berbagi melalui berbagai kesempatan.

      jadi, ini memang soal pelaku saja.

      Delete
  16. setuju mb, sosok ibu adalah sosok terkuat dan terlekat dengan anak. masa-masa emas anak gak bisa digantikan dengan apapun, pilihan IRT buat saya juga termasuk yang terberat, tapi juga salah-satu keputusan terbaik yang pernah saya ambil.

    ReplyDelete
    Replies
    1. betul, memilih adi iburrumah tangga itu sulit. tapi kalau sudah dijalani ternyata seru juga, kita jadi punya banyak waktu dengan keluarga dan belajar banyak hal.

      Delete
  17. Saya sepakat dengan tulisan ini mbak.
    Setelah berumah tangga, ada prioritas yang lebih utama daripada hanya karir di luar sana.Selain itu setiap aktivitas kita tentu dalam ridho sang Suami sbg imam dalam rumah tangga.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mbak, memang bukan berarti perempuan tidak bisa berkarir. tapi semua tergantung dari suami.

      Delete
  18. Mbak Lelly, inspiratif sekaliMasyaAllah..itu juga yang saya rasakan dulu. Pokoknya nanti aku nggak mau jadi IRT aja, udah kuliah tinggi tinggi mana cumlaude lagi masa cuma angon anak di rumah? Aku butuh aktualisasi diri. Tapi kini lia Julio bobok sambil nenen,aku makin bertekad untuk menjadimadrasah pertama dan utama baginya, memberinya pendidikan yang terbaik meurut aku di golden agenya. Dan jelas harus aku pendidik itu.InshaAllah bisa ya Mbak..

    ReplyDelete
    Replies
    1. memang sulit, tapi setelah dijalani, ternyata menyenangkan kok. nggak semembosankan apa yang kita lihat di lingkungan kita pada umumnya.

      Delete
  19. Pembahasan spt ini selalu menarik ya, Mbak. Saya pun pernah mengalami saat mau resign dan sesudah resign. Pandangan masyarakat sih yg menjadikan sosok IRT itu seakan tidak ngapa2in. Pun memang banyak di sekitar kita IRT yg seakan mandeg semangat belajarnya. Sayang sekali.

    Semoga dimanapun posisi kita, menjadi perempuan pembelajar dan produktif selalu jadi tujuan. Aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, jadi pikir ribuan kali kalau mau jadi IRT. ya karna pekerjaannya seakan cuma angon anak aja.

      Delete
  20. Benar mbak.
    Sikap kitalah yg menentukan, kita berpendidikan atau tidak, bukan legalitas ijasah kita.

    ReplyDelete
  21. Saya IRT, saya cuma lulusan SMP karena tersendat biaya. Orang tua ga sanggup menyekolahkanku sampai jenjang universitas. Tapi ... Saya tidak suka dengan stigma "Percuma sekolah tinggi kalau ujungnya jadi IRT"

    Menurut saya, seorang ibu juga harus memiliki bekal ilmu pengetahuan yang banyak. Karena ibu itu sekolah pertama bagi anak-anaknya. Jika ibu tidak memiliki pendidikan, bagaimana dengan masa depan anak-anaknya kelak?

    Dan yang mengherankan lagi, kenapa masih banyak orang yang memiliki stigma seperti itu😢

    ReplyDelete
    Replies
    1. ini karena perempuan diaruskan untuk bekerja meninggalkan keluarganya mbak. kalau bahas ini bisa satu postingan sendiri. hahaha

      Delete
  22. "Kita boleh belajar dari mana saja. Tidak harus memang punya ijasah untuk membuktikan bahwa kita terdidik. Bukan legalitas hitam di atas putih sih yang penting."

    Saya setuju dengan pernyataan ini. Betul sekali belajar itu bisa dari jalur mana saja. Formal maupun informal. Yang penting ilmunya terpakai, bukan ijazahnya terpajang.

    Memang benar, pendidikan mempengaruhi cara seseorang menyikapi masalah.

    Karena yang namanya berumah tangga udah pasti masalahnya seabrek-abrek. Apalagi kalau sudah muncul si kecil yang lucu nan menggemaskan, sekaligus kadang...ya tau sendiri lah.

    Saya suka miris kalau lihat orang tua yang dengan mudah mengutuk dan melabel anaknya nakal hanya karena dia 'nggak nurut' sama ortunya.

    Padahal, sering kali bukan anaknya yang nakal...ortunya aja yang kurang akal.

    Bukan begitu?

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, itu karna belum belajar parenting. kalau sudah belajar mereka pasti akan menganalisa lebih jauh. kenapa ya anak saya begini.

      Delete
  23. Setuju mba, ku bangga jadi IRT dan support system suami. Dan kurasa gak ada ilmu yang sia - sia karena secara tidak langsung membentuk pola pikir kita dalam menyikapi masalah.

    salam kenal mba

    ReplyDelete