Perjalanan menuju pernikahan itu sendiri juga nggak segampang Cinderella nemuin Pangeran
Tampan. Apalagi dengan bantuan sihir dari Ibu Peri. No! Ada kalanya kita harus
melalui jalan cerita yang penuh dengan lika-liku buat ketemu orang yang Allah
takdirkan untuk kita. Ada kalanya, kita harus gagal berkali-kali, patah hati
berkali-kali untuk belajar mencintai makhluk secukupnya saja.
Setelah
nikah juga nggak ngedadak jadi live happily ever after. Pernikahan
adalah lembaran hidup baru. Di dalamnya, kita bukan hanya siap untui bahagia bareng
pasangan, tapi pun berjuang bersamanya.
Saya jadi
inget wejangan dari sahabat saya sebelum saya menikah dulu.
“Kamu nggak
akan pernah nemu pria sempurna macem di kisah Cinderella. Setelah menikah juga
nggak ada itu happily ever after yang hidupnya bahagia terus, tanpa air
mata. Nggak ada yang begitu itu.”
Beberapa
orang bilang, bahkan urusan handuk aja bisa membawa air mata. Setelah nikah,
barulah saya paham kenapa begitu. Banyak hal sepele yang ternyata bisa jadi
pemicu drama antara suami istri kalau nggak ngerti gimana cara nyikapinya.
Perjalanan 1 Tahun Pernikahan
Nggak kerasa
ternyata pernikahan saya dan Mas udah menginjak usia 1 tahun. Ibarat bayi nih,
masih merangkak banget. Masih banyak sekali hal yang perlu kami pelajari.
Hari ini
saya justru ingin kembali mengingat perjuangan yang sudah pernah kami lalui
bersama. Berdarah-darahnya jadi istri Ghoffar Setiawan sampai hal yang paling
menyenangkan mendampinginya selama setahun ini.
Banyak orang
yang bilang bahwa 3 bulan pernikahan itu adalah masa-masa indah. Masa
honeymoon, masa kenal satu sama lain, semuanya kelihatan menyenangkan. Tapi
buat kami, justru itu yang paling menantang.
Setelah
menikah, saya masih terikat kontrak kerja dengan PENS. Artinya, saya harus
penuhi tanggung jawab saya sebagai dosen dulu sebelum saya resign. Satu bulan
berjibaku menyelesaikan pekerjaan supaya kalau saya resign yang meneruskan
mudah. Sibuk sekali itu iya.
Sedangkan
suami saya, masih ada pekerjaan di Probolinggo sana. Satu di Surabaya, satu
lagi di Probolinggo. LDM? Tidak. Selama kami bisa mengupayakan untuk bisa
sama-sama ya kenapa harus LDM?
Apa
konsekuensinya?
Ya jadi
gantian yang PP Surabaya-Probolinggo. Kadang saya, kadang suami. Kalau saya
nggak banyak aktivitas di kampus, saya PP Surabaya-Probolinggo. Berangkat dari
Probolinggo pagi, pulang ke Surabaya sorenya.
Capek nggak?
Jangan ditanya lagi gimana rasanya. Hahahaha. Pernah, saking capeknya saya
ketiduran di kereta terus kebablasan. Sedangkan suami saya, dia juga ketiduran
di mobil. Berharap saya datang dan bangunin dia. Ternyata ya gitu deh.
Epic banget
waktu itu. Bingung harus gimana karena udah larut malam dan saya perempuan
sendirian. Akhirnya, saya pilih turun stasiun terdekat, minta tolong petugas
untuk hubungi stasiun Probolinggo. Buat apa? Bangunin suami saya.
Amazing
bener deh.
Lepas dari
semua capek dan kehebohan itu, kami bahagia bisa kumpul jadi satu setiap hari.
Hal semacam ini mungkin nggak bisa dipahami oleh orang lain.
"Kok
mau sih?"
Ada masanya
juga saya harus ikut suami pindah dari satu kota ke kota yang lain. Itu setelah
resign. Itu juga masyaa Allah capeknya.
Ujian lain
datang dari orang tua saya. Ibu yang belum bisa menerima ditinggal kedua
anaknya. Saya ikut suami, adik kuliah ke Bangkok. Jadilah orang tua saya berdua
aja di rumah. Hal menyebalkan yang saat itu terjadi adalah justifikasi yang
terus menerus ibu saya lontarkan hanya untuk menenangkan dirinya.
Masya Allah.
Capek fisik. Capek hati. Beneran. Akhirnya, saya tumbang. Asam lambung naik.
Badan lemes-lemes. Mirip betul dengan orang yang hamil muda.
Waktu itu,
saya sempet GR kalau saya hamil. Faktanya nggak gitu. Hasilnya negatif.
Bulan-bulan berikutnya saya dihadapkan pada siklus PMS yang nggak biasa dari
sebelum menikah. Hampir tiap mau datang bulan saya sakit yang begitu itu.
Mual-muntah-lemes. Mirip orang hamil muda. Tapi lagi-lagi setiap testpack
hasilnya selalu negatif.
Apa rasanya?
Pingin nangis tiap kali lihat hasil testpack. Segala gejala yang saya alami itu
justru memupuk harapan yang begitu tinggi tentang kehamilan. Nyatanya, Allah
belum izinkan saya hamil.
Suami selalu
menenangkan. Bilang kalau kami masih bisa coba lagi.
Ini kenapa
saya sebel banget sama orang yang tanya apa saya udah isi atau belum? Kok
sampai saat itu saya belum isi juga? Hei kamu, kamu nggak tahu ya gimana
jungkir baliknya kami mengupayakan itu semua. Kamu nggak tahu apa yang selama
ini saya alami. Kamu nggak tahu rasanya di PHP sama tubuh sendiri.
Singkat
cerita, ketika saya sudah betul-betul berhenti untuk berharap dan menyerahkan
sepenuhnya ke Allah, rizki itu datang. Masyaa Allah, itu hadiah paling indah
yang hadir dalam pernikahan kami.
We’re Not Perfect
Kalau kita
mencari kesempurnaan yang ada pada pasangan, itu nggak akan pernah ada. Sulit
buat nemu laki-laki sempurna yang bisa memenuhi segala ekspektasi kita pada
pernikahan itu sendiri. Apalagi kalau pikiran kita udah mulai keracunan
film-film Princess Disney yang punya ending happily ever after dan drama
korea.
Suami saya
bukan orang yang sempurna. Kalau mau cari kesalahan dan kekurangannya dia,
banyak. Kalau mau cari hal menyebalkan dari dia, juga banyak. Begitu pula suami
saya pada diri saya. I’m not perfect too. Perjalanan satu tahun pernikahan ini
mengajarkan saya untuk lihat suami saya dari banyak sisi. Bukan hanya dari
kekurangannya aja.
Saya
sebetulnya suka gemes dengan postingan ibu-ibu yang menuntut suaminya ini itu
karena merasa sudah lelah ngurus rumah, anak, melahirkan, dan lain-lain. Kenapa
harus menuntut demikian? Bukankah kita punya ladang ibadah masing-masing?
Suami memang
nggak bisa sepenuhnya concern untuk urus rumah dan anak. Suami juga nggak bisa
melahirkan. Nggak ngerti beratnya melahirkan itu kayak gimana. Tapi buat saya,
ketika suami saya keluar rumah mencari nafkah yang halal, capek-capek menempuh
perjalanan Jakarta – Bogor selama 2 jam itu udah wow. Hilang sudah tuntutan ini
itu ke suami.
Saya capek.
Tapi saya juga tahu kalau suami saya pun sama lelahnya.
Alih-alih
lihat kekurangan suami, saya lebih memilih lihat bagaimana usahanya untuk
memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami. Bagaimana dukungan dia pada diri
saya. Bagaiamana upayanya untuk membantu saya meski dia lelah. Banyak hal baik
yang nggak bisa saya sebut satu per satu tentang suami saya.
Satu tahun
perjalanan pernikahan kami, mengajarkan saya hal ini.
“Kita bisa memilih untuk terus menerus kesal pada suami dengan terus melihat kekurangannya. Tapi kita juga bisa memilih untuk belajar memupuk cinta dengan melihat aneka kebaikan yang ada padanya.”
Bagaimana
cara pandang kita yang sejatinya akan menentukan sikap kita selanjutnya. Apakah
kita akan menghormati suami atau memandang remeh dirinya? Apakah kita akan
memperlakukannya dengan sepenuh cinta atau justru sebaliknya?
Saya yakin
bahwa setiap rumah tangga pasti mengharapkan sakinnah, mawaddah, dan rahmah.
Saya pun demikian. Tapi bagaimana caranya kita bisa meraih itu semua kalau
hampir setiap hari kita ribut terus dengan suami? Bagaimana caranya kita bisa
meraih itu semua, bila rumah tangga yang kita jalani serasa seperti neraka
untuk kita? Komunikasi nggak lancar. Satu sama lain saling nuntut. Dan masih
banyak lagi.
Lalu, apakah
dengan ini saya abai dengan kekurangan suami? Tidak. Saya belajar untuk
memperbaiki kekurangannya dengan menggunakan bahasa cinta. Mengajaknya untuk
berbenah dengan cara saya sendiri. Sama seperti bagaimana suami saya mendidik
saya.
Rumah tangga
yang kami bangun selama setahun ini bukan berarti tanpa riak sedikit pun di
dalamnya. Bertengkar antara yang satu dengan yang lain itu pernah. Menangis pun
pernah. Tapi biarlah itu semua jadi bumbu manis yang menghiasi perjalanan
pernikahan kami.
Sebuah Asa untuk Masa Depan
Saya tahu
bahwa perjalanan yang kami tempuh masih sangatlah panjang. Ada banyak alang
rintangan di depan yang harus kami lalui bersama. Saya hanya mampu berharap dan
berdoa agar kami terus diberikan kekuatan dan kewarasan dalam menghadapi
sejengkal demi sejengkal ujian yang Allah berikan untuk kami. Genggaman tangan
kami untuk menyelesaikan semuanya bersama bisa makin erat lagi.
Pernikahan
ini bukan hanya untuk mencari kebahagiaan satu sama lain. Tapi kami sungguh
berharap pernikahan ini bisa menjadi wasilah kami yang mampu mengantarkan kami
ke surga. Semoga Allah menguatkan langkah kaki kami untuk terus beriringan
meraih itu semua. Aamiin…
with love,
Benar perjalanan pernikahan sesungguhnya adalah setelah menikah begitu tinggal berdua dalam kolaborasi yang ciamik melalui proses yang nggak sebentar
ReplyDeleteBelajar terus soalnya..
DeleteSo sweet, ya, lihat foto-fotonya. Baru setahun nikah, Mbak? Alhamdulillah, itu mah lagi hangat-hangatnya.
ReplyDeleteMemang benar enggak ada tuh pernikahan Cinderella yang bahagia selamanya. Hanya di dongeng aja itu mah, hehe.
Saya juga merasakan liku-liku ketemu jodoh, udah nunggu lama, php, kecewa. Eh jodohnya tetangga sendiri, kakak kelas waktu SD. Jodoh memang g bisa ditebak. Contohnya diriku. Wkwkwk
Saya malah kebalikannya. Sama suami nggak pernah kenal sama sekali. Kenalan 6 bulan kok cocok, ya lanjut nikah. Hahaha
Deletehahaha makanya aku suka ngakak kalau ada anak muda yang bilang menikah itu indah2 aja perjalanannya
ReplyDeleteKebanyakan nonton drakor sepertinya.
DeleteJangankan yang baru menikah, yang sudah belasan tahun saja masih terus belajar berumah tangga. Karena pernikahan adalah sekolah sepanjang hayat buat para penghuninya.
ReplyDeleteBarokallah, semoga semoga samawa dan cepat dikasih momongan :).
Iya bener, mau berapa lama pun ya tetep kudu belajar. Kalau nggak mungkin akan kehilangan sesuatu dalam rumah tangganya. Nggak semuanya sih, makin tua makin mesra. Ada juga yang beranteeeeem mulu.
DeletePingin rasanya Heem :)
ReplyDeleteAlhamdulilah masih belum di kabulkan Allah, selalu gagal, setiap kegagalan pasti ada hikmahnya hehe lo kok malah curhat kwkekke
Semoga pernikahanya Samawa ya mbak :)
Aamiin yaa rabbal alamiin. Makasi yaa
Deletehappy 1st anniversary mbak..semoga selalu langgeng dan bahagia selamanya..selamat menikmati perbedaan yang disatukan :)
ReplyDeleteAamiin yaa rabbal alamiin. Makasi mbak.
DeleteKarena pernikahan salah satu bagian dari sebuah kehidupan di dunia fana ini, maka sudah pasti asam-manis pasti menerjang. Aku bisa merasakan bagaimana kehidupan pernikahan yang sesungguhnya itu. Namun, insyallah jika bisa saling berpangku dan bergandengan tangan segala hal yang menimpa pernikahan dapat dilalui. Tetap ikhlas dan sabar ya, mba.
ReplyDeleteiya, asal keduanya mau fight in syaa Allah ya bisa.
DeleteInsya Allah selama kedua pasangan memegang komitmen pernikahan dan saling setia dalam menghadapi aneka cobaan, ada happy ending yg Allah berikan dalam suatu pernikahan. Aamiin.
ReplyDeleteada kesulitan dan kemudahan ya mbak. and that's true. ngalami sendiri gimana wownya itu.
DeleteLanggeng sampai maut memisahkan ya mba, aamiin.
ReplyDeletekalau bisa sih sampai ketemu di surga mbak. hehehe...
DeleteBukan tanpa alasan pernikahan disebut; ibadah sepanjang hidup/ibadah terlama. Ya karena memang proses 'takbir' ke 'salam' selama masih bernafas (dan bersama), bener ga kak? ^_^
ReplyDeleteiya, pasti nggak mudah. kita yang sholat cuma beberapa menit aja adaaa aja ujiannya. yang ngedadak inget cucian lah, inget kunci yang ilang. apalagi menikah.
DeleteTerharuuu banget mbaa, aku bacanya. Apalagi pas di bagian suami juga butuh untuk dimengerti lantaran pengorbanannya mencari nafkah sampai menempuh jarak yang cukup jauh. Jadi, enggak mesti melulu istri yang ngeluh soal rumah dsb. Penting nih!
ReplyDeleteSebagai perenungan juga, supaya kita sebagai istri tentunya tidak termasuk dalam golongan yang kufur nikmat. Dan, selalu bersyukur atas jerih payah yang sudah suami kerjakan untuk menafkahi kita dengan rizki yang halal.
Please deh, tisu mana tisuuu...
iya mbak, kan yang susah itu sebetulnya keduanya. kerja itu capek, ngurus rumah juga capek. tapi misal posisinya dibalik dengan porsi yang sama, kita juga belum tentu bisa sih.
Delete