Assalamu'alaikum!

Perkenalkan, nama saya Aprilely Ajeng Fitriana. Kalian bisa panggil saya Lelly. Saya lahir di Malang pada tanggal 22 April 1991. Saat ini, saya tinggal di Bogor bersama suami dan anak saya. Blog ini adalah tempat saya mencurahkan segala pemikiran saya dari berbagai peristiwa. Bagaimana saya menghadapinya dan apa saja hikmah yang saya peroleh.

Ketika Long Distance Marriage (LDM) Jadi Pilihan

Apr 12, 2019



Dari zaman sebelum nikah, saya sudah declaire kalau saya nggak mau mengalami yang namanya Long Distance Marriage (LDM). Saya punya visi misi sendiri keluarga saya mau dibawa ke mana dan visi misi itu nggak akan klop kalau kami harus terpisah jarak. Karena nggak mau ini, saya jadi ultra selektif memilih laki-laki yang akan mendampingi hidup saya. Waktu itu, saya ingin terus stay di Surabaya, menjalani segala kehidupan saya sebagai dosen di sana. Jadi, kalau ada lelaki di luar Surabaya yang ditawarkan ke saya, jawabannya tentu saja tidak.

Dan memang, saat itu belum ada yang nawarin. Saya bilang duluan sih kalau pingin stay di Surabaya, nggak mau LDM juga, jadi prioritas utama lelaki yang kerja di Surabaya juga.

Qadarullah, dikenalin sama suami. Dan entah kenapa, dari sejak baca CV suami, udah nggak terlalu worry karena saking banyaknya persamaan latar belakang kami dan pola pikir kami. Sayangnya, dia tinggal di Bogor dan kerja di Jakarta. Itu mayan sempet bikin galau juga sih. Mau nggak ya? Mau nggak ya?

Tapi akhirnya, saya pilih untuk kenalan dulu, berproses dulu. Nggak tahunya klop banget dan beneran sepakat buat nikah.

Perjuangan untuk Tidak LDM

PR-PR lain kemudian datang. Saya harus resign kalau nggak mau LDM. Awal-awal nikah, karena saya belum resign, jadilah pindah-pindah tidur. Seminggu nginap di Surabaya. Seminggu nginap di Probolinggo. Kebetulan, suami lagi ada proyek di sana. Beneran amazing. Lelah luar biasa demi tidak LDM.

Itu baru hidup agak normal setelah bulan kedua nikah. Kami tinggal di Bogor. Tapi tantangan datang dari cerita lain.

Banyak yang bilang kalau 3 bulan pertama itu masa-masanya bulan madu. Menikmati masa pacaran berdua. Yes, ada sisi begitu. Tapi ujiannya juga ruar biasa gengs.

Alhamdulillah, dari segala perjuangan itu, kami bisa bertahan untuk tidak LDM. Nggak mudah lho menjalani semuanya. Bertahan untuk nggak ikutin kata orang lain dan kekeuh dengan pilihan kami.

Ketika LDM Jadi Pilihan, Ini Alasannya

Well, lepas dari jungkir baliknya bertahan biat nggak LDM, ternyata nggak semua pasangan yang baru menikah bisa memilih jalan hidup semacam itu. Kali ini, saya akan sedikit bahas tentang beberapa alasan yang dipilih oleh para pejuang LDM

1. Kondisi yang Belum Memungkinkan untuk Bersama

Ini alasannya beragam juga sih. Bisa jadi karena salah satunya dapat beasiswa ke luar negeri. Keluarga belum bisa dibawa karena yang sekolah harus urus dulu keperluan keluarga yang mau nyusul, sebelum bener-bener bisa jadi satu lagi.

Atau mungkin, karena salah satu pasangan harus ditugaskan ke kota lain untuk sementara waktu. Atau karena di tempat tujuan suami tinggal belum ada rumah tinggal macem kasus yang sekolah atau kerja di luar itu tadi.

2. Kondisi Ekonomi yang Lebih Memungkinkan saat Menjalani LDM

Ada juga yang begini. Istri tinggal di kota kecil dengan biaya hidup yang nggak tinggi-tinggi amat. Lalu, suami kerja di kota besar macem Jakarta yang gaji besar, tapi biaya hidup juga besar.

Kalau pilih stay di satu kota, ngoyo banget karena kebutuhan ekonomi yang memang betul-betul besar. Kalau di kota kecil, gaji jelas kecil. Kalau sama-sama diboyong ke kota besar, biaya hidup membengkak.

Dilema yak. Kondisi macem gitu itu serba nggak enak. Siapa sih yang mau LDM? Mereka menjalani LDM juga penuh perjuangan. Tapi mau jadi satu kota juga nggak memungkinkan karena kebutuhan hidup mereka yang memang besar.

3. Suami Kerja di Tempat yang Tidak Memungkinkan untuk Diikuti Keluarga

Nggak ada yang mau LDM, tapi kalau ternyata jodoh kita kerjanya di tengah hutan atau tengah laut yang nggak memungkinkan buat jadi satu? Apalah daya selain nerima semuanya kan?

Biasanya orang-orang macem gini akan kerja selama beberapa pekan full, lalu free selama beberapa hari. Misal, 3 minggu kerja, 1 minggu off. Ya seminggu ini aja mereka bisa pulang dan temu kangen sama keluarganya.

4. Keduanya Bekerja di Tempat yang Berbeda

Kondisi keempat ini kalau saya boleh bilang sih, nggak urgent banget. Dan amat sangat memungkinkan untuk diupayakan. Masalahnya adalah tinggal bagaimana mengelola ego masing-masing. Jelas ya, salah satu harus mengalah untuk ikut salah satunya untuk menghindari LDM. Tapi, nggak semuanya yang punya alasan begini ini beneran bisa melakukannya.

Yes, semua orang ketika merintis karier jelas punya pengorbanan masing-masing. Susah ya, kalau kita bener-bener berjuang dari titik nol banget terus harus melepas semuanya.

5. Pihak Perempuan yang Tidak Memungkinkan untuk Pisah dengan Keluarganya

Ini juga ada contohnya. Alasannya macam-macam. Ada karena dia anak tunggal. Ada juga yang memang orang tuanya sakit. Ini kondisi yang agak ruwet nih karena melibatkan orang tua.

Namanya orang tua, biasanya sih akan merasa kalau keputusannya selalu yang paling baik untuk anak. Ya karena mereka sudah hidup lebih dulu. Padahal, zaman berubah, tantangan zaman juga berubah, dan yanh terpenting bukan mereka lho yang menjalani hidup, tapi pasangan yang bersangkutan.

Kalau karena anak tunggal, anak yang dieman-eman, ini mesti ada dialog lebih sih. Setelah menikah, ketaatan yang lebig utama pindah ke suami. Secara hak preogatif, suami yang lebih punya hak. Tapi kadang, nggak semua suami bisa tegas untuk ambil langkah lobby-lobby mertuanya karena banyak hal.

Kalau karena orang tua yang kondisinya semakin lemah, bisa lho diajak diskusi untuk ikut anak. Bagaimana pun anak-anaknya ketika sudah makin dewasa punya masa depan sendiri. Punya keluarga sendiri. Punya pekerjaa sendiri juga.

LDM Bukan Pilihan untuk Dinikmati

Lepas dari apapun alasannya, LDM itu sebetulnya bukan kondisi yang bisa untuk dinikmati. Kata Ustadz Salim A. Fillah, kalau memang takdirnya ternyata harus LDM, ya maka kita harus menerima. Tapi bukan untuk menikmati itu semua. Bagaimana pun, LDM itu bukan kondisi yang ideal. Bahaya sih kalau kita sampai menikmati kondisi semacam ini.

Jelas, bonding antara keduanya jadi dipertanyakan kembali. Bahkan yang paling mengerikan, ketika rasa salingnya udah hilang antara yang satu dengan yang lain.

Pesan untuk Pejuang LDM

Dear all LDM warriors,
Saya tahu apa yang kamu alami itu berat. Bahkan lebih berat dari rindunya Dilan ke Mileas. Semoga Allah mampukan kalian  mengahadapi ujian tersebut. Semoga kalian bisa segera dipersatukan dengan solusi yang terbaik. Aamiin..

Comments

  1. Saya baru menjalani LDM 3 bln krn alasan pekerjaan, dan masa pernikahan 7 thn. Sangat berat, meski kata orang jaraknya dekat, Jember-Probolinggo. Tapi bagi kami, ini menyesakkan. Apalagi kami sedang dan masih harus terus berjuang utk mendapatkan momongan. Kami memilih utk salah satu berhenti kerja, kami siap. Hanya orang tua masih melarang. Gusti... Nyesek rasanya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau dulu, saya resign tanpa bilang orangtua mbak. Karna setelah menikah, ridho suami lebih utama dibanding orangtua.

      Tentu, ini menimbulkan konflik berkepanjangan. Tapi alhamdulillah konflik itu mereda setelah saya punya anak.

      Delete