Assalamu'alaikum!

Perkenalkan, nama saya Aprilely Ajeng Fitriana. Kalian bisa panggil saya Lelly. Saya lahir di Malang pada tanggal 22 April 1991. Saat ini, saya tinggal di Bogor bersama suami dan anak saya. Blog ini adalah tempat saya mencurahkan segala pemikiran saya dari berbagai peristiwa. Bagaimana saya menghadapinya dan apa saja hikmah yang saya peroleh.

Review Sky Castle: Ketika Anak Menjadi Prestige Orang Tua

Apr 17, 2019

Sky castle review


Siapa yang udah nonton drama korea Sky Castle? Yuk, angkat tangan! Ini drama korea yang akhirnya saya tonton karena banyaknya review tentang drama ini berseliweran di IG Story maupun WAG. Apa sih yang bikin buibu di dunmay ini pada heboh dengan drakor satu ini? Dan akhirnyaaa.. Saya teracuni dengan drama ini saudara-saudara. 20 episode khatam sudah.

Sky Castle ini mengangkat salah satu isu sosial yang memang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Di mana, pendidikan bukan hanya digunakan sebagai kebutuhan tapi alat untuk menaikkan gengsi. Kalau punya anak dengan segudang prestasi gemilang, tentu seneng banget dong orang tuanya. Tapi nggak semua orang tua mau tahu kalau nggak semua lho menikmati segala proses itu. Nggak jarang mereka harus mengabaikan apa yang sebenarnya mereka mau demi menyenangkan orang tua.

Tuntutan yang besar akan nilai, prestasi, dan masuk ke sekolah bergengsi nggak jarang juga bikin anak-anak ini makin stress. Kita udah sama-sama pernah denger ya kasus anak-anak SMP, SMA, atau bahkan mahasiswa yang bunuh diri karena stress. Ya segitunya memang tuntutan sosial yang terjadi.



Nonton drama ini tuh bikin saya ingat memori sekian tahun lalu, ketika saya jadi guru les privat. Saya banyak mengamati adik les saya yang nggak semua itu suka belajar. Ada memang yang rajin banget. Semangat banget belajarnya. Terus kalau diajarin nggak ngerti dia nggondok. Tapi ada juga anak-anak yang nggak mau tahu. Dia les cuma biar PR selesai dibantuin sama guru lesnya. Jadi, saya tuh merasa dibayar buat kerjain PR-nya. Ngeselin banget.

Saya pernah diskusi dengan ibu kost yang kebetulan anak sulungnya yang masih SD rajin banget les. Maksudnya, rajin diantar ke tempat les. Padahal ya, pulang sekolah udah siang banget. Sorenya les. Malam masih ngerjain PR sama orang tuanya. Amazing. Dia sama sekali nggak punya waktu buat main. Anak SD lho ini. Alasan ibunya begini,

"Teman-temannya itu semuanya les. Kalau dia nggak les, dia yang ketinggalan pelajaran di sekolah."



Hal serupa juga terjadi di ibu-ibu yang tinggal di Sky Castle ini. Mereka rela bayar tutor super duper mahal asal anaknya bisa punya nilai yang baik dan bisa masuk sekolah favorit. Mereka nggak ngecek lagi tuh, apakah tutor yang mereka bayar itu beneran bisa membantu proses belajar anak-anak mereka atau malah bikin anak-anak mereka tambah stress. Hal terpenting yang mereka inginkan adalah nilai anak-anak mereka baik.

Jadi, jangan heran kalau ibu-ibu ini jadi stress berat ketika anak-anaknya susah diminta belajar lagi di rumah. Hellooo... Ya iyalah ogah. Mereka udah muak belajar tauk.



Tapi nggak semua ibu yang tinggal di Sky Castle begitu. Ada ibu baru yang tinggal di sana dan beda banget dari ibu-ibu yang lain. Dia hidup sederhana. Dia juga nggak menuntut anaknya untuk les ini itu. Anaknya dibiarkan belajar sendiri dengan nyaman. Anehnya, justru dengan cara semacam ini membuat si anak tetap nggak kalah berprestasi dibanding teman-temannya yang lain.

Ibu-ibu lain di Sky Castle sebel dong sama doi. Label sombong pun disematkan ke ibu baru ini. Nggak cuma itu, anaknya juga disumpahin nggak bisa ngejar pelajaran di sekolah. Sungguh amazing ibu-ibu ini.

Tapi, ada satu ibu yang nggak sependapat dengan ibu-ibu yang lain. Dia ngamatin betul anak-anaknya. Dia ngeh sih kalau anak-anaknya itu cerdas, tapi mereka tertekan betul dengan metode belajar dari ayahnya.

Ini seru nih. Perseteruan ibu dan ayah di dalam rumah yang amazinglah. Makin kisruh lagi ketika tahu anak perempuan kebanggan mereka ternyata bohong soal kuliah di Harvard. Itu nggak cuma hancur aja. Tapi udah lumat jadi bubur.

Part paling ngeselin dari drama ini ada di bagian Tutor Kim. Jadi, ceritanya dulu dia tinggal di Amerika dan punya anak yang super jenius. Seumuran anak SD (mon maap lupa umurnya berapa), tapi udah diterima di universitas bergengsi di sana. Singkat cerita, anaknya kecelakaan mobil bareng bapaknya. Si bapak tewas, si anak koma.

Tahu nggak apa yang dia bilang pas dokter ngasih tahu anaknya nggak akan bisa hidup normal lagi?

"Dia bukan anakku."

Itu terus yang dia ulang-ulang. Denial kalau anaknya udah nggak bisa memenuhi keinginannya lagi. Jadi yang terbaik dan termuda di universitas itu tadi. Oh my! Parah banget.



Setelah stay lagi di Korea, anaknya tinggal terpisah dengannya. Anaknya ini jadi nggak normal. Dia dikurung di suatu rumah dengan fasilitas lengkap dan aneka body guard. Tapi ya gitu, nggak sama ibunya.

Nyebelinnya lagi, kalau Tutor Kim ini nengokin anaknya. Dia beneran nggak mau ketemu langsung sama anaknya. Kadang cuma berani lihat dari jauh. Malah pernah nggak turun sama sekali dari mobil. Ish ish ish.. Ibu macam apa itu?

Jadi gitu ya? Anak cuma dipakai sebagai alat untuk meraih harga diri.

Penggambaran soal ini memang lebay. Namanya juga drama. Mau ngarep apa coba?



Tapi itu terjadi beneran. Ada banyak orang tua di Indonesia sendiri yang maksain nilai tinggi ke anak. Ada juga orang tua yang maksain anaknya harus kuliah di mana, bahkan harus jadi apa. Si anak ini serba dipaksa, bahkan doi bingung sebenarnya apa sih yang dia mau. Even nggak selebay drama itu juga sih. Cuma ya pointnya dapet banget.

Pernah juga ada kejadian begini. Ada orang yang memulai kariernya dari awal banget setelah orang tuanya meninggal. Kenapa dia lakukan itu? Karena semasa hidup orang tuanya dia udah terlalu lelah buat debat soal passion yang dia inginkan. Amazing!

Saya pribadi juga pernah ngalami itu. Hal yang paling menyakitkan yang saya dengar dari ibu saya adalah, "kamu itu harga diri ibu." 

Jadi, ketika saya memutuskan untuk memilih jalan hidup yang beda dari pilihan beliau, seakan-akan saya menghancurkan semua harga dirinya. Jadi anak yang nggak tahu terima kasih. Jadi anak yang nggak ngeh kalau apa yang saya capai itu juga atas perjuangan mereka. Kesal bukan main.

Dan sejak saat itu, saya memutuskan untuk bodo amat dengan segala rengekan ibu saya. Terserah deh mau ngomong apaan.

Saya yakin, saya nggak sendiri di sini. Ada banyak sekali orang-orang macam saya yang dipaksa untuk memenuhi gengsi orang tuanya. Ada yang harus banget jadi pegawai negeri. Ada yang anaknya harus banget kerja di BUMN. Ada yang harus banget jadi pengusaha. Dan aneka tuntutan lain.

Kita pernah merasakan hal semacam itu. Nggak nyamannya dipaksa untuk jadi seperti apa yang mereka mau. Bahkan saking seringnya begitu, kita sampai bingung, sebenernya apa sih yang kita mau?

Rasa itu harusnya jadi bahan belajar buat kita semua bahwa tiap anak yang lahir dari rahim kita, mereka punya masa depan mereka sendiri-sendiri. Tugas orang tua bukan untuk menentukan mereka jadi apa. Tugas kita adalah membimbing mereka untuk menemukan jati dirinya. 

Percayalah bahwa setiap anak itu spesial. Tapi mereka juga nggak sempurna. Ada kekurangan dan kelebihan. Fokus ke kekurangan mereka, hanya bikin kita dan anak kita makin tertekan. Coba sih alihkan fokus kita ke kelebihan-kelebihan yang mereka punya. Dukungan kita, sebagai orang tua, tentu akan membuatnya semakin bersinar. 

Comments

  1. anakku dari kelas 3 SD udah bilang, "Bunda, kalo namanya les itu yang di sekolah gak diajarin. Kalo IPA, bahasa inggris kan di sekolah uda belajar, kenapa mesti les lagi?". hiyahahhaa, maknya ini manggut-manggut denger penjelasan si mbarep yang sekarang udah SMP. Akhirnya selama SD gak pernah ikut les pelajaran apapun di luar sekolah. Pas kelas 6 juga ikut bimbel online di Ruang Guru aja, sekali lagi, dia gak mau les-les bimbel di luar rumah. Saya sebagai ortu hargai keputusannya. Apalagi di sekolah pas kelas 6 itu uda dapet jam pelajaran tambahan sebelum dan sesudah sekolah buat menghadapi USBN. Kasian aja sih, kalau malemnya harus les lagi. Tapi temen-temen sekelasnya hampir semuanya ikutan bimbel lagi.

    Gimanapun otak anak juga butuh istirahat, gak bisa dijejali dengan pelajaran lagi dan lagi. Kita aja yang dewasa pasti ogah kalo suruh melakukan hal yang sama. Jeblukkkk rekkk

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wkwkwkwk.. Mbak jadi ngingetin saya ke ibu saya. Dulu, saya nggak ngerti Primagama itu apa. Saya kira tempat les buat seneng-seneng gitu. Karna waktu SD saya juga nggak diikutkan les mata pelajaran sama sekali sama orang tua saya. Waktu minta ke Ibu untuk les di Primagama, Ibu bilang gini, "nggak usah, nanti kepalamu meledak."

      Wkwkwkwk...

      Tapi ya ada benernya sih. Di sekolah udah ada jam pelajaran tambahan untuk persiapan ujian nasional, masih harus nambah les lagi di luar. Untuk kapasitas anak SD sih itu nyiksa.

      Saya baru les waktu kelas e SMA aja mbak dulu. Itu juga karena saya betul-betul kesulitan mata pelajaran tertentu. Kalau nggak mungkin selamanya nggak akan les. 😆

      Delete
  2. aku waktu SD juga masih tertekan loh mbak, selalu harus bersaing dengan teman sekelas yang selalu juara. Namun pas sudah SMP, ibuku gak bisa lagi ngikuti kemauanku dan akhirnya aku dilepas. Pas milih jurusan kuliah ama kampus pun awalnya masih didikte namun aku memilih apa yang kumau. Ya akhirnya yg lolos adalah yg sesuai dengan kemauanku hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. wow, sampai begitunya ya mbak. aku dulu waktu sekolah nggak pernah dipaksa orang tua untuk kejar prestasi sih. selow aja, tapi kudu tanggung jawab, gitu

      Delete
  3. Asiiiik mau nonton sambil makan tteokbokki, aku mulai kecanduan drama korea nih hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya emang. nonton sambil nyemil itu enak. tapi kalau makan tteokbokki ya kenyang mbak. haha

      Delete
  4. Nonton drama ini tuh greget sama orang tuanya. Ngebayangin kayaknya ada juga deh orang tua yang seperti ini. Karena prestige dan harga diri. Apalagi ampe menghalalkan segala cara demi mendapatkan hasilnya. Kasian anak-anaknya dimasa depan. Eeh maaf nih mbak jadi gereget soalnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya emang. ortunya parah sih. bisa sampai segitunya banget. mereka itu macem bales dendam atas apa yang nggak bisa mereka raih ke anaknya. kasihan banget.

      Delete
  5. Sky castle ini memang memggambarkan para orang tua di asia makanya yang nonton berasa related banget. Aku termasuk yang nggak pernah ikut les-lesan saat sekolah dulu. Ngenesnya pas sma teman-teman pada les sama guru fisika dan biasanya kan kalau les sama guru gini bakal dapat kisi-kisi ulangan gitu. Jadilah pas ulangan fisika aku nggak ngerti mau jawab apa ��

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, memang relate banget even nggak selebay itu siih. haha..
      tapi film ini nampar banget kan.

      Delete
  6. Setiap anak punya kelebihan dan kekurangan..
    Begitu juga dengan murid2 saya mbak,
    Kadang ada rasa lelah, nggonduk, kalau si anak tidak mau menerima pelajaran, asyik bermain sendiri saat diterangkan. Huufft
    Tapi disamping itu, si anak punya kelebihan..
    No body's perfect. Hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. memang. dulu waktu ngajar juga ngerasa begini, jadi belajar parenting dari aneka rupa jenis karakter mahasiswa ini sih.

      Delete
  7. Klu mnurutku sih baiknya sbgai ortu kita membimbing. Untuk urusan seklh misal untuk memilih jurusan atau fakultas apa terserah minat dan bakat anak. Saya hnya mngarahkan. Gitu, thx ya ulasannya


    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, ketika mereka sudah bisa memilih ya kembalikan saja ke mereka. nggak perlu yang gimana-gimana gitu.

      Delete
  8. Jangankan anak2 ya saya saja waktu masih ngajar dulu juga sempat mengalami kelelahan karena pagi sampai siang ngajar di 2-3 sekolah, sorenya masih lanjut ngajar TPA malamnya lagi masih ngajar private dan rutinitas seperti itu saya jalankan selama sepekan. Apalagi kalau anak2 yang dituntut kayak gitu. Pastinya bisa bikin stress juga karena sebagian besar waktunya digunakan untuk belajar, belajar dan belajar demi memenuhi gengsi ortu.

    Btw sepertinya ini drakor yang recommended ya, jadi penasarn mau nonton juga.

    ReplyDelete
    Replies
    1. saya juga pernah ngalami begini mbak dan itu memang super duper melelahkan. kasihan memang kalau anak-anak dituntut begitu.

      iya mbak, recommended. coba aja tonton. bagus kok

      Delete
  9. Saya bukan penonton drakor, tapi seru juga ni baca kisahnya. Memang banyak ortu yang menjadikan anaknya sebagi alat untuk meraih ambisinya, tanpa peduli perasaan anaknya sendiri. Senangkah? Atau malah sebaliknya.

    ReplyDelete