Assalamu'alaikum!

Perkenalkan, nama saya Aprilely Ajeng Fitriana. Kalian bisa panggil saya Lelly. Saya lahir di Malang pada tanggal 22 April 1991. Saat ini, saya tinggal di Bogor bersama suami dan anak saya. Blog ini adalah tempat saya mencurahkan segala pemikiran saya dari berbagai peristiwa. Bagaimana saya menghadapinya dan apa saja hikmah yang saya peroleh.

Menjadi Ibu Bahagia

Mar 13, 2019


Sebelum menikah, teman saya yang sudah menikah duluan bilang ke saya untuk menikmati masa single saya hilal jodoh itu datang. Menurutnya, ada banyak sekali hal yang membuatnya tak sebebas ketika masih sendiri. Apalagi kalau sudah punya anak. Apalagi kalau anaknya masih kecil sekali. Susah sekali punya me time.

Saya coba amati fenomena di sekitar saya. Tentang apa yang terjadi pada ibu-ibu muda setelah mereka menikah dan punya anak. Bagi yang bekerja kantoran, waktu dan tenaganya tersita habis untuk menyeimbangkan urusan pekerjaan dan rumah. Kalau di kantor ada masalah, di rumah ada masalah juga. Kita bisa lihat bagaimana stressnya mereka. Belum lagi rasa bersalah yang kadang menggelayuti mereka ketika meninggalkan anaknya pergi bekerja.

"Kalau begitu resign saja."

Faktanya, resign atau berhenti bekerja juga tidak langsung menyelesaikan masalah. Resign itu tidak bisa mendadak. Bukan hanya kantor yang perlu persiapan SDM baru ketika kita meninggalkan. Kita sendiri butuh menyiapkan mental untuk berhadapan pada penyakit yang biasa muncul pada ibu-ibu yang baru saja berhenti bekerja. Post Power Syndrom.

Ritme kerja kantor dan rumah itu beda. Jauh. Kalau tidak siap dari awal, bisa stress, dan akhirnya kembali lagi bekerja untuk lari dari masalah.

Ibu rumah tangga juga sebenarnya tidak lepas dari masalah juga. Ada saja tantangannya yang membuat stress.

Kalau sudah begini, apa mungkin seorang ibu menjadi sosok yang bahagia?

Mungkin saja. Kalau tahu caranya, tahu bagaimana mengelola emosi dan masalah yang hadir.

1. Ubah Masalah Jadi Tantangan

Tantangan

Cara kita memandang sebuah masalah yang nantinya akan menentukan mental kita dalam menghadapi hal ini. Coba bayangkan ketika kita sudah berhadapan dengan masalah. Apa yang akan terjadi pada diri kita? Mungkin akan mengeluh, stress, ada keinginan kuat untuk lari, dan lain sebagainya.

Berbeda ketika kita diberikan tantangan. Adrenalin kita jadi terpacu untuk bisa menyelesaikan setiap persoalan yang muncul. Lalu, kenapa kita tidak bicara pada diri kita sendiri, "ini bukan masalah, ini tantangan baru yang harus aku selesaikan."

2. Berubah

Smile

Bicara tentang tantangan, ini bisa datang dari dalam diri atau dari luar. Jika tantangan itu datang dari dalam diri kita, maka ubahlah.

Ubah malas menjadi semangat. Ada kalanya, kita perlu memaksa diri kita untuk mengubah sudut pandang kita, mengubah apa yang kita rasakan.

3. Abaikan

Jauhi

Selain dari diri sendiri, tantangan juga bisa dari luar. Misal, kata-kata dari tetangga, keluarga, atau teman. Adakalanya, apa yang mereka sampaikan justru menyudutkan pilihan-pilihan yang kita buat. Entah itu terkait pola asuh dalam keluarga kita, maupun keputusan lain.

Tidak ada salahnya kok mengabaikan apa kata orang dan tetap bertahan pada pilihan yang sudah kita buat. Apalagi jika pilihan itu sudah dipertimbangkan dengan masak bersama suami. Pada akhirnya, bukan mereka yang menjalani kehidupan kita, tapi kita sendiri.

Kita punya pilihan sendiri untuk memilih jalan seperti apa. Kita pun punya kewajiban untuk mempertanggungjawabkan setiap pilihan yang kita buat. Artinya, pilihan itu masih sesuai dengan syariat Islam.

4. Buat Skala Prioritas

Jurnal

Pernah ada teman saya yang bertanya tentang bagaimana dia harus mengatur waktunya. Dia pedagang online, punya anak balita 2. Bagaimana dia bisa membagi waktunya untuk keluarga dan jualan.

Lalu, saya bertanya balik ke dia, "mana yang lebih penting? Bakulan atau anak?"

Jawaban ini yang nantinya akan menentukan bagaimana dia mengatur waktunya. Adakalanya, kita tidak bisa memilih seluruh aktivitas. Adakalanya, kita harus memilih salah satu. Membuat skala prioritas mana sih yang didahulukan dan mana yang tidak.

Sebagai ibu yang paham akan kewajibannya, tentu dia akan menjadikan anak sebagai prioritas utama dibanding pekerjaan lain.

It's okay rumah berantakan. Kalau memang dengan cara seperti itu anak bisa lebih mengeksplorasi dunianya. It's okay cucian numpuk dulu, kalau memang anak sedang butuh perhatian ibunya.

5. Curhat ke Allah

Tasbih

Pada akhirnya, hanya Allah yang mampu memberikan rasa tenang kepada kita. Allah yang mampu memberikan kita kekuatan untuk menghadapi segala persoalan yang ada di depan kita.

That's why, curhat aja ke Allah ketika kita punya masalah. Sekecil apapun itu. Kembalikan juga semua masalah pada Allah.

Itu tadi 5 hal yang bisa saya bagikan agar kita bisa tetap "waras" menjalankan peran kita sebagai ibu. Hal yang perlu kita ingat adalah kebahagiaan kita tidak ditentukan oleh orang lain. Kitalah yang berhak memilih untuk bahagia dengan cara seperti apa.

Comments